GELAP

Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata.

Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan.

Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hanya bergetar pelan, kalah oleh hening yang menelan segalanya.

Siang hari tak lebih baik. Saat matahari bersinar, keinginannya untuk mati semakin kuat. Ia merasa dunia di luar tidak membutuhkan dirinya. "Apa gunanya aku di sini?" pikirnya berulang kali. Bahkan bayangannya sendiri yang terpantul samar di cermin tampak seperti orang asing yang tak ia kenali.

Setiap detik terasa seperti hukuman. Ketukan kecil di pintu dari keluarganya hanya membuatnya semakin menciut. Mereka mencoba berbicara, memohon, bahkan menangis. Tapi Icha hanya diam, tak mampu merespon, membiarkan suara mereka menghilang begitu saja.

Suatu hari, saat dunia terasa terlalu berat dan ia betul-betul ingin meninggalkan dunia ini, Icha mendengar suara hujan di luar. Awalnya hanya rintik kecil, lalu berubah menjadi deras. Ia mendekati jendela, tapi tidak berani membuka tirai. Ia hanya menempelkan telinganya ke kaca, mendengarkan suara alam yang terasa tak familiar.

Hujan itu mengingatkannya pada masa lalu. Ia ingat pernah menari di bawah hujan bersama teman-temannya, tertawa hingga perutnya sakit. Ia ingat pernah memandangi langit mendung sambil menggenggam secangkir teh hangat. Sekilas, kenangan itu menyusup ke dalam hatinya yang beku.

"Apakah aku masih bisa merasakan itu lagi?" bisiknya pelan. Tapi suara di kepalanya segera menjawab, Tidak. Kau sudah rusak. Dunia tidak membutuhkanmu. Kau harus segera pergi.

Air mata mulai mengalir, tanpa suara, hanya isakan kecil yang ia tahan sekuat tenaga. Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Icha meraih ponsel di laci. Tangannya gemetar saat menyalakannya. Layar menyala terang, menusuk matanya yang sudah terbiasa dengan gelap. Tak ada pesan, tak ada panggilan tak terjawab—hanya layar kosong yang mengingatkannya betapa ia telah memutus semua hubungan.

Namun di tengah keheningan itu, ia teringat satu nomor. Nomor seorang teman lama yang dulu selalu ada untuknya. Dengan keberanian yang hampir habis, Icha mengetik sebuah pesan: "Hai. Ini aku."

Detik-detik setelah pesan terkirim terasa seperti hukuman. Jantungnya berdegup kencang, ketakutan melahapnya lagi. Tapi kemudian, ponselnya bergetar. Balasan datang: "Aku di sini untukmu. Apa yang bisa kubantu?"

Pesan itu singkat, sederhana, tapi cukup untuk membuat Icha menangis tersedu-sedu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia tidak benar-benar sendirian.

Hari itu tidak mengubah segalanya. Icha masih takut pada dunia luar, masih terjebak dalam kegelapan. Tapi kini, ada secercah harapan kecil yang menyala di sudut hatinya. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa bisa jadi, hidupnya masih memiliki arti.

Komentar

Mala Fimelyana Dewi mengatakan…
bersama kegelapan ada terang benderang kak Cha... Semangaat
Aisyah El Zahra mengatakan…
Iyaaa alhamdulillah sudah berlalu dan berhasil lulus nih, makanya sudah bisa ditulis sekarang ;)
Aisyah El Zahra mengatakan…
Terima kasih banyak ya sudah membaca dan komentar.. Sampai ketemu di kisah lainnya!

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

SURAT (3)