NGIDAM 3 - TAMAT

Tapi ternyata aku salah besar, teman-teman! 
Ayah justru sedang bersenda gurau dengan Ibu dan kakak keduaku, Mbak Ara!
Aku terpaku di tempat. Tangisku semakin keras. 
Ayah kelihatan jeleeeeeeeeekk... sekali! 
Tapi kulihat Ibu sesekali mengusap kepala polos Ayah itu senang. Ya, Ibu kelihatan sungguh bahagia! 

Tak lama, Mbak Ara memergokiku yang sedang mengintip di balik pintu. “Kenapa Cha?” tanyanya heran. 
Digandengnya tanganku lalu dibawanya ke arah Ayah dan Ibu, yang juga tengah memandangiku. 
“Kamu kenapa, Sayang?” Ibu bertanya begitu melihat mataku yang sembab. 
Aku menggelengkan kepala. Kuusap sisa-sisa air mata yang menggenangi pipiku.

Ayah meraihku, lalu mengecup pipiku lembut. “Ada apa, Sayang?” matanya menyelidik. “Cha sakit?” 
Ayah tampak begitu khawatir. Sekali lagi kugelengkan kepalaku. 
“Lalu?” Ayah menghadapkan wajahku tepat ke arahnya. Duh! Aku tidak mau melihat kepala jelek itu! Kupejamkan kedua mataku rapat-rapat. 
“I...i-itu...” tunjukku pelan. 
Pelaaaan... sekali, seolah takut Ayah bakal melemparku bila ia tahu. 
“Apa, Sayang?” semua mata menuju ke arah yang kumaksud. 

Ternyata Mbak Ara yang lebih dahulu paham. Dia tertawa terbahak-bahak. “Hushh!” omel Ibu. “Kamu itu lho, Ra, ketawanya...” 
“Hahahaha...” Mbak Ara mati-matian berusaha menahan tawa. “Itu lo, Yah.. Bu... Adik Icha kayaknya takut deh melihat model rambut ayah yang baru...” Dia tertawa lagi. 
Kulihat ayah dan Ibu kompak menutup mulut, ikut menahan tawa. 
‘Apaan sih?!’ pikirku. ‘Kenapa semua tertawa? Apanya yang lucu??’ Aku merengut.

Ayah membenamkan kepalaku di pelukannya. “Sayang... Tidak apa-apa kok. Nanti juga tumbuh lagi, ya kan?” Ayah berkata lembut. 
“Tapi... Ayah, kan.. sayang sekali  sama rambut ayah..” Ibu menyelaku, “Kan demi adikmu tidak apa-apa, Sayang... Itu kan adik dalam perut yang minta...” Aku kalap.
Segera kulepas pelukan Ayah. Lagi-lagi gara-gara anak itu! Kenapa sih semua mengalah demi dia??? 
“Oke! Demi ‘dia’.. demi ‘dia’...!! Semuanya buat ‘dia’!! Padahal dia kan belum ada, pasti nanti kalau sudah lahir semua orang akan melupakan aku!!” Emosiku meledak. 
Dengan air mata mengalir aku berbalik, lari secepatnya ke kamarku. 
Brak! Sekali lagi kukunci pintuku rapat-rapat. Cukup sudah semua ini!! 

Dan seperti yang telah kusangka, terdengar langkah-langkah kaki beberapa saat kemudian. Tap-tap-tap! Lalu, tok-tok-tok! 
Pintuku diketuk pelan. Pasti ayah! “Cinta...” tuh, kan... apa kubilang, ayah! 
“Buka pintunya, Sayaaang...” 
“Maafkan Ayah dan Ibu ya...” 
“Buka dong, Dik... Mbak juga minta maaf...” 
Nah-nah! Sekarang semua orang berkumpul disana! Biar saja! Biar mereka tahu betapa sebalnya aku! Bagaimana sedihnya aku! 

Tak terasa aku tertidur. Saat terbangun... Hah! Pukul dua dini hari! Berapa jam ya aku tertidur? Tiba-tiba aku teringat. Jangan-jangan ayah tertidur lagi di depan kamarku! Waaahh, aku tidak mau! 
Kubuka pintuku perlahan. Lega! Tak ada ayah disana. Tapi aku merasa sudut hatiku seperti dicubit-cubit. Sakit! 
Berarti mereka semua memang sudah melupakanku... 

Ya, sudahlah, yang jelas sekarang aku lapar sekali. Aku harus menenangkan cacing-cacing kelaparan di perutku ini! Kucomot sepotong kue coklat di atas meja bulat. Hmm.. Nyam-nyam.. Enak! 
Namun samar kudengar suara orang bercakap-cakap. Sepertinya dari kamar ayah dan ibu. Kok belum tidur ya, jam segini? 

Naluri ingin tahuku muncul. Kayaknya penting nih! Kudekatkan telingaku ke pintu kamar itu. Yap, kedengaran jelas! 
“....Yah... Daripada terus-terusan begini...” sepertinya suara ibu. 
“Tapi, Bu... Itu dilarang agama...” Itu pasti suara ayah. 
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Yah? Ibu tidak mau begini terus....” 
“Kita pikirkan cara lain, Bu...” 
Lalu senyap. Tak ada suara. Kenapa ya? Apa sih yang mereka bicarakan? Kok aku tidak paham ya? 

Tiba-tiba suara ibu terdengar tegas, ”Keputusanku sudah bulat, Yah! Biar Ibu pergi saja dari sini untuk sementara waktu... Biar Ibu tinggal di desa, di rumah Mbah Ibu sampai anak ini lahir...” 
Hah! Jdaaar-jddaaarrr!!! Bagai ada kilat menyambar di atas kepalaku. Jadi ini semua tentang ‘anak’ itu!?!
 
Apa ibu bilang tadi? Mau tinggal di desa sampai ‘dia’ lahir?? Tidak!! Aku tak rela ibu tinggal di desa yang terpencil, tempat tinggal nenekku itu! 
Lalu terdengar suara lembut ayah, “Kamu yakin, Sayang? Sudah dipikirkan baik-baik?” 
Waaaa!!! Ini tak mungkin terjadi! Ayah mengizinkan Ibu tinggal di desa??? Ini betul-betul tidak boleh dibiarkan terjadi! 

Tanpa pikir panjang, kubuka pintu kamar ayah dan ibu. Yes, tidak dikunci! Begitu aku masuk ke dalam, ayah dan ibu tampak begitu terkejut. Ibu sampai tak mampu berkata-kata. 
Sejenak kemudian, ayah tersadar lebih dahulu. 
“Sayang... Ada apa, Nak?”
 
Aku berjalan pelan, menghampiri dua sosok yang begiiiituuu kusayangi. Bergantian kupeluk Ayah, lalu selanjutnya Ibuku. 
“Ayah... Ibu...” aku duduk di antara mereka. “Maafkan Cha ya.. Cha dengar percakapan Ayah dan Ibu tadi...” Aku menunduk dalam. “Yang jelas... Cha tidak mau Ibu tinggal di desa yang jauh...” 
Ayah melirik Ibu penuh arti. “Ibu saja, Cinta?” Ayah meraih telapak tanganku, lalu mengecup keduanya hangat. “Kalau adik dalam perut bagaimana?” 

Aku langsung sibuk berpikir. Iya, ya? ‘Dia’ bagaimana ya? Aku sih tidak keberatan anak itu tinggal di desa. Tapi, dia kan menumpang di perut ibu. Jadi, bagaimana dong??? Tapi aku tidak boleh lama-lama berpikir. Nanti Ibu berubah pikiran lagi... Aku harus segera mengambil sebuah keputusan. 

“Baiklah...’ Aku menghela napas. “Anak itu boleh juga tinggal di sini sama Ibu, tapi...” Aku terdiam. 
“Tapi apa, Sayang??” Ibu tampak tak sabar. 
“Tapi, ada satu syarat. Ayah, Ibu, atau siapapun juga tidak boleh menyebut-nyebut kata ‘ngidam’ di depanku! Bagaimana?” Mataku berkerjap. 
Ibu menatap Ayah, lalu mengangguk. Ayah tersenyum. 
“Oke! Jadi kita sekarang deal ya?! Ayah dan Ibu tidak akan mengungkit-ungkit soal ngidam, dan Cha tidak akan ngambek lagi. Setuju?” Ayah mengedipkan matanya.
Lucu. Aku tersenyum. Bolehlah. 
“Iya. Cha maunya begitu..” Kupegang tangan Ayah dan Ibu. “Nah, sekarang kita sudah bikin kesepakatan. Tidak ada yang boleh bohong atau lupa, lho ya...” 

Ayah dan Ibu memelukku bersamaan. Aaah... alangkah indahnya kebersamaan ini. Bagaimana mungkin aku tega membiarkan ibu tinggal nun jauh di sana, hanya karena aku tidak suka pada adik di perut ibu? Hmm.. mulai saat ini aku harus belajar menyayanginya. Tekadku sudah bulat! 

Hari-hari selanjutnya berjalan lancar. Yah, tidak juga sih! Aku masih sering menemui ibu yang lagi muntah-muntah.... atau memergoki ibu yang sedang melakukan hal aneh... Hhh! Banyak deh.. Tapi, perjanjian masih tetap berlaku. Tidak ada yang berani menyebut-nyebut kata keramat itu terang-terangan di hadapanku. Tahu kan apa kata keramat itu?? Yups, jangan pernah coba-coba menyebutnya di hadapanku, oke! Kecuali kalau kamu lagi ingin jadi sasaran kemarahanku, hehe... 

Yah, begitulah kawan! Asal mula mengapa aku bisa begitu benci pada kata itu. Percaya atau tidak, sampai detik ini rasa tidak sukaku masih menggumpal sebesar yang kurasakan saat kecil dulu! Kalau ditanya, besok bagaimana? Yap, aku memang perempuan normal 100%. Dan tidak benar kalau aku tak mau merasakan hamil dan lain sebagainya. Aku mau, tapi... kalau soal ngidam, hmm... tunggu dulu. Aku akan berusaha tidak menuruti kecenderungan itu, pokoknya aku tidak mau memanjakan rasa ngidam itu!! Tak percaya?? Haha baiklah... Let’s wait for that precious moment!! ^_^

-TAMAT-

PS: Ditulis dengan bangga, di usia sekolah dasar yang sedang lucu-lucunya ;)

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)