GUGUR
Tanganku gemetar. Darah masih merembes di sela-sela kaki. Tak kuasa aku memanggil suamiku yang berada di ruangan sebelah. Sebentar kemudian, aku terduduk, lemas. Pandanganku mengabur, gelap. “Sayang..” sayup-sayup kudengar suara yang begitu akrab di telingaku. Kucoba membuka mata yang berat. Kepalaku pusing. “Ini di mana?” samar-samar kulihat ruangan dominan putih di sekitar. Aku tak mengenalinya. “Rumah sakit, Sayang..” Kutatap suamiku dengan suaranya yang bergetar. “Kenapa..?” Air mata menetes di pipinya. “Tidak apa-apa.. Kamu baik-baik saja..” Spontan kupegang perutku yang terasa nyeri. “Anak kita?” Suamiku menggeleng. “Maaf...” *** Kukira aku akan terus menangis. Atau memaki. Bahkan berteriak. Namun yang ada hanya kesunyian. Secercah kesedihan pun tak kurasakan. Hampa. Suamiku yang mencoba menghiburku pun tak kuhiraukan. Aku layaknya hidup dalam kepompong. Dunia di sekitarku bagai film bisu. Bisa dilihat, namun tak bernada. “Sayang..” Tepukan halus di kepala men...