SEPULUH
Aku berjalan di gang-gang kecil, menyusuri bayangan yang tumpah dari langit malam. Anak-anak bersenda gurau, mengejar kawan sambil mengayuh sepeda perlahan. Motor dan sepeda pancal silih berganti melewatiku, mengiris sunyi dengan deru dan dentingan. Sorot lampu menyilaukan mataku, tapi tak mampu menyamarkan masa yang merambat perlahan. Aku hanya menghabiskan waktu— duduk, berjalan, lalu diam, menunggu DAMRI jam sepuluh yang terasa begitu lama. Aku terus melangkah, seolah jika aku bergerak, kesepian ini takkan sempat mengejar. Di sekelilingku, kota tetap hidup. Anak-anak masih tertawa, orang-orang berlalu lalang tanpa sempat menoleh, dan aku di antaranya—diam, ada, tak sepenuhnya hadir. Ruang tunggu riuh, bukan hanya untuk keberangkatan, tapi juga untuk jawaban-jawaban yang tak kunjung datang. Dalam hati, aku bertanya: "Apakah aku baik-baik saja?" Dan jujur saja, aku tak tahu. Tapi aku masih di sini. Masih cukup kuat untuk menanti, meski rasanya waktu menertawaiku ...