Postingan

Halo! Selamat datang di blog Aisyah El Zahra!

PEKARANGAN INSTITUTE

Gambar
Ada tempat di mana proses belajar tak hanya terjadi lewat buku, guru, ataupun diskusi formal. Tempat yang membiarkan kita duduk dalam diam, mendengarkan bunyi angin, meresapi jejak langkah, dan menangkap suara hati yang lama tertinggal. Tempat itu bernama Pekarangan Institute . Aku baru saja kembali dari sana—sebuah pengalaman yang tak mudah dirangkai dalam sebuah kalimat. Di sanalah aku belajar, bukan semata tentang kata, tapi tentang makna yang tersembunyi di balik jeda . 🌱 Belajar dari Diam dan Rasa Di ruang itu, aku diajak untuk bergerak perlahan . Untuk menepi dari hiruk-pikuk dunia luar dan mendekat pada riuh yang ada di dalam jiwa. Belajar dari alam yang diam tapi tak pernah lalai memberi cinta. Dari kesunyian yang justru menjadi guru paling jujur bagi kita. Aku belajar tentang: Kesabaran , bukan hanya untuk orang lain, tapi pada diri sendiri yang sering terburu-buru ingin selesai. Kekuatan , bukan yang gagah dan lantang, tapi justru penuh ketenangan dan kelembutan....

SURAT (4)

Untuk aku yang pernah hidup sepenuhnya, Aku tahu kamu masih ada di dalam sini. Aku dengar langkah-langkahmu, walau kini hanya berupa gema dalam kepalaku yang penat. Dulu kamu berjalan ringan, membawa ransel kecil tapi hati yang lapang. Memberi, menjumpai, merasa—tanpa takut ditinggal atau ditolak. Dulu kamu hidup bukan untuk pencapaian, tapi untuk pengalaman. Dan itu cukup. Hari-hari ini, aku kehilangan jejakmu. Tersesat dalam dunia yang penuh rencana, tapi terasa hampa. Aku coba menjadi seperti yang diharapkan. Tangguh, pintar, “bermanfaat.” Tapi ternyata, itu membuatku menjauh darimu. Hari ini, aku memanggilmu pulang. Tak harus dengan koper atau peta. Cukup duduk sebentar, membuka hati, dan mendengar lagi suara langkahmu. Aku janji, akan memberimu ruang. Untuk berjalan. Atau sekadar diam.  Tunggu aku. Aku sedang kembali padamu, sedikit demi sedikit. — dari aku yang (masih) mencintaimu.

OVERTHINKING

Tentang Overthinking: Tubuh yang Tak Pernah Tenang Aku baru menyadari, bahwa overthinking bukan sekadar kebiasaan buruk. Ia adalah cara tubuh yang tumbuh dalam ketidakamanan, untuk tetap merasa aman. Di lingkungan yang tak pernah memberi kepastian, kepala ini belajar mencari solusi bahkan sebelum masalah datang. “Apa yang harus kulakukan?” jadi mantra yang diputar ulang, meski tak ada pertanyaan dari luar. Overthinking membuat kita merasa punya kendali. Seolah-olah dengan terus berpikir, kita sedang melakukan sesuatu. Seolah-olah dengan mencari kemungkinan terburuk, kita sedang menyelamatkan diri. Padahal, yang sering terjadi: kita hanya sedang menjauh dari hidup yang nyata. Lupa bahwa detik ini juga penting. Bahwa ada hal-hal yang sudah baik, tapi tak kita lihat karena sibuk menyiapkan diri untuk yang buruk. Mungkin itu sebabnya kita mudah lelah. Karena sebagian dari kita masih hidup dalam mode bertahan, padahal hari ini, sebenarnya kita sudah sampai di tempat yang lebih aman.

DAMAI

Ada satu momen ketika aku tidak ingin marah lagi. Bukan karena aku kalah. Bukan karena aku lupa rasa sakitnya. Tapi karena aku ingin damai. Kadang aku terlalu sibuk membuktikan siapa yang paling tersakiti. Siapa yang paling berhak marah. Siapa yang harus meminta maaf duluan. Tapi aku lelah. Dan kali ini, aku memilih untuk tidak saling menyalahkan. Aku memilih untuk jujur tanpa menyakiti. "Kalau kamu ingin pergi, pergilah. Tapi jangan tinggalkan luka." Aku tidak menuntut siapapun untuk tinggal, atau kembali. Aku hanya ingin kejelasan. Kejujuran. Dan kedewasaan. Membela diri tidak harus lewat kemarahan. Kadang, membela diri adalah memilih untuk tetap tenang, saat kamu bisa saja meledak. Kadang, membela diri adalah berkata cukup. Dengan lembut. Tanpa menunduk. Dan kalau kamu pernah mengalami hal yang sama, tolong ingat ini: Kamu tidak salah karena masih ingin di sini. Kamu tidak lemah karena memilih tidak membalas. Itu tandanya kamu sedang tumbuh. Dan kamu boleh bangga karena ti...

VOICEOVER

Gambar
Menyuarakan Makna: Perjalanan dan Tips Voiceover dengan Hati Ada kalanya suara lebih jujur daripada kata-kata. Di balik satu rekaman pendek, ada napas yang diatur, senyum yang disisipkan, dan hati yang benar-benar hadir. Itulah dunia voiceover—seni menyampaikan makna lewat suara. Aku memulai perjalanan ini dari hal sederhana: membaca dengan perasaan. Dari membacakan puisi untuk lomba, menjadi pembawa acara, hingga akhirnya diminta mengisi suara untuk video sekolah, lalu berkembang jadi konten narasi, iklan, hingga edukasi. Tapi voiceover bukan sekadar bicara. Ia adalah seni mendengar—bukan hanya terhadap naskah, tapi terhadap dirimu sendiri. 5 Tips Voiceover untuk Pemula (Dengan Smiling Voice!) 1. Tersenyumlah, Bahkan Saat Tidak Terlihat Smiling voice adalah kunci. Senyum kecil saat merekam akan membuat suaramu terdengar lebih ramah, hangat, dan menyentuh hati. Coba rekam dua versi—dengan dan tanpa senyum—dan rasakan bedanya. 2. Kenali Emosi Naskah Suara harus tahu kapan ha...

AFIRMASI (2)

Hidup di Sini dan Sekarang: Seni Menyatu dengan Kehidupan “Jika kau hidup di masa lalu, kau terjebak dalam penyesalan. Jika kau hidup di masa depan, kau tercekik oleh kecemasan. Tapi jika kau hadir di saat ini, kau akan merasakan keajaiban hidup.” Kita sering lupa, bahwa tempat paling aman bukanlah kenangan atau harapan—tapi di sini, saat ini. Alam memiliki hukumnya sendiri, dan hukum itu sederhana: hidup hanya terjadi sekarang. Melawan hukum ini adalah penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Depresi hidup di masa lalu. Kecemasan hidup di masa depan. Namun damai? Ia hanya muncul ketika kita benar-benar hadir. Tarik napas… 4 detik. Tahan… 4 detik. Hembuskan perlahan… 4 detik. Lalu rasakan tubuhmu. Scan perlahan, dari ujung kepala sampai jari kaki. Apakah rahangmu tegang? Apakah bahumu mengeras? Sadari semuanya. Dan berikan satu perintah penuh kasih pada jantungmu: "Tenanglah tubuhku, kita baik-baik saja." Kemudian sadari, di mana kau sedang berada. Kursi yang menyanggamu. Kasu...

SEPULUH

Gambar
Aku berjalan di gang-gang kecil, menyusuri bayangan yang tumpah dari langit malam. Anak-anak bersenda gurau, mengejar kawan sambil mengayuh sepeda perlahan. Motor dan sepeda pancal silih berganti melewatiku, mengiris sunyi dengan deru dan dentingan. Sorot lampu menyilaukan mataku, tapi tak mampu menyamarkan masa yang merambat perlahan. Aku hanya menghabiskan waktu— duduk, berjalan, lalu diam, menunggu DAMRI jam sepuluh yang terasa begitu lama. Aku terus melangkah, seolah jika aku bergerak, kesepian ini takkan sempat mengejar. Di sekelilingku, kota tetap hidup. Anak-anak masih tertawa, orang-orang berlalu lalang tanpa sempat menoleh, dan aku di antaranya—diam, ada, tak sepenuhnya hadir. Ruang tunggu riuh, bukan hanya untuk keberangkatan, tapi juga untuk jawaban-jawaban yang tak kunjung datang. Dalam hati, aku bertanya: "Apakah aku baik-baik saja?" Dan jujur saja, aku tak tahu. Tapi aku masih di sini. Masih cukup kuat untuk menanti, meski rasanya waktu menertawaiku ...