NGIDAM 2 - BERSAMBUNG

Sejam pun berlalu. Aku tergugu. 
Tahu tidak, kawan-kawan? Kata Ayah barusan, aku mau punya adik! Adik betulan! Yang tidak pernah kuharapkan kehadirannya! 
Tapi kata Ayah juga, adikku itu baru akan muncul beberapa bulan lagi. Entah kenapa, aku juga tidak tahu! 

Kutatap Ayah yang menunggu respon dariku. “Emm...” Aku memulai. “Ayah kan tahu, Cha tidak pernah mau punya adik. Tapi, kalau Ayah bilang begitu, Cha bingung harus bilang apa lagi. Tapi, Yah... Apa adik itu betul-betul tidak bisa dikembalikan ke tokonya?” pintaku memelas. Ayah tertawa geli, “Sepertinya begitu, Sayang. Cha tidak marah, kan?” 

Aku terdiam. Siapa sih yang bisa marah melihat wajah Ayah yang bercahaya itu? Aku pun hanya bisa mengangkat bahu. “Pokoknya Ayah dan Ibu tidak boleh melupakan Cha ya.. Jangan-jangan, nanti kalau adik itu sudah datang, Ayah dan Ibu membuang Cha ke tempat sampah karena tidak sayang lagi...” Mataku berkedut ketakutan. 

Ayah memelukku sayang. “Ya tidaklah Sayang... Kasih sayang ayah dan ibu sama, untuk semua anak ayah dan ibu.. Kamu paham?” tanya Ayah sambil menjentik hidung bangirku. 
Aku merasa sungguh bahagia. Kupeluk Ayah erat-erat, seolah tak ingin kulepas lagi. Lama kelamaan, akupun mengantuk dan terlelap di dadanya yang bidang. 

Keesokan harinya, setelah mandi dan berbenah, aku mendengar suara-suara ribut di belakang rumahku. Dengan hati penasaran, kulangkahkan kaki mungilku kesana.
 
Tak berapa lama, tahulah aku sebab suara-suara itu. Ternyata, ibuku sedang muntah-muntah hebat! “Woeekk...wooeeekk...woooeeeek.....” Ibu terlihat lemas dan tersiksa sekali. 
Kuhampiri Ibu yang terduduk kelelahan. Ayah disampingnya, memijit lembut tengkuk ibu. “Ibu kenapa, Ayah?” tanyaku kebingungan. “Apa Ibu sakit??” Aku duduk disebelah Ayah. 

Ayah memeluk bahuku. “Tidak, Sayang... Ini namanya... Emmm.. Bagaimana ya...” Ayah menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 
“Ini namanya ngidam sayaaang...” Ibu menarik lenganku, lalu mendudukkanku di pangkuannya. “Ngi—daaaammm??” aku begitu kesulitan menyebut kata aneh itu. “Apa itu?” 
“Kalau ibu mau punya anak, ibu muntah-muntah, terkadang pusing, dan lain-lainnya... Dan itu sering disebut ‘ngidam’. Mengerti?” Ibuku berusaha menjelaskan.

Aku berdiri seketika. Kutepiskan tangan ibu yang berusaha meraihku kembali. “Jadi, ini semua gara-gara adik jelek itu??!! Aku tidak terima ibu tersiksa karena anak itu!"
Ibu menoleh kearah ayah. Setelah berpandangan sejenak, Ayah menghampiriku.
“Sayang, adikmu tidak salah.. Ibu sedang tidak enak badan, masuk angin, makanya muntah-muntah.. Sudah, sekarang persiapan ke sekolah ya?”
Ayah menuntunku yang masih ogah-ogahan. 

Di sekolah, aku masih gelisah. Aku tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran demi pelajaran di kelas. 
Ketika bel pulang berbunyi, aku berlari kecil mengejar guruku yang baru saja meninggalkan kelas. 
“Bu.. Bu Guru. Mau tanya Bu Guru...” panggilku. 
Bu Eni berbalik, menggenggam tangan kananku. “Ada apa Icha? Apa yang ingin kamu tanyakan?”
 
“Bu, ngidam itu apa sih?” tanyaku polos.
Bu Eni tampak kaget. Namun ia segera menutupi keterkejutannya dengan sebaris senyum. 
“Kenapa kamu tanya itu, Sayang?” Bu Eni mengajakku duduk di taman depan kelas yang rindang. 
“Soalnya, katanya ibuku mau punya adik baru. Terus, ibu muntah-muntah tadi pagi, katanya ibu ngidaaammm..” 

“Begini, sayang...” Bu Eni menghela napas panjang. “Ngidam itu, hal-hal tidak biasa yang dialami oleh seorang ibu hamil...” 
“Ibu hamil itu apa, Bu?” potongku tak mengerti. 
“Loh, Icha belum tahu? Kalau ibu Icha mau punya adik baru, berarti ibu Icha sedang hamil. Sekarang, adik Icha sedang tidur di perut ibu Icha, menunggu saatnya keluar nanti. Begitu... Paham?” 

Aku tak bisa bilang apa-apa. Aku sungguh terkejut! Jadi begitu... 
“Di perut ibu Icha??? Memangnya cukup, Bu?” 
“Kan sekarang masih kecil, Cha...” 
Bu Eni tersenyum simpul. 
Aku belum puas, “Nah, kalo sudah besar bagaimana? Apa tidak meledak nantinya Bu???” 
Aduh! Aku tak bisa membayangkan kalau perut ibu membesar seperti balon lalu meledak saking besarnya! 

Bu Eni mengusap kepalaku. 
“Insya Allah tidak, sayaaang... Kalau sudah besar, nanti adik Icha keluar dari perut ibu Icha, terus bisa main deh sama Icha. Begitu, sudah mengerti sekarang?” 
Aku menggeleng, 
”Bagaimana cara dia keluar, Bu? Apa perut ibu harus dibelah?” 
Hii... aku tidak mau perut ibu dibelah hanya karena anak kecil itu! 
“Tentu tidak sayang... Allah sudah memberi jalan keluar untuk adik Icha.. Jadi, perut ibu Icha insya Allah tidak perlu dibelah seperti yang Icha pikirkan...”
 
“Nah, sekarang sudah waktunya pulang, oke?!” Bu Eni membimbingku ke halaman sekolah. 
Disana kulihat Mang Uda, becak langgananku, sudah menunggu. 
Aku pun pulang, masih dengan sejuta pertanyaan yang belum kupahami memenuhi otakku.

Nah, sampai pada suatu malam, Ayah membangunkanku yang tengah tertidur pulas. “Hoaahhmm...” aku menguap. 
“Ada apa, Ayah?” tanyaku menahan kantuk. 
Kulirik jam di dinding. Pukul satu! 
Kenapa ayah membangunkanku malam-malam begini? 
“Ikut Ayah yuk, Sayang. Adik Icha ingin dicium sama kakaknya..” Ayah menggendongku. 
Kulihat kamar Ibu menyala terang. Ibu belum tidur malam-malam begini? 
Seribu tanya hinggap di benakku. Ayah mendudukkanku di atas tempat tidur ibu. 

Kupandang wajah ibu yang tak seperti biasanya. Ia tampak aneh. Sungguh! 
“Ayo sini, sayaang...” pinta ibu. “Adik ingin kamu cium. Sini...” 
Hah! Mana anak kecil itu? Hhh... Jangan harap aku sudi menciumnya! 
Aku melengos keras. 
“Mana dia?” tanyaku ketus. 
Ayah memelukku. 
“Di sini, sayaaang...” kata ayah sambil mengelus perut ibu yang mulai membuncit.

Apa-apaan ini? Masa aku harus mencium perut ibu yang membulat itu? Yang benar saja! “Tidak mau!” 
Aku bangkit, berjalan ke kamarku. “Aku mau tidur. Ngantuk.” 
Ayah dan Ibu berpandangan. 
 “Cha...” panggil Ayah. “Sebentaaar... saja. Mau ya, Sholihah?” 
Ayah meraihku. Aku tak bisa mengelak. 
Yah, apa mau dikata, kucium juga perut ibu, yang katanya menyimpan bakal adikku ‘yang menyebalkan’ itu. 

“Sudah, kan??” Aku meringis. “Sekarang Cha mau penjelasan, kenapa aku harus mencium ‘dia’ malam-malam begini?” 
Ibu menarikku ke pangkuannya. Mengelus rambutku lembut. 
“Ini juga disebut ngidam, Sayang... Adikmu ingin dicium kakaknya.” 
Aku berontak. Dengan sigap kulepas rangkulan ibuku. 
“Apa kata Ibu? Ngidaaamm???” 
Huh, lagi-lagi kata yang aneh itu! 
Ibu melirik Ayah. Ayah berdiri, membawaku kembali ke kamar. 
“Ya sudah, tidur lagi yuk, Cinta... Ibu dan adik kecil mau istirahat dulu...” 
Hah! Enak aja! Kan aku yang sudah terganggu tidurnya! Nyebelin banget sih! Akhirnya aku tak bisa tidur nyenyak sepanjang sisa malam itu.

Beberapa hari setelahnya, kakakku yang ketiga, Mbak Leni, membisikiku. “Cha, tau tidak?! Tadi Ibu ngidam aneeeehhh... sekali!” Matanya membulat lebar. 
O-ow! ‘Kata itu’ lagi! 
‘Kenapa sih semua orang menyebut-nyebut kata itu?’ pikirku murung. 
“Kamu ga mau tahu?” Mbak Leni berusaha memancing rasa ingin tahuku. 
Aku mengangguk. “Kenapa?” tanyaku akhirnya. 
“Masa katanya, Ibu pengen lihat Ayah plontos siihh?!” Aku memotong kata-kata mba Leni, “Plontos? Apa itu?” Aku tidak mengerti. 
“Plontos... Cha! Botak, gundul, tak ada rambut....” jelas Mbak Leni sambil membelalakkan kedua bola matanya. 
Waaahh!!! Tidak!!! Kalau Ayah tak punya rambut, nanti ayah tidak cakep lagi. Tidak seperti dewa dari khayangan lagi. Aku tidak mauuuuuu!!!!!!
 
“Terus Cha....” Mbak Leni melanjutkan ceritanya yang terputus. “Ibu mengambil alat cukur Ayah... Lalu, sret...sret...sret! Wuuiiihhh... Dalam sekejap, rambut Ayah sukses dicukur habis oleh Ibu! Ya sudah, begitu deh.. Oke, aku pergi dulu ya...” 
Setelah menyelesaikan ceritanya, Mbak Leni beranjak pergi. Tak dipedulikannya sepotong hati disini yang hancur dan kecewa. Sedih. 
Aku pun terisak. Kucari sosok ayahku. ‘Pasti ayah sedih...’pikirku. ‘Ayah kan selalu merawat rambut bintang iklannya itu...’ kataku lagi dalam hati. 

-BERSAMBUNG-

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)