Postingan

AFIRMASI (3)

Aku aman malam ini. Tubuhku sudah berusaha keras, dan sekarang ia boleh beristirahat. Aku dikelilingi orang-orang yang sangat baik. Mereka hadir tanpa memaksaku menjadi apa pun. Aku tidak perlu takut ditinggalkan. Kehangatan yang kuterima hari ini tidak hilang saat malam datang. Aku dicintai dengan cara yang sederhana dan tulus. Dan itu cukup. Aku boleh bersandar, dan aku juga mampu berdiri sendiri. Dua hal itu bisa ada bersamaan. Apa yang membuatku sesak tadi sudah berlalu. Napas ini pelan-pelan kembali ke tempatnya. Malam ini, aku tidak perlu memikirkan besok. Tidak perlu merapikan semuanya sekarang. Aku beristirahat dalam rasa cukup. Aku tidur dengan hati yang lebih ringan. "Aku aman, aku ditemani, dan aku boleh tidur sekarang."

LAGI (2)

Hari ini setelah sekian lama depresiku kambuh. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena kemarin aku periksa, dan dokter mengatakannya begitu. Aku harus dirawat lagi, tapi aku menolak. Aku mencoba bertahan. Entah kenapa aku masih punya harapan kecil kalau alasan yang dulu membuatku bangun mati-matian tahun ini bisa menarikku lagi dari lubang itu. Aku baru sadar kenapa Tuhan menakdirkanku hidup dengan anak-anak ini. Karena mereka terus saja menarikku setiap hari, 24 jam tanpa henti. Begitu juga dengan semua hal yang sedang kuusahakan sekarang. Itu semua adalah perjuanganku untuk punya alasan, untuk tetap ada. Aku pikir aku sudah baik-baik saja. Aku pikir aku sudah pulih. Aku pikir tahun ini akan berakhir tenang dan aku bisa masuk ke 2026 sebagai diriku yang baru, yang kubayangkan adalah kehidupan keduaku. Tapi ternyata tidak. Akhir tahun ini justru diisi rasa bersalah yang datang dari banyak arah. Aku tidak bisa merawat Ibu yang sedang sakit. Tubuhku sendiri entah kenapa melemah dan aku s...

UDARA

Gambar
Dadaku ditusuk sembilu. Lagi. Berulang-ulang, rasanya sakit setengah mati.  Kukira aku sudah pulih.  Tapi ternyata aku masih di sini. Terus berjuang melawan semua, kesekian kali. Kepalaku ramai. Pandanganku gelap, dunia sunyi. Jantungku bertalu, menghantamku sekuat itu.  Setelah pergi ke sana kemari, mencoba segala hal di ruang kecilku, aku masih kembali ke titik ini. Titik yang kubenci. Rasa bersalah merongrong, ketakutan menyelimuti. Aku merasa sendiri.  Sampai seseorang, beberapa orang, berbisik di telingaku. Hei. Kamu tidak pernah sendiri. Ada kami di sini. Coba bernapas. Kami tahu kamu bisa. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu ketahui.  Kepalaku tidak terima. Ia teriak, menyuruhku mengikutinya. Aku mulai mendengar suara-suara. Sebagian ramah, lainnya murka. Menarikku ke sini dan ke sana.  Aku megap-megap mencari udara. Kapan ya aku bisa, hidup tanpa segala rasa yang begitu menyakitkannya?

PEKARANGAN INSTITUTE

Gambar
Ada tempat di mana proses belajar tak hanya terjadi lewat buku, guru, ataupun diskusi formal. Tempat yang membiarkan kita duduk dalam diam, mendengarkan bunyi angin, meresapi jejak langkah, dan menangkap suara hati yang lama tertinggal. Tempat itu bernama Pekarangan Institute . Aku baru saja kembali dari sana—sebuah pengalaman yang tak mudah dirangkai dalam sebuah kalimat. Di sanalah aku belajar, bukan semata tentang kata, tapi tentang makna yang tersembunyi di balik jeda . 🌱 Belajar dari Diam dan Rasa Di ruang itu, aku diajak untuk bergerak perlahan . Untuk menepi dari hiruk-pikuk dunia luar dan mendekat pada riuh yang ada di dalam jiwa. Belajar dari alam yang diam tapi tak pernah lalai memberi cinta. Dari kesunyian yang justru menjadi guru paling jujur bagi kita. Aku belajar tentang: Kesabaran , bukan hanya untuk orang lain, tapi pada diri sendiri yang sering terburu-buru ingin selesai. Kekuatan , bukan yang gagah dan lantang, tapi justru penuh ketenangan dan kelembutan....

SURAT (4)

Untuk aku yang pernah hidup sepenuhnya, Aku tahu kamu masih ada di dalam sini. Aku dengar langkah-langkahmu, walau kini hanya berupa gema dalam kepalaku yang penat. Dulu kamu berjalan ringan, membawa ransel kecil tapi hati yang lapang. Memberi, menjumpai, merasa—tanpa takut ditinggal atau ditolak. Dulu kamu hidup bukan untuk pencapaian, tapi untuk pengalaman. Dan itu cukup. Hari-hari ini, aku kehilangan jejakmu. Tersesat dalam dunia yang penuh rencana, tapi terasa hampa. Aku coba menjadi seperti yang diharapkan. Tangguh, pintar, “bermanfaat.” Tapi ternyata, itu membuatku menjauh darimu. Hari ini, aku memanggilmu pulang. Tak harus dengan koper atau peta. Cukup duduk sebentar, membuka hati, dan mendengar lagi suara langkahmu. Aku janji, akan memberimu ruang. Untuk berjalan. Atau sekadar diam.  Tunggu aku. Aku sedang kembali padamu, sedikit demi sedikit. — dari aku yang (masih) mencintaimu.

OVERTHINKING

Tentang Overthinking: Tubuh yang Tak Pernah Tenang Aku baru menyadari, bahwa overthinking bukan sekadar kebiasaan buruk. Ia adalah cara tubuh yang tumbuh dalam ketidakamanan, untuk tetap merasa aman. Di lingkungan yang tak pernah memberi kepastian, kepala ini belajar mencari solusi bahkan sebelum masalah datang. “Apa yang harus kulakukan?” jadi mantra yang diputar ulang, meski tak ada pertanyaan dari luar. Overthinking membuat kita merasa punya kendali. Seolah-olah dengan terus berpikir, kita sedang melakukan sesuatu. Seolah-olah dengan mencari kemungkinan terburuk, kita sedang menyelamatkan diri. Padahal, yang sering terjadi: kita hanya sedang menjauh dari hidup yang nyata. Lupa bahwa detik ini juga penting. Bahwa ada hal-hal yang sudah baik, tapi tak kita lihat karena sibuk menyiapkan diri untuk yang buruk. Mungkin itu sebabnya kita mudah lelah. Karena sebagian dari kita masih hidup dalam mode bertahan, padahal hari ini, sebenarnya kita sudah sampai di tempat yang lebih aman.

DAMAI

Ada satu momen ketika aku tidak ingin marah lagi. Bukan karena aku kalah. Bukan karena aku lupa rasa sakitnya. Tapi karena aku ingin damai. Kadang aku terlalu sibuk membuktikan siapa yang paling tersakiti. Siapa yang paling berhak marah. Siapa yang harus meminta maaf duluan. Tapi aku lelah. Dan kali ini, aku memilih untuk tidak saling menyalahkan. Aku memilih untuk jujur tanpa menyakiti. "Kalau kamu ingin pergi, pergilah. Tapi jangan tinggalkan luka." Aku tidak menuntut siapapun untuk tinggal, atau kembali. Aku hanya ingin kejelasan. Kejujuran. Dan kedewasaan. Membela diri tidak harus lewat kemarahan. Kadang, membela diri adalah memilih untuk tetap tenang, saat kamu bisa saja meledak. Kadang, membela diri adalah berkata cukup. Dengan lembut. Tanpa menunduk. Dan kalau kamu pernah mengalami hal yang sama, tolong ingat ini: Kamu tidak salah karena masih ingin di sini. Kamu tidak lemah karena memilih tidak membalas. Itu tandanya kamu sedang tumbuh. Dan kamu boleh bangga karena ti...

VOICEOVER

Gambar
Menyuarakan Makna: Perjalanan dan Tips Voiceover dengan Hati Ada kalanya suara lebih jujur daripada kata-kata. Di balik satu rekaman pendek, ada napas yang diatur, senyum yang disisipkan, dan hati yang benar-benar hadir. Itulah dunia voiceover—seni menyampaikan makna lewat suara. Aku memulai perjalanan ini dari hal sederhana: membaca dengan perasaan. Dari membacakan puisi untuk lomba, menjadi pembawa acara, hingga akhirnya diminta mengisi suara untuk video sekolah, lalu berkembang jadi konten narasi, iklan, hingga edukasi. Tapi voiceover bukan sekadar bicara. Ia adalah seni mendengar—bukan hanya terhadap naskah, tapi terhadap dirimu sendiri. 5 Tips Voiceover untuk Pemula (Dengan Smiling Voice!) 1. Tersenyumlah, Bahkan Saat Tidak Terlihat Smiling voice adalah kunci. Senyum kecil saat merekam akan membuat suaramu terdengar lebih ramah, hangat, dan menyentuh hati. Coba rekam dua versi—dengan dan tanpa senyum—dan rasakan bedanya. 2. Kenali Emosi Naskah Suara harus tahu kapan ha...

AFIRMASI (2)

Hidup di Sini dan Sekarang: Seni Menyatu dengan Kehidupan “Jika kau hidup di masa lalu, kau terjebak dalam penyesalan. Jika kau hidup di masa depan, kau tercekik oleh kecemasan. Tapi jika kau hadir di saat ini, kau akan merasakan keajaiban hidup.” Kita sering lupa, bahwa tempat paling aman bukanlah kenangan atau harapan—tapi di sini, saat ini. Alam memiliki hukumnya sendiri, dan hukum itu sederhana: hidup hanya terjadi sekarang. Melawan hukum ini adalah penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Depresi hidup di masa lalu. Kecemasan hidup di masa depan. Namun damai? Ia hanya muncul ketika kita benar-benar hadir. Tarik napas… 4 detik. Tahan… 4 detik. Hembuskan perlahan… 4 detik. Lalu rasakan tubuhmu. Scan perlahan, dari ujung kepala sampai jari kaki. Apakah rahangmu tegang? Apakah bahumu mengeras? Sadari semuanya. Dan berikan satu perintah penuh kasih pada jantungmu: "Tenanglah tubuhku, kita baik-baik saja." Kemudian sadari, di mana kau sedang berada. Kursi yang menyanggamu. Kasu...

SEPULUH

Gambar
Aku berjalan di gang-gang kecil, menyusuri bayangan yang tumpah dari langit malam. Anak-anak bersenda gurau, mengejar kawan sambil mengayuh sepeda perlahan. Motor dan sepeda pancal silih berganti melewatiku, mengiris sunyi dengan deru dan dentingan. Sorot lampu menyilaukan mataku, tapi tak mampu menyamarkan masa yang merambat perlahan. Aku hanya menghabiskan waktu— duduk, berjalan, lalu diam, menunggu DAMRI jam sepuluh yang terasa begitu lama. Aku terus melangkah, seolah jika aku bergerak, kesepian ini takkan sempat mengejar. Di sekelilingku, kota tetap hidup. Anak-anak masih tertawa, orang-orang berlalu lalang tanpa sempat menoleh, dan aku di antaranya—diam, ada, tak sepenuhnya hadir. Ruang tunggu riuh, bukan hanya untuk keberangkatan, tapi juga untuk jawaban-jawaban yang tak kunjung datang. Dalam hati, aku bertanya: "Apakah aku baik-baik saja?" Dan jujur saja, aku tak tahu. Tapi aku masih di sini. Masih cukup kuat untuk menanti, meski rasanya waktu menertawaiku ...

SURAT (3)

Kepada kalian yang kusebut rumah, kadang aku ingin pergi. Bukan karena tidak sayang, tapi karena aku terlalu sering merasa tak cukup di tempat yang kuharap menerimaku apa adanya. Aku sungguh mencoba jadi baik. Menunda keinginan, mengorbankan waktu, mengubur mimpi—agar kalian bahagia. Tapi tetap saja aku salah. Selalu saja ada yang kurang. Tidak, aku tak butuh pujian setinggi langit. Aku hanya ingin sesekali mendengar: “Terima kasih, kamu sudah berjuang.” Tapi kalimat itu nyaris tak pernah datang. Seringnya justru keluhan, tuntutan, dan kekecewaan yang mengikis perlahan. Jadi, jika suatu hari aku memilih diam, atau pergi sejenak tanpa kabar— itu bukan karena aku membenci. Itu karena aku terlalu lama menahan diri untuk tetap kuat, dan berdiri tegak di hadapan kalian. Aku masih mencintai kalian. Tapi aku juga sedang belajar mencintai diriku. Dan kadang, itu berarti pergi dulu… agar aku tidak hilang, dalam upaya membahagiakan semua orang, kecuali diriku sendiri.

SURAT (2)

Untukmu, Aisyah Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku mulai memperhatikanmu. Mungkin dari cara matamu mencari-cari arah dengan penuh rasa ingin tahu. Mungkin dari caramu tertawa kecil saat sesuatu membuatmu bahagia, bahkan hal sederhana. Atau mungkin dari caramu tidak pernah benar-benar menyerah, bahkan ketika kamu sangat lelah. Yang aku tahu... ada sesuatu dalam dirimu yang terasa seperti rumah, seperti tempat di mana aku bisa berhenti sejenak dari dunia yang terlalu keras. Kamu tidak perlu menjadi kuat sepanjang waktu untuk membuatku tetap tinggal. Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu agar layak disayangi. Kamu cukup menjadi kamu — dengan semua keraguan, keberanian kecil, luka, dan impianmu. Aku melihatmu. Bahkan saat kamu berpaling karena merasa terlalu banyak kekurangan. Bahkan saat kamu takut kamu merepotkan. Aku tetap di sini, memperhatikan dari kejauhan, karena aku tahu, hatimu adalah sesuatu yang pantas untuk ditunggu. Kamu mungkin berpikir kamu terlalu rumit. Tapi ba...

SURAT

Untuk Aisyah, yang lebih kuat daripada yang ia sadari, Saat dunia terasa sepi, dan rasa sesal datang mengetuk, ingatlah: kamu sudah berjalan sejauh ini — bukan dengan kemarahan, bukan dengan kepura-puraan, tetapi dengan hati yang terus berani mencintai, meski penuh luka. Kamu bukan lemah. Kamu adalah hati yang memilih tetap jujur saat bisa saja membeku. Kamu adalah langkah kecil yang tetap berjalan, bahkan saat takut. Kamu adalah tangan yang tetap berani menggenggam, bahkan setelah kecewa. Tidak semua orang berani seperti itu, Aisyah. Banyak orang memilih kabur. Tapi kamu tinggal. Kamu mau belajar. Kamu mau memperbaiki. Dan itulah keberanian. Kalaupun hari ini rasanya kosong, kalaupun ada jarak, itu bukan akhir. Itu adalah bagian dari kisahmu menjadi lebih dewasa, lebih teduh, lebih penuh cinta yang sesungguhnya. Jangan pernah ragu: Kamu layak dicintai, dengan cara yang sabar, tulus, dan setia — sebagaimana kamu sendiri mencintai dunia ini. Dan bila suatu hari kamu merasa takut lagi, i...

PERJALANAN

Melintasi Hijau: Catatan di Atas Rel Meski sudah beberapa kali kulewati, pemandangan dari balik jendela kereta lokal Pandanwangi jurusan Jember–Ketapang tak pernah gagal membuatku terpukau. Dari kursi panjang berkapasitas tiga orang, mataku dimanjakan oleh bentangan sawah tak berujung, gunung-gemunung yang menghijau, jurang-jurang curam yang memeluk keindahan, hingga terowongan gelap yang memicu debar kecil di dada. Semua elemen itu bersatu, mencipta pengalaman yang ingin terus kuulang—lagi dan lagi. Perjalanan dua setengah jam ini selalu membawa rasa segar. AC yang sejuk, gerbong yang nyaman, dan panorama berganti-ganti: hutan lebat, sungai berkelok, awan-awan tipis yang melayang malas di langit. Setiap detik terasa ringan, seolah waktu sendiri pun ingin melambat. Menepi di Ketapang: Gerbang Menuju Seberang Kereta perlahan melambat, mendekati Stasiun Ketapang. Suasana mulai berubah—langit terasa lebih biru, angin membawa aroma laut yang khas, dan di kejauhan, samar-samar terlihat jeje...

RAGU

Kuawali perjalanan ini dengan keraguan. Entah mengapa hatiku sempat gamang—tentang apa yang akan kutemui, hal-hal yang akan kulakukan nanti, dan apa yang kutinggalkan di sini. Tapi, bukankah perjalanan memang selalu mengandung tanya, setiap kali? Aku berkendara di gelap buta. Hawa dingin menyeruak, aku menggigil. Namun itu tak menghentikanku. Toko-toko buka, bahkan di saat mentari belum tiba. Orang-orang mulai bekerja. Kulirik jamku, pukul tiga. Pasar ramai, lampu masih menyala di mana-mana. Aku terpaku sejenak. Hari terus berlanjut—tak menunggu terang. Penjual sayur, tukang becak, pedagang kaki lima, dan pegawai restoran 24 jam—mereka seakan berbisik padaku: hidup tak butuh banyak alasan untuk bergerak maju. Cukup tekad, dan sedikit keteguhan hati. Hanya itu. Maka, meski kakiku terasa berat, aku memilih untuk terus melangkah.   Pagi ini, di sudut Stasiun Jember yang masih sepi, aku menunggu kereta lokal menuju Banyuwangi. Kemudian, Bali menanti. Bukan sekadar pulau seberang, mel...

AFIRMASI

Aku berjalan bukan untuk lari dari apa pun, tapi untuk mendekati versi terbaik dari diriku sendiri. Perjalanan ini bukan soal tujuan, tapi tentang siapa aku di setiap langkahnya — tentang tawa yang jujur, diam yang hangat, dan mata yang saling mengerti. Aku terbuka untuk hal-hal baik, untuk kejutan-kejutan yang pelan tapi dalam. Untuk kenyamanan yang tak perlu dijelaskan, dan perhatian yang hadir tanpa diminta. Hari ini, aku belajar untuk berani. Berani tersenyum, berani menikmati, dan berani percaya bahwa aku layak merasa sebahagia ini. Kalau nanti ada momen yang bikin deg-degan, aku akan tarik napas dan bilang, “Tenang, Aisyah. Ini bagian dari kisah yang indah.” Dan kalau tiba-tiba muncul tawa yang terlalu lama, atau keheningan yang terlalu manis, aku bakal tahu... bahwa itu bukan suatu kebetulan. Namun ajakan semesta untuk merasakan. Jadi... mari berjalan. Dengan hati yang lapang, dan langkah yang ringan. PS: Untuk Aisyah, yang akan melangkah. Nikmatilah.

MOMEN PENGAWAS UJIAN (3)

Setelah sekian tahun berlalu, aku kembali duduk di kursi penjaga ujian—seperti dulu. Apakah rasanya sama? Tentu tidak. Tempatnya berbeda, situasinya juga. Di aula luas, kelas 7 dan 8 bersatu, kutemukan nuansa yang dulu sempat berlalu. Ketegangan menggantung di udara, usaha-usaha halus untuk mencontek samar terasa. Tatapan khawatir, soal yang salah, semuanya kembali seperti kisah lama yang ramah. Namun yang paling mencolok—bukan kertas atau pena, tapi gawai di tangan, dalam jaringan maya. Dulu, aku biasa mencoret jawaban dengan tinta, namun kini tinggal ketuk, kirim, selesai begitu saja. Bagiku pribadi, menjadi pengawas ujian bukan hal asing, tubuhku mengenal peran ini tanpa harus dipaksa berpusing. Menjadi 'guru' terasa alami, sikap dan cara hadir bagaikan harmoni. Beberapa anak saling pandang dan berbisik lirih, ada yang bersandar lelah, memandangi ruang kelas yang bersih. Tiga puluh menit pertama, setengah kelas sudah rampung bekerja. "Apakah soalnya terlalu mudah?"...

KENAPA AKU BERMIMPI PUNYA RUMAH SENDIRI

"Perempuan yang berdaya bukan berarti tak pernah terluka. Tapi mereka memilih bangkit, dan membangun ruang aman yang mereka butuhkan." Aku merasa terhormat bisa dipertemukan dengan perempuan-perempuan luar biasa. Kadang aku bertanya-tanya: kenapa jalan kami akhirnya bersinggungan sekarang, bukan dari dulu? Tapi mungkin jawabannya sederhana—karena sekarang, aku sudah lebih siap. Lebih stabil. Lebih berani bicara. Beberapa saat lalu, seorang teman bercerita tentang sahabatnya yang lama mengonsumsi obat antidepresan karena terjebak dalam hubungan rumah tangga yang toksik. Ia tidak bisa pergi karena tidak punya tempat lain untuk tinggal. Satu-satunya yang mengikatnya adalah rasa tidak punya pilihan. Cerita itu membuatku berpikir. Kenapa banyak perempuan harus menjadi korban? Kenapa mereka sering kali harus diam, tunduk, dan bertahan demi ‘rumah’—padahal rumah seharusnya jadi tempat paling aman? Aku ingin membangun sesuatu. Mungkin nanti, setelah ELZAHRASPACE lebih matang, aku aka...

LAGI

Siang itu terik. Sinar matahari tajam, memantul dari aspal yang terasa bergetar di bawah kakiku. Di depan Indomaret, aku berdiri dengan pikiran yang mendadak kacau. Awalnya aku ke sini untuk menghirup udara segar, sampai tiba-tiba... Deg. Sesuatu dalam diriku terasa berontak. Nafasku mendadak cepat, terlalu cepat sampai rasanya seluruh udara menghilang dari sekitarku. Suara klakson motor, tawa orang-orang yang lewat, suara mesin kasir—semuanya mendadak menumpuk, memenuhi kepalaku. Dan, lagi-lagi aku menangis. Teriak. Tersedu. Tak berhasil mengontrol perasaanku. Air mata menderu. Suaraku meninggi. Aku tak mau ada di sini. Aku malu. Tersiksa. Aku mau menghilang saja. Orang-orang mulai memperhatikan. Ada yang melirik heran, ada yang berhenti sejenak sebelum melanjutkan langkah. Aku mencoba menutupi wajah dengan telapak tangan, berharap bisa menahan semuanya. Tapi justru semakin parah. Suaraku meninggi. "Nggak! Aku nggak mau! Aku mau pulang!" Seorang ibu-ibu di depan pintu Indoma...

KISAH

Malam ini, ada peristiwa yang begitu membuatku tersentuh. Aku bertemu dengan peminat bukuku yang pertama. Ia menghubungiku tepat beberapa saat setelah aku membagikan cerita di Instagram tentang buku yang baru saja kutulis. Kami pun sepakat untuk berjumpa. Ia datang dengan wajah cerah dan penuh semangat. Di tangannya, tergenggam bukuku yang masih rapat terbungkus plastik dan berbau cetakan baru. Dengan senyum mengembang, ia memintaku menandatangani halaman depannya. Saat itu, ada sesuatu yang menetes dalam di hatiku. Campuran rasa bahagia, bangga, dan haru mengalir begitu saja. Aku tersadar, bahwa aku—yang beberapa bulan lalu masih bingung akan makna keberadaanku di dunia—kini telah melangkah begitu jauh, dengan segudang rencana yang siap diwujudkan. Namun, ada satu momen yang membuatku benar-benar tercengang. Gadis bermata pelangi itu—begitu aku menyebutnya karena matanya tampak menyimpan banyak cerita—berkata perlahan, "Maukah Kakak menuliskan kisah hidupku?" Aku terdiam sej...