SEPULUH


Aku berjalan di gang-gang kecil,
menyusuri bayangan yang tumpah dari langit malam.
Anak-anak bersenda gurau,
mengejar kawan sambil mengayuh sepeda perlahan.

Motor dan sepeda pancal silih berganti melewatiku,
mengiris sunyi dengan deru dan dentingan.
Sorot lampu menyilaukan mataku,
tapi tak mampu menyamarkan masa yang merambat perlahan.

Aku hanya menghabiskan waktu—
duduk, berjalan, lalu diam,
menunggu DAMRI jam sepuluh
yang terasa begitu lama.

Aku terus melangkah,
seolah jika aku bergerak,
kesepian ini takkan sempat mengejar.

Di sekelilingku, kota tetap hidup.
Anak-anak masih tertawa,
orang-orang berlalu lalang tanpa sempat menoleh,
dan aku di antaranya—diam, ada, tak sepenuhnya hadir.

Ruang tunggu riuh,
bukan hanya untuk keberangkatan,
tapi juga untuk jawaban-jawaban
yang tak kunjung datang.

Dalam hati, aku bertanya:
"Apakah aku baik-baik saja?"
Dan jujur saja, aku tak tahu.
Tapi aku masih di sini.
Masih cukup kuat untuk menanti,
meski rasanya waktu menertawaiku sepenuh hati.

Kalau aku hilang malam ini,
siapa yang akan benar-benar mencari?
Pertanyaan itu datang pelan,
lalu mengendap, seperti kabut tanpa arah angin.

Tapi aku belajar.
Belajar diam, belajar sabar,
belajar tidak menakar hidup dari siapa yang tinggal—
melainkan dari keberanian untuk tetap melangkah,
meski tak tahu apa yang akan kutemui nanti.

Aku menunggu DAMRI jam sepuluh,
tapi lebih dari itu,
aku sedang menunggu diriku sendiri,
untuk percaya kembali
bahwa kesunyian pun bisa menjadi utuh.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)