Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerita

PETUALANGAN

Di sebuah kebun yang jauh di negeri tropis, hiduplah nanas bernama Nino. Nino bukan nanas biasa. Ia bisa berbicara dan memiliki impian besar. Setiap kali matahari terbit, Nino akan menyapa dengan ceria, "Selamat pagi, dunia! Semoga hari ini penuh dengan petualangan!" Namun, Nino merasa sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Mereka semua hanya terdiam menunggu untuk dipetik, sementara Nino ingin berkeliling dunia, bertemu dengan orang-orang, dan mengalami banyak petualangan. Tapi sayangnya, ia hanya bisa diam, terkurung dalam kulit kerasnya. Suatu hari, saat angin bertiup kencang, ada seorang petani yang datang ke kebun. Nino merasa gugup, ketakutan kalau-kalau hari itu ia akan dipetik dan dijadikan jus nanas atau salad buah. Namun, petani itu ternyata hanya lewat dan terus melanjutkan langkah, meninggalkan Nino dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Kenapa aku tidak bisa bergerak?" pikir Nino. "Apa yang harus aku lakukan untuk memulai petualanganku?...

GELAP

Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ...

BERANI

Di sebuah taman bunga yang indah, hiduplah seekor kupu-kupu kecil bernama Lulu. Lulu baru saja keluar dari kepompong dan melihat dunia untuk pertama kalinya. Sayapnya yang berwarna biru cerah berkilauan di bawah sinar matahari, tetapi Lulu merasa takut untuk terbang. "Aku belum pernah terbang sebelumnya," gumam Lulu, "bagaimana kalau aku jatuh?" Melihat Lulu yang tampak ragu, seekor lebah bernama Bibi mendekatinya. "Lulu, kenapa kamu tidak mencoba terbang? Dunia ini penuh keindahan yang harus kamu lihat," kata Bibi sambil tersenyum. "Aku takut, Bibi. Bagaimana jika aku tidak bisa terbang jauh?" tanya Lulu. Bibi tertawa lembut, "Setiap perjalanan dimulai dengan langkah kecil. Cobalah mengepakkan sayapmu sedikit demi sedikit. Aku akan menemanimu." Dengan hati-hati, Lulu mulai mengepakkan sayapnya. Awalnya ia hanya melompat-lompat di atas daun, tetapi perlahan ia mulai melayang di udara. Lulu merasa angin membelai tubuhnya dan melihat bung...

KETENANGAN

Di suatu desa yang damai, hiduplah seorang gadis kecil bernama Maya. Setiap malam, Maya selalu merasa kesulitan tidur. Pikiran-pikirannya berlarian, membuatnya terjaga lebih lama. Suatu malam, Maya mendengar suara lembut yang datang dari jendela kamarnya. Ia membuka jendela, dan di luar sana, tampak sebuah taman yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Taman itu dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni yang bersinar lembut di bawah cahaya bulan. Penasaran, Maya melangkah keluar dan masuk ke taman itu. Saat kakinya menyentuh tanah, ia merasa sejuk dan tenang. Bunga-bunga itu seperti berbicara, mengeluarkan suara yang menenangkan hati. "Selamat datang, Maya," kata bunga-bunga itu dengan suara halus. Maya duduk di bawah pohon besar yang rindang. "Kenapa taman ini ada, dan kenapa aku baru bisa menemukannya sekarang?" tanyanya. Sebuah suara lembut datang dari pohon besar itu. "Kami selalu ada di sini, Maya. Kami adalah taman rahasia yang muncul ketika kamu membutuhkan kete...

SAYAP

Rara adalah seekor kura-kura kecil yang tinggal di tepi sungai. Setiap malam, ia suka memandang langit penuh bintang dan membayangkan dirinya bisa terbang tinggi seperti burung. “Aku ingin terbang ke langit dan menyentuh bintang,” kata Rara suatu malam. Teman-temannya tertawa. “Kura-kura tidak bisa terbang, Rara! Itu mimpi yang aneh!” ujar Lala, si ikan kecil. “Tapi aku ingin mencobanya!” Rara bersikeras. Keesokan harinya, Rara mulai membuat rencana. Ia mengumpulkan dedaunan besar, ranting, dan tali. “Aku akan membuat sayap sendiri!” katanya dengan penuh semangat. Burung hantu tua yang tinggal di pohon mendengar rencana Rara. Ia terbang mendekat dan bertanya, “Rara, mengapa kau ingin terbang?” “Aku ingin melihat dunia dari atas, seperti yang selalu kulihat di mimpiku,” jawab Rara. Burung hantu tersenyum. “Kalau begitu, aku akan membantumu.” Selama beberapa hari, burung hantu membantu Rara menyusun sayap dari dedaunan dan ranting. Akhirnya, Rara mencoba mengenakan sayap buatannya. Ia me...

旅の途中 (Tabi no Tochū)

ある日、サクラは小さな町を出発しました。 (Aru hi, Sakura wa chiisana machi o shuppatsu shimashita.) 彼女は自分を見つけるために、遠くの山へ向かうことに決めました。 (Kanojo wa jibun o mitsukeru tame ni, tōku no yama e mukau koto ni kimemashita.) 道を歩きながら、サクラは風の音や鳥のさえずりに心を癒されました。 (Michi o aruki nagara, Sakura wa kaze no oto ya tori no saezuri ni kokoro o iyasaremashita.) 途中で出会った村人たちは、温かい笑顔で彼女を迎えてくれました。 (Tochū de deatta murabito-tachi wa, atatakai egao de kanojo o mukaete kuremashita.) 「人生は旅のようだ」とサクラは思いました。 ("Jinsei wa tabi no yō da" to Sakura wa omoimashita.) 最終的に、山に到達したとき、彼女は満足感と平和を感じました。 (Saishū-teki ni, yama ni tōtatsu shita toki, kanojo wa manzoku-kan to heiwa o kanjimashita.) それは長い旅の中で見つけた、自分自身の場所でした。 (Sore wa nagai tabi no naka de mitsuketa, jibun jishin no basho deshita.)

THE SIMPLE SECRET

Characters: Cha – A thoughtful, curious person Max – A wise friend who enjoys simple pleasures One day, they make a conversation... Cha: "Max, I've been thinking a lot lately... How do I find happiness? It seems like everyone is searching for it, but I just can't seem to figure it out." Max: "Happiness, huh? It's a tricky one. But I think you're looking for it in the wrong places." Cha: "Wrong places? What do you mean? I thought it was about success, or having more things... or maybe traveling to exotic places?" Max: "All of those things can bring joy, but they don’t bring true happiness. You see, happiness is not about what we have or where we go. It’s about what’s inside us, in the moments that make us smile." Cha: "That sounds simple, but is it really that easy?" Max: "Well, let me ask you this—when was the last time you felt truly happy, just from the small things?" Cha: "Hmm... I guess when my friend ...

السعادة في قلبك

في قرية صغيرة، عاش علي. كان يحلم بأن يكون سعيدًا، لكنه لم يعرف كيف يحقق ذلك. في يوم من الأيام، قرر الذهاب إلى الجبال ليسأل رجلاً مسنًّا عن السعادة. قال علي: "كيف أجد السعادة؟" أجاب الرجل: "السعادة في قلبك. لا تبحث عنها في المال أو الأشياء الكبيرة، بل ابحث عنها في اللحظات البسيطة التي تجعلك تبتسم." فهم علي النصيحة وبدأ يقدّر الأشياء الصغيرة: ابتسامة صديق، كلمة طيبة، ومناظر الجبال الجميلة. منذ ذلك اليوم، شعر علي بالسعادة لأنه اكتشف أن السعادة موجودة في داخله.

JEJAK

Udara masih dingin saat Bapak Jaka memulai pekerjaannya. Gelap melingkupi pantai. Ia hanya ditemani desiran ombak dan sesekali, lampu perahu nelayan di kejauhan. Tangannya cekatan mengayunkan sapu lidi, mengumpulkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan pengunjung: botol plastik, kertas makanan, kadang juga sandal yang kehilangan pasangannya. Baginya, pantai yang masih sunyi adalah bagian paling indah dari hari. Tanpa jejak kaki, pasir tampak suci, memantulkan sinar purnama yang perlahan memudar. Ia selalu berpikir, bagaimana mungkin keindahan ini sering diabaikan? Namun setiap pagi, bukan hanya tugas yang menyambutnya. Di antara gelap, ada misteri kecil: seorang gadis muda yang selalu duduk di batu karang sembari menggenggam buku catatan. Bapak Jaka penasaran. Mengapa gadis itu selalu ada sepagi itu di sana? Pada suatu hari, keberaniannya mengalahkan rasa segan. "Nak, apa yang kamu tulis di sana?" tanyanya, menyeka keringat di dahinya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu menjawa...

TERBANG

Butiran embun pagi masih menempel di tubuh kecilku. Aku tergeletak di bawah, sayapku terluka setelah gagal mencoba terbang. Rasa sakit membuatku ingin menyerah. “Ciu, kamu di mana?” Suara itu lembut, penuh kekhawatiran. Aku ingin menjawab, tapi hanya bisa berkicau lirih. Tiba-tiba, bayangan besar menghampiriku. “Astaga, Ciu! Kenapa sayapmu begini?” Tangan hangat meraihku perlahan, menyelimutiku dengan kain lembut. Itu Rani, gadis yang selalu mengisi hariku dengan keceriaan. Rani membawaku ke rumah. Ia membersihkan sayapku yang kotor, mengoleskan sesuatu yang hangat dan menyembuhkan. “Kamu pasti bisa terbang lagi, Ciu. Tapi, kamu harus sabar, ya...” katanya sambil tersenyum. Hari demi hari, Rani melatihku perlahan. “Ayo, Ciu. Coba bentangkan sayapmu.” Suaranya penuh harapan. Aku takut jatuh lagi, tapi tatapan Rani memotivasiku. “Aku percaya padamu.” Dengan gemetar, aku mencoba mengepakkan sayap. Awalnya sakit, tapi kemudian terasa lebih ringan. “Kamu bisa, Ciu!” serunya penuh semangat. ...

كن نفسك

في أحد الأيام، حلّق غراب في سماءٍ واسعة. كان الغراب يحب الطيران بعيدًا، لكنه كان يشعر بالحزن لاعتقاده بأن صوته ليس جميلاً كصوت باقي الطيور.   وفي يومٍ ما، سمع الغراب صوت بلبلٍ جميلٍ يُغني على أغصان شجرةٍ وارفة.  فكر الغراب: "يا ليتني أستطيع الغناء كهذا البلبل! صوتُهُ رائعٌ جدًا."   اقترب الغراب من البلبل وقال: "أيها البلبل، أنا معجبٌ بصوتكِ كثيرًا. هل يمكنكِ تعليمي الغناء مثلكِ؟"   ابتسم البلبل وقال: "لا أستطيعُ تعليمكِ، لكن إنْ أردتَ، يمكنني مساعدتك في إيجاد صوتك الخاص."   سأل الغراب بدهشة: "كيف أجد صوتي الخاص؟"   أجاب البلبل: "لكل طائر صوتٌ خاصٌ به. عليك أن تفخر بما لديك. لا تحاول تقليد الآخرين، بل كن نفسك."   تأمل الغراب في كلام البلبل. ثم بدأ يغني بصوته الخاص، وكان صوته جميلاً بطريقةٍ مختلفة. اكتشف الغراب أنه لا يحتاج لأن يكون مثل الآخرين ليكون مميزًا.   منذ ذلك اليوم، أصبح الغراب سعيدًا بصوته الخاص، وبدأ يغني بصوتٍ عالٍ، بينما كان البلبل يستمع مبتسمًا.

SURABAYA

Icha berdiri di sudut terminal Surabaya, memandangi keramaian yang seolah tak pernah berhenti. Ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Setahun lalu, dia datang ke kota ini dengan rasa takut yang luar biasa, penuh kecemasan tentang kemampuannya bertahan sendiri. Saat itu, dunia terasa begitu besar, dan dia merasa terlalu kecil untuk menghadapinya. Namun, saat ini, semuanya berbeda.   Surabaya kini tidak lagi sekadar kota besar yang menakutkan. Icha sudah banyak berubah—tak lagi membiarkan ketakutannya menuntun langkah. Setiap sudut kota ini membawa kenangan tentang betapa jauh dirinya sudah berubah. Ketika pertama kali tiba, dia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan lepas. Sekarang, meski masih ada rasa asing yang menempel, Icha merasa lebih kuat. Kakinya melangkah dengan mantap, meski tak bisa dipungkiri, ada sedikit kegamangan di hatinya.   Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rumah. "Icha, kami butuh kamu. Semua tidak sama tanpa kamu di...

PERMATA (2 - TAMAT)

Malam itu, setelah makan malam, Rio bersandar di sofa, memandangi Icha yang sibuk memindahkan pot tanaman kecil dari sudut ruang tamu ke sudut lainnya. Kebiasaan lamanya. Ia tersenyum tipis. Betapa Icha selalu mencari "sudut sempurna," meski Rio tahu esok pagi tanaman itu akan digeser lagi. "Sayang..." panggil Rio lembut, suaranya nyaris tak kedengaran. "Hmm?" Icha menoleh. "Mas mau tanya..." Rio berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. "Kamu bahagia, tidak?" Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang. Membuat riak di hati Icha. Ia terdiam, menatap hampa, seperti mencari jawab di sela jari-jarinya. "Kenapa nanya begitu, Mas? Kita kan baik-baik saja," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang ia paksakan. Rio tersenyum samar, tapi matanya tajam menembus dinding perasaan yang coba Icha sembunyikan. "Kadang Mas merasa... kamu masih menyimpan banyak hal yang membuat...

RENTA

Bis itu menderu sangat kencang. Dengan nekat, ia menyalip ke kanan dan ke kiri kendaraan di depannya. Asap rokok membumbung. Diiringi deritan engsel-engsel dalam bis yang sudah renta, para penumpang yang bermacam-macam silih berganti naik dan turun. Bis itu menghela napas panjang.  Baru saja sesosok kakek menumpanginya, membawa aneka benda yang tampak seperti oleh-oleh bagi keluarga di desa. Ia duduk di samping seorang wanita, yang memakai hijab hitam dan termenung menatap jalan di depannya. Sesekali ia menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Bis itu pengap, panas. Bercampur dengan polusi yang dikeluarkannya, panas mentari di atasnya, dan aroma berbagai benda di dalamnya.  Pendingin udara? Apa itu? Bis yang entah diproduksi tahun berapa itu harus merasa cukup hanya dengan kemampuannya berjalan tanpa mogok di tengah jalan. Kenyamanan bukanlah prioritas, satu-satunya hal yang penting adalah kecepatan sampai di tujuan. Lagi-lagi, bis itu terbatuk-batuk. Memuntahkan asap hitam k...

NOODLOTTIGE ONTMOETING

In een klein café in Amsterdam zat Ella alleen, de onbekende stad drukte op haar. Het was haar eerste keer in Nederland en een golf van eenzaamheid spoelde over haar heen terwijl ze de patronen op haar koffiekopje tekende. Buiten glinsterden de grachten, een ballet van fietsen die door de straten slingerden. "Is deze plek bezet?" vroeg een zachte stem. Ella keek op en ontmoette de vriendelijke ogen van een jongeman met een warme glimlach.  "Nee, natuurlijk niet," antwoordde ze, een blos verwarmde haar wangen.Hij ging tegenover haar zitten. "Ik ben Andrew," zei hij. "Ella," antwoordde ze. Hun gesprek begon met smalltalk - het onvoorspelbare Amsterdamse weer, de heerlijke gebakjes van de nabijgelegen bakkerij, de betoverende charme van de stad.  Maar al snel gingen hun woorden dieper. Ella sprak over haar reizen, haar dromen en het verlangen in haar hart naar iets meer. Andrew deelde op zijn beurt zijn passie voor kunst, zijn ogen fonkelden terwijl...

FATEFUL ENCOUNTER

 In a small café in Amsterdam, Ella sat alone, the unfamiliar city pressing down on her. It was her first time in the Netherlands, and a wave of loneliness washed over her as she traced the patterns on her coffee cup. Outside, the canals glistened, a ballet of bicycles weaving through the cobblestones. "Is this seat taken?" a soft voice asked. Ella looked up and met the kind eyes of a young man with a warm smile. "No, of course not," she replied, a blush warming her cheeks. He sat down opposite her. "I'm Andrew," he said. "Ella," she replied. Their conversation began with small talk – the unpredictable Amsterdam weather, the delicious pastries from the nearby bakery, the enchanting charm of the city. But soon, their words went deeper. Ella talked about her travels, her dreams, and the longing in her heart for something more. Andrew, in turn, shared his passion for art, his eyes sparkling as he described his favorite museums. Time seemed to sl...

JARAK

Di kota kecil yang dikelilingi pegunungan dan diselimuti cahaya lampu-lampu temaram, hiduplah seorang wanita bernama Echa. Kota itu penuh dengan kafe-kafe kecil yang nyaman, tempat aroma kopi dan kayu manis bercampur dengan musik lembut yang mengalun merdu. Di sudut-sudut sunyi, Echa sering merenung, merindukan suaminya, Rio, yang kerap pergi jauh karena pekerjaannya. Setiap kali Rio pergi, hati Echa merasakan kekosongan yang tak terbilang, bagai bulan yang kehilangan cahayanya di tengah malam. Suatu hari, Echa duduk berbalutkan selimut, mencoba mencari kehangatan dari secangkir teh di tangannya. Angin malam berbisik pelan, membawa bayangan kenangan-kenangan manis bersama Rio. Tawa dan percakapan mereka kini hanya menjadi gema dalam pikirannya. Setiap kepergian Rio adalah lembaran baru kesepian yang tak pernah usai. Untuk mengusir sepi, Echa kerap mengunjungi kafe favoritnya di pojok kota. Tempat itu beraroma kayu bakar dan dihiasi lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Di...

RA

“Ra... Panggil saja aku Ra..” Aku mengulurkan tangan. Dia melirikku sekilas. Lalu menangkupkan kedua telapaknya ke dada. “Saya Fe, lengkapnya Feri.” Hatiku tersentil. Segitu tidak maunya kah dia bersentuhan denganku? Memangnya aku manusia kotor dan menjijikkan? Namun kupasang wajah tanpa ekspresi. “Ini berkasnya, tolong serahkan kembali besok pagi ya,” langsung kubalikkan badan dan melenggang pergi.   ***   “Jadi, maksud kedatangan saya kesini adalah untuk melamar putri Bapak, Zahra..” Jantungku seolah berhenti berdetak. Dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga, aku gemetar. Benarkah ini orang yang sama dengan lelaki yang setiap hari menundukkan pandangannya di depanku? Yang menolak semua interaksi kecuali berhubungan dengan pekerjaan kami di kantor? Memangnya sejak kapan dia menaruh minat terhadapku? Aku mencubit lengan, sakit. Ini bukan mimpi, kan?   ***   “Saya terima nikahnya...” sayup-sayup kudengar akad nikah bergem...

GUGUR

Tanganku gemetar. Darah masih merembes di sela-sela kaki. Tak kuasa aku memanggil suamiku yang berada di ruangan sebelah. Sebentar kemudian, aku terduduk, lemas. Pandanganku mengabur, gelap. “Sayang..” sayup-sayup kudengar suara yang begitu akrab di telingaku. Kucoba membuka mata yang berat. Kepalaku pusing. “Ini di mana?” samar-samar kulihat ruangan dominan putih di sekitar. Aku tak mengenalinya. “Rumah sakit, Sayang..” Kutatap suamiku dengan suaranya yang bergetar. “Kenapa..?” Air mata menetes di pipinya. “Tidak apa-apa.. Kamu baik-baik saja..” Spontan kupegang perutku yang terasa nyeri. “Anak kita?” Suamiku menggeleng. “Maaf...” *** Kukira aku akan terus menangis. Atau memaki. Bahkan berteriak. Namun yang ada hanya kesunyian. Secercah kesedihan pun tak kurasakan. Hampa. Suamiku yang mencoba menghiburku pun tak kuhiraukan. Aku layaknya hidup dalam kepompong. Dunia di sekitarku bagai film bisu. Bisa dilihat, namun tak bernada. “Sayang..” Tepukan halus di kepala men...

PERMATA

“Cincin baru lagi, Cha ?” Pandangan iri jelas terpancar. “Iya tuh, gak tahu deh Mas Rio, sukanya beli-beli, ngasih-ngasih kayak gini tiap hari.” Icha mengibaskan ujung jilbabnya yang menjuntai. “Padahal aku sudah bilang gak usah, tapi tetap aja...” “Harusnya kamu bersyukur, Cha. Udah untung punya suami romantis perhatian kayak gitu, malah kamu cuekin setengah mati.” Ina menyeruput kopi panasnya. “Lihat suamiku..” Ia mendesah panjang. “Pulangnya selalu malam, jarang ngobrol, pagi ketemu sebentar, eh sudah menghilang lagi. Tiap hari kayak gitu. Emang sih uang bulanan banyak, tapi kan.. Aku juga pengen disayang-sayang...” Icha menatap ujung sepatunya. “Mas Rio, luar biasa sih, Na. Tapi kadang, aku merasa terbebani juga. Aku kan sering gak peka, jadi suka merasa bersalah sama dia..” “Udahlah, Cha, nikmati saja.. Mumpung masih ada..” Mereka tergelak bersama. *** “Mas, aku pulang,” Icha menyampirkan tas di atas sofa. “Ngobrol apa saja, tadi?” Ditatapnya Rio, suaminya...