SEROJA
Sungguh nama yang indah. Merupakan nama lain dari bunga teratai yang berarti kesucian, keindahan, dan kelahiran kembali. Wah, pas sekali, sekeluarnya aku setelah 24 jam berada di sana, dunia seketika berubah di mataku. Aku jadi punya tujuan hidup, yaitu mengubah banyak hal di dunia, terutama untuk anak-anak dan orang-orang dengan gangguan jiwa.
Sudah bertahun-tahun tak berhasil merubah diriku, orang
tuaku, mertuaku, suamiku, aku baru sadar bahwa manusia mustahil berubah kecuali
ada usaha keras dan tekad kuat dari dalam dirinya. Akhirnya aku memutuskan
melakukan apa yang aku bisa dengan kondisi fisik yang tidak prima, yaitu
menulis. Akan kutulis semua kenangan, kejadian, pengetahuan, atau apapun yang
terlintas di kepala, dan mengunggahnya ke dunia maya, agar tersimpan selamanya.
Kalaupun aku tak hidup cukup lama untuk melihat semuanya, semoga suatu saat,
tulisanku akan berguna.
Pertama, akan kuceritakan momen traumatis yang kualami
selama di Seroja. Lalu kedua, akan kulanjutkan dengan kisah hari ini, di mana aku
datang sendiri ke RSUD dan menyadari bahwa bicara dengan orang-orang biasa yang
jauh dari para penyintas gangguan jiwa sangat mudah, dan aku sama sekali tidak
merasa dianggap manusia kelas dua di sana. Sebaliknya bicara dengan dokter,
perawat, dan staf yang setiap hari menangani ODGJ, aku mau gila rasanya. Mereka
memandangku dengan sinis, tak mempersilakan duduk, bahkan membentakku saat
bicara. Aku jadi merasa, perlu ada konseling bagi mereka. Entah lingkungan yang
memengaruhi mereka, hingga mereka terbiasa bersikap penuh kekerasan pada orang
dengan gangguan jiwa, seolah kami tak memiliki hak asasi manusia.
Mari kita mulai dari yang pertama. Tanggal 14 Juli 2024
pukul 05.25 WIB, aku menghubungi asisten harianku, “Buk, saya gak kuat, kayaknya
mau ke UGD RS. Kepala rasanya mau pecah.. Ibuk bisa datang pagi ini kan?” dan
beliau mengiyakan. Aku bergegas berangkat tanpa pikir panjang, dan sesampainya
di IGD, bertanya sambil menahan sakit, “Apa bisa beri saya penghilang rasa
sakit dosis tinggi, besok anak saya hari pertama sekolah, saya sangat ingin
menemaninya, tapi sakit kepala parah.” Seorang dokter mengecek kondisiku dengan
sigap, dan memutuskan, aku akan dimasukkan ke Ruang Dahlia (Bedah/THT/Mata),
lalu aku menjalani CT Scan, rontgen, dan tes darah. Tepat di jam 10.09 WIB, aku
sudah diinfus dan menunggu ruangan disiapkan. Semua berlangsung sangat cepat,
aku masih tidak menyangka menjawab pertanyaan dokter saat ditanya, “Apakah
baru-baru ini pernah terjatuh?” akan membuatku dirawat inap. “Iya dok, saya
kecelakaan motor bersama putra saya, dan kami berdua terlempar ke aspal.”
Beliau mungkin takut aku gegar otak dan semacamnya, lalu memutuskan semua itu.
Aku pun dirawat di Ruang Dahlia sampai tanggal 16 Juli 2024.
Selama itu, tak sekalipun ada dokter yang mendatangi dan menjelaskan kondisiku.
Saat aku tanya pada perawat, mereka justru bilang, sabar ya, istighfar, maafkan
semua orang, cobalah ruqyah. Aku terkejut dan berpikir, aku harus keluar, ada
yang aneh di sini. Kenapa aku tidak diminta pergi bila menurut mereka aku tidak
sakit? Atau apakah RSUD ini adalah rumah sakit berbasis Islam yang setiap orang
harus diceramahi setiap dikunjungi? Atau, karena aku punya riwayat depresi,
jadi diperlakukan berbeda dengan pasien lain yang hanya punya penyakit fisik?
Aku mulai yakin, entah permainan sistem BPJS atau apa, tapi aku harus secepatnya
pulang. Anak-anakku membutuhkanku. Dan aku tak butuh dihakimi setiap saat
seperti di sini.
Selama di Ruang Dahlia tiga hari, aku tetap mengontrol semua
di sana sini. Baju seragam Abang, cara agar tetap mau sekolah tanpa bundanya,
bekal dan uang sakunya, bayaran asisten harian, menu di rumah, dan lain-lain.
Aku pun memutuskan untuk mengatakan pada perawat bahwa aku minta dipulangkan.
Mereka bertanya kepada dokter yang bersangkutan, yang tak datang sekalipun
untuk menjelaskan hasil tes darah, rontgen dan CT Scan sampai sekarang. Tak ada
jawaban, perawat juga tak berani mengarang. Lalu, dokter jiwaku datang entah
bagaimana. Aku memohon padanya, tolong perjelas supaya bisa segera pulang.
Beberapa saat kemudian, berkat bantuan beliau, aku diperbolehkan keluar dari
Dahlia.
Salah satu saudaraku yang bekerja di RSUD, menawariku,
maukah coba pindah ke Seroja? Di sana adalah pengganti rumah sakit jiwa yang
belum ada di kota ini. Aku otomatis bertanya, bagaimana fasilitasnya? Aku tidak
mau kalau seruangan bersama-sama, itu mengingatkanku akan trauma saat kehilangan anak kedua
sewaktu Covid melanda. Saudaraku bertanya pada perawat Dahlia, yang katanya
menelpon perawat Seroja, dan memastikan fasilitas kelas 1 akan tetap sama.
Bedanya, adanya CCTV saja. Maka, dengan naifnya, atau bodohnya, aku setuju.
Menambah sehari lagi mungkin tak ada salahnya, pikirku waktu itu. Aku juga
penasaran bagaimana orang dengan gangguan kejiwaan dirawat di kota ini. Maka
dimulailah “neraka” itu.
Kedua staf pria yang membawaku, kalau aku ingat-ingat lagi, sudah
menunjukkan gelagat aneh. Satunya mendorongku di kursi roda dengan infusku, dan
satunya membawa semua berkas keluarku dari Dahlia. Tapi, kenapa ekspresi mereka
begitu? Saat itulah aku mulai sadar, namun aku nafikan intuisi itu. Tuhan karuniakan
aku dengan kelebihan, namun justru kusia-siakan.
Sampai di Seroja, yang berada tepat di depan jurang, dengan
pagar tinggi menjulang, pintu gerbang terkunci, aku makin tidak nyaman. Kami
masuk makin ke dalam, tapi kenapa pandangan orang-orang seperti melihat hantu?
Para staf berbaring ketiduran di gazebo umum, sebagian duduk-duduk santai di ruang administrasi, dan seorang perawat
berbadan besar tanpa senyum memintaku duduk. “Ayo, kita bicara dulu,” katanya. Lalu,
para perawat Dahlia pergi. Yang sama sekali tak kusangka, infusku mendadak
dilepas, lalu aku setengah diseret dari ruangan itu oleh seorang perawat lelaki
tua. “Loh, bukannya tadi saya mau diajak bicara?” Aku melihat ke arah layar
monitor CCTV, dan bulu kudukku mendadak berdiri. Aku mohon mati-matian kepada
saudara yang mengantarku untuk menghentikan pemaksaan ini, tapi beliau justru
berkata,”Iya tidak apa-apa, silakan bawa saja.” Sampai sekarang, aku belum sanggup
melupakan semua itu.
Aku dipaksa masuk ke sebuah bangsal dengan 6 orang di
dalamnya, 3 kasur di atas ranjang, dan 3 kasur langsung di atas lantai. Perawat
lelaki tua itu mengarahkanku ke kasur pojok dengan ranjang. Kasur itu kotor,
berdebu, tanpa bantal dan seprai, lalu dua orang staf datang. Perawat lelaki
tua itu meminta mereka memindahkan kasur yang menempel, supaya aku bisa menaiki
kasur itu tanpa perlu akrobat. Dan voilaaa... tepat di bawah kasur-kasur
sebelahku, aneka kotoran menjijikkan menunjukkan wujudnya. Gulungan rambut,
entah bekas muntahan atau apa, debu-debu dan aneka sampah, dan itu tidak
dibersihkan. Mereka semua mendadak pergi sambil mengunci pintu dari luar, dan
aku, sendiri memeluk diriku menatap CCTV. Ini serius? Bukan mimpi? Mana ruangan
seperti yang kulihat tadi di website? Mana ruangan seperti kata perawat Dahlia
yang katanya menelpon Seroja langsung? Aku tak dapat penghilang rasa sakit atau
apapun itu, dalam kondisi psikosomatis parah dan demam seperti ini?
Barang-barangku bagaimana? Aku bahkan belum berpamitan pada siapa-siapa.
Seorang nenek menghampiriku, memohon untuk dipulangkan, berkata
berulang kali dalam bahasa Madura. Jujur, aku ketakutan. Sebagian pasien
berteriak-teriak, ada yang menyanyi sendiri, ada yang sudah sangat tua dan
kesulitan berjalan, tapi entah mengapa ada di sini.
Ibu yang tidur tepat di sampingku, berusaha menyapa, “Nduk,”
katanya. Aku dengan tegas menjawab, “Mohon maaf Bu, saya sedang berusaha
mencerna semua ini sekarang, saya sedang tidak mau bicara.” Ibu itu diam, namun
terus gigih menanyakan keadaanku, membantuku menjauh dari nenek yang
“menggangguku”, menerjemahkan semua ucapan yang lain padaku, dan
sebaliknya. Ibu inilah penyelamatku, aku berhutang budi selamanya. Bila nanti
aku jadi mengajukan pidana, kesaksian ibu ini akan sangat membantuku.
Aku mulai mendapatkan kesadaranku, dan naluri bertahan hidup
yang lama mati perlahan bangkit. Aku dan Ibu sebelah berbincang tentang begitu
banyak hal, termasuk rencana untuk bisa keluar dari sana secepatnya. Ibu
menjelaskan sistem di sana, soal sel isolasi bagi yang berontak atau dianggap
membangkang, bahwa pemulangan dan penjengukan hanya bisa di hari Rabu, rata-rata pasien
tinggal selama 2 minggu dengan sanitasi dan hidangan yang menurutku,
mengerikan. Bukan tanpa alasan, selama hidup,
aku sudah “mencoba” aneka RSUD di banyak sekali kota, dan di sini, instalasi
rawat inap paling mengerikan. Bahkan dibanding RSU tengah hutan di Kalimantan,
sebab setidaknya makanan di sana masih bisa menggugah selera makan.
Di tulisan lamaku, aku bilang dokter datang membawakan
makananku, nasi kotak dari Dahlia. Ternyata, dia hanyalah perawat yang sewaktu
aku panggil dok, tidak meralatnya. Apa itu wajar? Apa perawat di Seroja merasa setara
dengan dokter jiwa? Saat kuungkapkan segala keluhanku, dia justru menghakimi,
menasehati, dan semua hal yang aku pikir tak akan dilakukan orang yang memahami
apa itu gangguan jiwa. Ikhlas, bersyukur, kembalikan semua pada Allah, tapi mengapa
kami diberi seragam lengan dan celana pendek? Apakah Allah yang dia kenal beda
dengan Tuhanku yang memerintahkan untuk menutup aurat? Tapi aku diam saja, ibu
sebelah juga memberi kode padaku, jangan sampai membantah apapun supaya tidak
masuk sel isolasi. Itu tempat yang mengerikan, jelas beliau, ruangan-ruangan
berjeruji entah satu kali berapa, disiram dari luar di cuaca sedingin ini,
kadang tanpa pakaian, dengan satu lubang untuk membuang hajat dan segalanya,
yang gilanya, tampak nyata dari ruang makan. Entah untuk pembelajaran seperti zaman
penjajahan atau apa, tapi aku jelas tak bisa makan apapun di situasi seperti
itu.
Waktu makan sore, Ibu sebelah menungguku. Karena satu kamar
mandi digunakan untuk 7 orang, dan aku tak ingin berebut giliran, aku jadi yang
terakhir. Dengan baiknya, Ibu sebelah menungguku, karena takut aku dihukum
kalau terlambat sendirian. Sementara aku, masih heran dengan cara staf atau
siapapun itu mengantar pakaian ganti dan menyuruh mandi. Haruskah bajunya dilempar lalu kami diteriaki? Apakah ada salah satu dari kami bertujuh yang memberontak? Kami diam
saja, lalu kenapa kalian perlakukan kami seperti hewan ternak atau budak?
Setelah waktu makan yang mengerikan, minum obat, dan sadar
aku sama sekali tidak diberikan analgesik apapun, kami diminta kembali ke kamar,
lalu dikunci lagi. Hah, beginikah hidup di sini setiap hari? Tidak ada waktu
bahagia, sesi konseling, atau terapi apapun? Wah, malam itu, dengan seluruh
tubuh kesakitan, badan demam tinggi, aku bertahan ditemani Ibu sebelah. Masih
ingat ketika cuaca Jawa lagi dingin-dinginnya? 16 Juli 2024? Saat itulah aku di
sana, kedinginan, kesakitan, berusaha bertahan melewati malam sendirian.
Awalnya jujur, aku ingin mati. Sangat ingin mati, tapi aku tahu, kalau misalnya
aku benturkan kepalaku ke jeruji besi sampai berdarah, mereka akan dengan mudah
mengangkatku, lalu mungkin mengobatiku dan kemudian memasukkanku ke sel
isolasi. Aku memutuskan untuk terus bertahan, dan keluar secepatnya.
Oh iya, yang aku alami di sini, sabun dan sikat gigi dipakai
bersama, ditaruh di lantai kamar mandi dengan jendela lebar yang terpantau CCTV.
Aku mencoba mengadu dengan mempertaruhkan diriku, dan untungnya aku mendapat
bantal, seprai, sikat gigi, pasta gigi, dan sabun sendiri. Karena tak ada
plastik, aku taruh semua itu di bawah bantal. Aku masih cukup waras untuk paham
pentingnya sanitasi. Dan aku berhasil menemukan barangku di ruang administrasi, meski aku memutuskan hanya mengambil kerudung ganti dan makanan yang akan basi. Iya betul, aku
tetap pakai kerudung meski kaki dan lenganku terpampang nyata. Menjijikkan. Dan
apa yang lebih mengenaskan? Bantalku ternyata bukan dari tempat penyimpanan, melainkan
milik teman yang sebelumnya datang. Aku baru tahu keesokan harinya dari Ibu
sebelah, dan aku sungguh menyesal kehadiranku membuatnya tak punya bantal
semalaman.
Dan entah bagaimana, pagi pun tiba. Ibu sebelah kembali merawatku,
lalu kami mengalami hal yang seperti biasa di sana. Perawat melempar baju,
kurang satu, mungkin lupa kalau ada tambahan aku, lalu melempar satu baju lagi.
Sungguh tak bermoral. Di rumah sakit manapun, dengan penyakit apapun, baru kali ini aku melihat
hal seperti itu. Tak lupa teriakannya, “Mandi kalian semua!”
Lagi-lagi, aku bersama Ibu sebelah ke ruang makan. Ibu
mengingatkanku akan rencana kita kemarin. “Ayo kita pulang bersama hari ini
Nduk,” bisik Ibu yang sudah 15 hari di sini. Wah, Tuhan sungguh baik padaku,
aku masuk Selasa, dan pemulangan setiap Rabu. Apakah itu kebetulan? Menurutku
tidak.
Kami makan dengan kondisi serupa, minum obat, lagi-lagi aku
tak sanggup mengunyah apapun, apalagi aku mulai kenal dengan mereka. Perasaan
hampa, penuh keputusasaan, tak ada senyuman dari staf ataupun pasien, aku tak
mengerti, apa memang harus seperti ini? Setiap hari begini?
Tiba-tiba, dokter jiwa satu-satunya di kota ini, visit.
Anehnya, saat beliau tahu aku di sana, entah tanpa sadar atau bagaimana,
berkomentar, “Loh, ngapain Mbak di sini?” Lah, jadi yang memutuskan aku
harus di bangsal dll itu siapa? Perawat yang cosplay jadi dokter jiwa? Aku langsung
menatap mata Ibu sebelah dan beliau segera menarikku begitu dokter pergi, “Ayo
Nduk, kamu bilang sekarang sama dokter, kapan lagi kamu bisa bicara, setelah
ini dokter pergi!” Aku menahan diri, berkata lirih, “Tapi Bu, saya takut masuk
sel isolasi..” Ibu sebelah mendorongku, “Sana pergi, sekarang!” Aku pun
memberanikan diri keluar dari ruang makan, menuju ruang tempat mereka
berkumpul. Dokter, perawat berbadan besar, perawat lelaki tua penceramah dll
memandangku aneh. Aku buru-buru masuk dan mempertaruhkan segalanya, “Dokter
kenal saya? Boleh saya bicara? Apakah saya bisa pulang hari ini? Dokter tahu
saya dan kehidupan saya kan?” dan dokter itu menjawab, “Iya, saya kenal Mbak. Mbak bisa pulang hari ini, sekarang ikutlah kegiatan dulu.” Aku pun berbunga-bunga
kembali ke ruang makan, memeluk Ibu sebelah dan berbisik, “Bu, saya berhutang
pada Ibu selamanya.” Lalu dzikir yang dipandu oleh para staf cemberut dan
sambil main hp entah apa yang dibukanya itu pun, dilanjutkan.
Setelah itu, kami diminta ke lapangan dengan pagar jeruji
tinggi di sekelilingnya. Senam, keliling lapangan 5 kali, dan kakiku yang masih
bengkak setelah kecelakaan mulai sakit lagi, setelah tadinya membaik selama
dirawat 3 hari di Dahlia. Belum selesai, kami diminta berjemur lama sekali sambil
mengobrol. Di sana, aku merasa beberapa perawat dan satpam mulai sadar aku tidak
gila. Pandangan mereka berubah, topik pembicaraan dan nada suara juga berbeda.
Apa aku senang? Tidak. Kenapa aku dan yang lain harus dibedakan? Apa karena aku keluarga pejabat negara? Atau karena aku sama sekali tidak terlihat gila?
Selesai berjemur, pintu kamar masih terkunci. Aku sudah
setengah mati menahan demam, sakit kepala, dada, dan terutama kaki yang cedera.
Kami harus pergi ke lantai 2, dan di sana, sekali lagi berolahraga, aerobik kali ini.
Aku, dengan kakiku yang terasa patah, berusaha menahan sakit. Saat tak kuat dan berjongkok kesakitan, perawat
teriak, “Ayo semua bangun! Tidak ada alasan!” Aku rasanya sedikit lagi pingsan,
sampai ada satu pasien pria lain berkata lirih, “Bu, ayo karaoke saja..”
Perawat yang sepertinya hobi sekali aerobik dengan lagu-lagu Jawa itu
teriak,”Heh! Saya yang perawat, bukan kamu! Berani-beraninya membantah, sudah ikuti
saja!”
Aku putus asa, biarlah kakiku patah lagi, biar aku mati saja. Sampai akhirnya perawat satunya, sepertinya mulai lelah, dan berkata, “Ayo kita karaoke saja.” Para pasien pun bergantian diminta atau ditanya apakah mau menyanyi, sampai tiba-tiba, Ibu sebelah dipanggil ke bawah oleh satpam. Ibu itupun sangat bahagia karena yakin mau pulang, dan mulai berpamitan pada kami semua. Tapi lagi-lagi, perawat perempuan itu berkata kasar, ”Heh, kenapa pamitan? Kata siapa kamu boleh pulang?” Dan tebak ironisnya apa, banyak yang tak sempat bertemu beliau karena dilarang berpamitan dan beliau sudah pulang saat kegiatan selesai, padahal beliau adalah pemersatu kami semua, dan sudah berjasa pada banyak sekali pendatang baru, termasuk aku. Sesaat kemudian, dengan nada yang ramah, perawat itu menanyaiku, “Mbak mau bernyanyi?” Aku menggeleng, lalu tak disangka satpam kembali datang dan kali ini, memanggilku ke bawah. Semua orang terkejut, namun aku, melangkah dengan kepala tegak, meski sedikit menundukkan kepala pada mereka semua saat lewat, lalu pergi tanpa menoleh kembali.
Di bawah, ternyata aku sudah dijemput. Sebelum diminta
berganti pakaian, perawat lelaki tua penceramah itu tanpa lelah menasehatiku
ini dan itu. Aku diam saja, “Sudah tahan saja, toh kita tak akan bertemu lagi,”
pikirku dalam hati. Lalu aku diminta ke kamar dan bersiap-siap. Di kamar, aku
bertemu Ibu sebelah yang sudah siap pergi. “Ibuuuuuuuuu,” aku berlari dan
memeluknya kuat-kuat. “Terima kasih banyak Buuuu. Ini semua berkat Ibu...” Ibu
memelukku eraaaat sekali, rasanya itu pelukan paling hangat seumur hidupku saat
itu, “Alhamdulillah Nduuuk... Ibu senang sekali kamu berhasil pulang hari ini...”
lalu beliau pergi.
Setelah beberes, ternyata kegiatan di lantai atas sudah selesai. Lalu 5 orang yang tersisa menanyaiku, “Kenapa kamu bisa keluar dalam sehari? Ini tidak adil.” Aku hanya bisa
menangis, memeluk mereka satu-satu, dan berkata lirih, “Maafkan saya...” Aku
bergegas kembali ke ruang administrasi. Di sana, belum lelah-lelah juga,
perawat lelaki tua penceramah itu lagi-lagi menghakimi dan menasehatiku. Kesabaranku
sudah hampir habis, tapi aku tahan, tahan, tahan. Akhirnya kami dipersilakan
pergi. Semua dokumen diserahkan kepada penjemputku. Aku belum sanggup
melihatnya waktu itu.
Sesampainya kami di tengah jalan, kami baru sadar, loh, mana
hp dan hasil diagnosa awalku? Aku yang lemah karena tidak makan lebih dari 24
jam, diminta menunggu, sementara penjemputku mengambilnya. Dan beliau hanya
kembali membawa hp, tanpa dokumen lainnya. Oke, sekarang aku harus pulang dan
melihat anak-anakku dulu, baru mengurus semua kekacauan ini, pikirku saat itu.
***
Nah, sekarang babak kedua. Tepatnya tanggal 6 Agustus 2024,
21 hari setelah keluar dari “penjara” itu, aku bertekad mengakhiri traumaku.
Karena aku sadar, trauma tak akan bisa hilang dengan dipendam atau dilupakan,
tapi harus dihadapi dengan penuh keberanian.
Pagi ini, aku parkir di depan kantor RSUD. Aku yakin ruang
keluhan pasti ada di sekitar sini. Aku bertanya pada seseorang berseragam putih,
di mana ruang untuk memberikan keluhan secara offline? “Di gedung belakang, Mbak.
Bukan di sini,” katanya dengan yakin. Lagi-lagi, tidak belajar dari pengalaman,
aku dibodohi. Memindahkan motorku ke gedung yang jauh dari sana, membayar parkir, lalu mencari ruang keluhan. Saat melihat tempat yang ditunjukkan
satpam dan orang-orang hanya berbentuk semacam booth festival anak SD, aku
mendadak emosi. “Wah, rumah sakit ini separah ini? Bahkan tidak ada kursi? Saya
harus mengeluh sambil berdiri?”
Untungnya, seorang petugas berbaju coklat menghampiri, dan
mengantarkanku ke ruang keluhan (yang ternyata di bagian depan rumah sakit, tepat di samping tempatku bertanya arah tadi) sambil meminta maaf. “Mungkin pegawai yang Mbak temui kurang
tahu tentang rumah sakit ini.” Aku nyaris berteriak, ”Bagaimana bisa? Perawat
Dahlia tidak tahu Seroja, pegawai RSUD tidak tahu di mana ruang keluhannya, menurut Mbak itu tidak aneh?” Beliau hanya berkata, “Mohon maaf...”
Setelah kembali tepat ke tempat awal aku memarkir motor dan
bertanya pada pegawai yang entah kenapa tidak tahu ada apa saja di tempat
kerjanya itu, aku bertemu dengan seorang Kabag yang bilang akan mendengarkan semua
keluhanku. Aku dipersilakan duduk di sofa yang nyaman, dan beliau bahkan
mengenaliku karena sudah membaca keluhan yang kukirimkan secara online. Wah,
RSUD Bondowoso ternyata tidak seburuk itu. IGD-nya salah satu yang terbaik di
Indonesia, satpam polinya tegas menindak perokok di area RS, dan keluhan secara
offline juga ditanggapi dengan cukup baik.
Beliau bahkan meminta salah seorang stafnya untuk mencatat
apa saja keluhanku, seperti berikut:
1. Website yang tidak sesuai, Seroja yang misterius
bahkan bagi perawat lain, dan kurangnya sosialisasi tentang RSUD kepada para
pegawainya sendiri.
2. Kebersihan instalasi rawat inap yang menurut
saya kurang, TERUTAMA Seroja.
3. Makanan yang sama sekali tidak menggugah selera,
saya kira untuk anak saja, rupanya dewasa juga. Apalagi Seroja, mengenaskan.
4. Selanjutnya: PAVILYUN atau lebih tepatnya
BANGSAL SEROJA
a. Saya merasa dibohongi tentang apa itu Seroja,
atau lebih tepatnya perawat Seroja membohongi perawat Dahlia?
b. Administrasi masuk Seroja yang tidak jelas,
tidak ada pemberitahuan atau tulisan yang bisa dibaca dan diketahui seseorang
sebelum masuk ke sana. Iya kalau sengaja dibuang oleh keluarganya, kalau seperti
saya, yang punya keluarga bahagia dan pernah mengetahui RSJ yang layak dan
ramah? Kalau tidak sanggup, kenapa tidak membangun RSJ saja? Saya sudah ke
semua IGD RS di Bondowoso, dan semua mengarahkan saya ke RSUD karena hanya di
sana ada ruang jiwa katanya. Kalau kondisinya begitu, lebih baik saya tidak
usah sembuh saja. Yang jelas, tempat itu tidak cocok untuk saya
c. Kalau memang sulit memperlakukan semua penyintas
gangguan jiwa dengan sikap yang sama, buatlah kelas atau pembagian. Atau laranglah orang
dengan psikosomatis masuk, saya rasa sehari lagi saya di sana, saya akan
pingsan karena tak ada asupan dan harapan. Saya tahu, karena itu pernah terjadi sebelumnya.
d. Alasan mereka, saya ditaruh bangsal karena
kondisi saya tidak memungkinkan sendiri. Tapi coba tunjukkan di mana ruang VIP atau kelas 1 itu? Bagaimana orang yang boleh masuk ke dalamnya? Saya
tidak menemukannya selama di sana. Apakah semua itu inisiatif perawat yang cosplay jadi dokter
atau bagaimana? Kenapa besoknya dokter kaget saya ada di sana?
e. Obat saya ada yang ketinggalan. Bagaimana kalau saya dari
daerah pelosok atau luar kota? Dan tahu apa alasannya? Katanya saya terburu-buru pulang. Bagaimana
mungkin? Silakan cek CCTV kalau memang tidak diutak-atik ya. Jelas di sana.
f. Ringkasan pulang saya sangat aneh. Tidak terbaca,
tidak ada tanda tangan saya atau keluarga, tidak seperti pavilyun lainnya di
seluruh Indonesia. Tanggal masuk juga tidak sesuai. Jelas-jelas saya masuk Seroja
tanggal 16-17 Juli 2024, kenapa tertulis tanggal 14? Prasangka saya, demi BPJS?
Atau kesalahan apa? Kenapa tidak ada yang bisa menjelaskan tadi waktu saya ke sana?
g. Hp dan hasil CT Scan, tes darah, rontgen dll
dari Dahlia tidak diserahkan sewaktu saya pulang. Alasan dokter, karena mereka
lupa dan tidak terbiasa. Apakah ini bisa dipidana?
Dan tahu apa poin paling penting yang aku dapatkan hari ini? Tuhan memudahkan sekali jalannya. Bapak Kabag ada waktu beberapa menit sebelum rapat, ada pegawai baik yang menemani dan cepat tanggap, bertemu satpam baik dan aku sempat berulang kali berterima kasih pada para staf IGD karena sudah berusaha sebisa mereka. Bahkan Seroja yang terkunci itu mendadak terbuka karena ada teknisi ke dalam, dan mengajakku ke sana tanpa bertanya untuk apa.
Aku masuk dengan kepala tegak, lalu membuka pintu terkunci itu dengan berani, karena aku datang bukan sebagai pasien yang bisa mereka isolasi kapan saja lagi. “Permisi, oh, ada dokter? Baiknya saya kembali nanti atau boleh bicara sekarang di sini?” Refleks mereka bertanya, “Siapa ya?” Ternyata dokter mengenaliku dan mengizinkanku bicara di tengah rapat mereka. Karena tidak ada yang tersenyum dan menyilakan duduk seperti Bapak Kabag sebelumnya, aku ambil kursi sendiri dan berkata, “Oke, saya duduk di sini ya.”
Lalu kusampaikan bahwa tujuanku ke sini adalah mengambil hak yang seharusnya kudapatkan (hasil tes darah, rontgen, CT Scan) dan mengonfirmasi keabsahan ringkasan keluarku, sebab keluhan lain sudah kusampaikan langsung baik online maupun offline lewat berbagai pihak. Lalu dokter beralasan maaf, mungkin petugas lupa karena tidak terbiasa. Aku balas, “Lupa? Bagaimana kalau saya dari luar kota?” Dan perawat lelaki penceramah itu mulai menaikkan suara, “Diam!” katanya. “Bapak yang diam, saya sedang bicara dengan dokter.” “Iya, tapi turunkan intonasinya!”
Dokter berusaha menengahi, tapi aku mau menyelesaikan traumaku dengan bapak itu. “Saya akan diam kalau Bapak juga diam.” Lalu ibu perawat berbadan besar yang sebelumnya cosplay dokter ikut-ikutan, “Mbak, ini dokter mau ngomong, tapi mbaknya blablabla.” Saya refleks menaikkan suara, “Saya akan diam, kalau kalian semua diam, kecuali dokter.” Dokter akhirnya kembali menjelaskan alasan mereka, khilaf dll, lalu bertanya, “Ada lagi yang mau disampaikan Mbak?” Saya jawab, “Dok, dari semua RSUD se-Indonesia yang sudah saya rasakan, baik penyakit fisik maupun psikis, instalasi rawat inap di kota ini yang paling parah. Tolong, tolong buat perbaikan. Saya cinta sekali kota ini, kecuali instalasi rawat inapnya. Semoga ke depannya, semua layanan terutama untuk penyintas gangguan jiwa di sini akan jadi lebih baik.” Dan coba tebak, hanya dokter yang berkata, “Amin..” yang lain hanya diam dengan ekspresi menahan entah amarah atau apa.
“Oh iya, satu lagi,” aku menambahkan. “Tolong kurangi judgement pada kami, para penyintas. Tolong jangan mudah menghakimi kami, karena kalian tidak pernah jadi kami. Bapak, Ibu,” saya tegaskan sambil melihat satu-satu wajah orang-orang yang sangat hobi ceramah itu. “Kurangi nasihat kalau tidak diminta, jangan terlalu mudah menghakimi dan selalu menceramahi. Saya tidak ada masalah dengan dokter sekarang, itu sebabnya saya terus berobat, tapi saya ada masalah, ketika perawat, pura-pura jadi dokter. Tolong jangan diulangi. Sudah dok, itu saja. Terima kasih. Boleh saya pergi sekarang? Assalamualaikum.” Kulihat wajah mereka satu per satu, dan ternyata, semua ketakutan itu, pergi kini.
Kawan, sekali lagi kukatakan, trauma itu, harus dihadapi,
bukan dikubur dalam-dalam di hati.
Komentar