NGIDAM

Tahu tidak, satu kata yang paling kubenci? Kata itu adalah: ngidam! Bila mendengar kata itu, bisa dipastikan minimal aku melengos, atau tanpa babibu lagi segera pergi meninggalkan tempat. Kamu mau tahu kenapa aku sungguh membenci kata itu? 
Entahlah guys! Ini dapat menjelaskan alasan utamaku membencinya atau tidak, jadi begini, ketika aku masih kecil, orangtuaku sungguh memanjakanku. Aku, anak bungsu dari empat bersaudara, yang semuanya perempuan, tentu merasa pantas untuk selalu dimanja, ditimang, disayang, hehe.. 

Nah, permasalahannya dimulai saat ayahku ingin ibu hamil sekali lagi. Yaah, siapa tahu laki-laki, begitu mungkin pikiran ayahku saat itu. Terang saja aku mencak-mencak saat ayah mengatakan hal tersebut padaku, yang ketika itu berusia enam tahun. 
“Pokoknya aku tidak mau!!” begitu teriakku selalu setiap kali ayah dan ibu berusaha membujukku. “Aku tidak akan pernah mau punya adek lagi!!!” teriakku lain kali. 
Bahkan pernah aku terang-terangan mengancam akan mencekik atau apalah supaya calon ‘adikku’ itu tidak ada di dunia ini. Hihi, kejam juga ya?
Akhirnya, kedua ortuku mengalah. Habisnya, kakak-kakakku, sepupu-sepupuku, bulek-paklek, bude-pakde semua tidak berhasil membujukku sama sekali. Aku tetap kukuh pada pendirianku. 

Permasalahan kuanggap selesai. Kurasa, tidak akan ada lagi yang berani melawanku sejak saat itu. 
Namun, tahukah saudara-saudara? Aku lupa selupa-lupanya, bahwa masih ada satu kekuatan besar yang tak mungkin dapat dilawan. Yang dapat melakukan apapun yang Ia kehendaki. Siapakah Dia? Yups, tak lain tak bukan, Allah SWT. 
Meskipun ibuku sudah memakai pengaman, ehm, apa ya? Aku kurang paham waktu itu, tapi ternyata suatu hari yang menegangkan itu pun tibalah. 

Ibu saat itu sedang berada di kamarnya seorang diri. Tiba-tiba kudengar suara barang pecah. Pyaaaar!!! Segera kuhampiri kamar ibuku, takut terjadi sesuatu padanya. 
Kulongokkan kepalaku. Kok ibu tidak ada? Oh iya, pasti di kamar mandi! Dengan nekat kubuka pintu kamar mandi ibu, sembari berbisik pelan, “ Ibu.. Kenapa?” 
Tahu apa yang kulihat, teman-teman? Ibu terduduk di lantai kamar mandi sambil menangis! 
Kenapa kau, ibuku sayang? Kudekati ibu, sambil kuusap lembut kepalanya. Lalu dengan lagak sok bijak (iyalah, aku kan masih berusia enam tahun waktu itu!) aku berjongkok di sebelah ibu sambil berkata seolah menasehatinya, seperti yang biasa beliau lakukan padaku. 
“Ayo! Ibu main air ya? Ibu nakal! Kan Ibu sering marahin adik kalau adek mainan air... Kata Ibu, nanti adik sakit. Begitu kan, Bu? Ya, kan?” Kukedip-kedipkan kedua mata lebarku. 
Ibu malah menangis semakin keras sambil memelukku erat-erat. O-ow! Ada apa ini? Pikiran kecilku belum mampu mencerna situasi yang terjadi saat itu. 

Tapi ternyata mataku cukup awas. Kulihat sebuah benda pipih panjang tergeletak begitu saja di pinggir bak mandi. Segera kuambil benda itu, dan kupegang dengan kedua tangan mungilku. 
“Ini apa, Bu?” tanyaku polos. 
Ada dua garis merah pada benda aneh itu. 
Ibuku terbelalak. Dengan tergesa direbutnya benda itu dariku. 
“Bukan apa-apa Nak! Sungguh...” Ibu mengusap wajahnya. “Ibu tidak apa-apa. Ibu tadi kelilipan... Sudah ya, nanti kamu kena pecahan kaca...” 
Ibu menuntunku keluar kamar mandi. Huh, siapa juga yang percaya pada teori ‘kelilipan yang tidak masuk akal ‘ itu. Anak bayi juga tahu! Tapi, yah, melihat wajah ibu yang penuh permohonan itu, bolehlah aku keluar dulu. Toh aku sudah tahu sekarang! Pasti benda pipih panjang itu rahasianya, penyebab tangis ibu saat itu! 

Kudiamkan saja peristiwa pagi tadi. Namun satu rencana telah terbetik di memoriku, sebuah rencana yang akan membongkar rahasia ibu! 

Siangnya, ayah pulang istirahat dari kantor. Tak kusia-siakan kesempatan emas ini. Ayah pasti tahu ada apa sebenarnya dengan ibu. Kudekati ayahku, lalu kekecup tangannya hormat. 
“Ayah.. Ayah... Cha mau nanya boleh tidak, Yah?” pintaku manja. 
“Tentu saja boleh, Sayang...” Ayah mengusap kepalaku sayang. 
“Ayah.. Tahu tidak Yah? Tadi ibu menangis di kamar mandi.. Sambil main air..” 
“Oh iya?” Ayahku terlihat bingung. “Lalu?” 
“Terus, ibu marah waktu adik lihat alat aneh di pinggir bak. Lucu deh Yah.. Ada garisnya dua, warna merah...” 
Seketika kulihat perubahan pada wajah ayahku. Kini ia tampak begitu terkejut. Kenapa ya? 

Tiba-tiba... “Sayang... Ayah mau masuk dulu ya? Nanti Ayah jelaskan lagi..” kata Ayah sembari beranjak meninggalkanku. 
Spontan aku merajuk, “Ayah jahat! Ayah jahat!! Ayah kan sudah janji mau jawab pertanyaan Cha tadi... Ayah bohong...” kukejar Ayah sebelum ia masuk ke kamar. 

Ayah berbalik, lalu berlutut di hadapanku. “Nanti saja ya, Sayang.. Ayah baru ingat, ada hal penting yang harus Ayah bicarakan sama Ibu.. Ya?” Sekilas kulihat permohonan yang sangat di mata Ayah. Akupun mengalah. 

Setengah berlari kumasuki kamarku, lalu kubanting pintunya keras-keras. Brak!! Tak lupa kukunci pintu rapat-rapat, lalu kusungkurkan wajahku ke bantal. Jahat! Ayah jahat! 

Sampai bulan menempati peraduannya, aku tak kunjung mau bangun. Ayah, ibu, dan kakak-kakakku tak henti-hentinya mengetuk pintu, membujukku untuk keluar. Tapi percuma saja! Tak bakal mempan! Aku sudah muak dengan semua ini... Aku putuskan tetap bertahan sampai pagi. 

Tengah malam, tepat setelah dentang jam dua belas kali, aku tak kuat lagi. Rasanya perut ini melilit-lilit. Sakit! 
Bagaimana tidak, aku bahkan belum makan dari pagi. Bayangkan! 

Akhirnya kuputuskan untuk keluar dari kamar. Krieeek... kubuka pintu perlahan. 
Ya Allah! Aku sungguh terkejut! Kulihat Ayah tertidur di depan pintu. 
Di depannya tergeletak pasrah sepiring nasi, sepertinya buatku. Tak tega, kubangunkan Ayah yang terlelap di kursi. 
“Ayah...” Kugoyang bahunya perlahan. “Kenapa Ayah tidur disini?” 
Mataku memanas. Ya Allah, betapa jahatnya aku. Ayah pasti capek setelah seharian kerja terus-terusan, lalu tidur dengan posisi tak nyaman. 

Ayah mengerjapkan matanya pelan. “Eng.. Cha.. Sayang.. Sudah bangun? Pasti kamu lapar?” Setelah menguap sekali, diraihnya piring di hadapannya. “Cha mau makan? Mau Ayah suapin?” 
Waaaa... Ayah tampak begitu baik saat itu. Bagai dewa dari kayangan! 
“Tidak usah Ayah... Ayah tidur di kamar saja, Cha bisa makan sendiri kok. Nanti Ayah sakit kalau tidur disini...” 

Kutahan airmata yang mendesak keluar. Ayah, dalam lelahmu yang kau pikirkan hanya putrimu yang nakal ini... 
Ayah memelukku haru. “Maafkan Ayah sayang, tadi Ayah langsung pergi begitu saja. Kalau Cha mau, nanti setelah makan, Ayah akan jelaskan semuanya. Asalkan Cha berjanji tidak akan ngambek seperti tadi.” Ayah tersenyum. Tampaaan sekali. 

Aku mengangguk. 

-BERSAMBUNG-

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)