PEDOFILIA
“Adik kecil mau ikut Om?”
Kulihat sesosok lelaki paruh baya di ujung jalan dengan es krim di tangannya.
“Aku mauuuu esss..kiiimmm.. ooom..” Anak kecil itu tampak tertarik.
“Iya... ini Om punya es krim enak, kamu mau?”
“Iyyyaaaa....” Si lelaki menggandeng anak kecil itu, berjalan ke arah gang di sampingnya.
Perasaanku mulai tidak enak.
Siapa ya laki-laki itu? Kok kayaknya aku tidak pernah lihat dia di kompleks ini?
Tapi, ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu sering menonton TV, sampai memikirkan hal-hal yang bukan-bukan.
Akhirnya aku pulang dengan langkah berat. Yah, meski tak dapat kupungkiri kejadian tadi masih menyisakan selintas tanya di benakku.
***
Keesokan harinya, secara tak sengaja aku melihat lelaki yang membuatku penasaran kemarin. Kali ini dengan sebatang coklat di tangannya. Sepertinya ia sedang menanti seseorang. Berkali-kali ia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.
Sengaja kulambatkan langkahku. Aku ingin tahu, apa yang akan dia lakukan hari ini.
Tak berapa lama, serombongan anak SD berlarian di jalan yang kulewati, melintasi tempat lelaki itu duduk.
Kuperhatikan sekilas lelaki itu. Hah! Gak salah lagi, kulihat sekilas kilatan aneh di matanya. Hmm.. Aku makin curiga saja, nih!
Lelaki itu, ah, kita panggil saja dia Mr. M (M untuk misterius ya). Nah, lihat saja! Mr. M sedang berjalan mendekati anak-anak itu.
“Halooo semuaaanyaaaaaa.....” Nah, mulai lagi dia! Aku harus cari cara supaya penyelidikanku tidak ketahuan!
Oke... Kulihat warung bakso di sebelah kanan dari tempatku berjalan sekarang. Apa boleh buat.. Atas nama kebenaran dan hak asasi manusia (ciiiieeee....), kayaknya aku harus merelakan uang jajanku minggu ini buat semangkuk bakso lezat di warung itu.
“Waaahhh!!! Om bawa apa tuuuu????” Anak-anak itu tampak senang. Waduh!! Sinyal-sinyal tanda bahaya mulai berkedip-kedip di otakku.
“Om bawaaa.... Apa ya? Coba tebak??” Wueeeekk... Hampir aku menjatuhkan sebutir bakso yang telah nangkring dengan nyaman di mulutku. Hampiiirr...saja. Hhhh...
“Aku mau.. aku mauu...” Mereka mulai berebutan coklat di tangan Mr. M. itu. Yah, memang kayaknya coklat itu enak banget deh (sebenernya aku juga ingin, hiks..).
“Tenang aja.. Om punya banyak kok di rumah... Mau gak ikut ke rumah om???” Waaackkkkssss!!! Spontan kutolehkan wajahku cepat-cepat. Ini tidak bisa dibiarkan!
“Tapi, om.. Kata ibuku, aku nggak boleh mau kalo diajak orang yang tidak dikenal ke rumahnya...” Wah! Siapa tuh? Pintar-pintar... Aku mulai makan lagi dengan tenang.
“Iya, Om. Kalau aku, ayahku yang bilang gitu. Kata Ayah, kalau ada orang asing, nggak boleh ikut dia gitu aja....” Aku mulai optimis. Bagus, lawan terus anak-anak!
“Orang asing itu apa sih???” Anak yang berbadan paling kecil bertanya.
Aduh, nak..nak! Hari gini nggak tahu????
“Orang asing itu orang yang gak kita kenal namanya, rumahnya, pokoknya orang yang gak jelas gitu deh!! Soalnya, kita harus bisa jaga diri kita, biasanya orang asing itu punya niat jahat sama kita. Apalagi kita kan masih kecil...” Wueeehhh!!! Siapa tuh yang jawab? Kutolehkan wajahku. Ooo... anak kecil berpita kuning itu, yah.. dia kan tetanggaku. Hebat-hebat. Pintar kamu, Susi...
Anak-anak itu saling memandang.
“Jadi...” kata seorang anak yang gak kukenal. “Om ini, orang asing dong???”
Bagai tersedak, Mr. M tampak sedikit gugup. Wajahnya memerah. Hmm... Kita tunggu saja...
“Ya..” Mr. M menelan ludah. “Tapi Om kan bermaksud baik... Om ingin mengajak kalian ke rumah Om, bermain game, membaca buku-buku, nonton film-film seru...”
Wah-wah-wah! Kayanya mulai nggak enak lagi, nih!
“Tapi, Om..” Susi menyela, sambil memainkan pita kuningnya. “Kata orangtuaku, kalo pulang sekolah, gak boleh main kemana-mana.. Harus pulang dulu, terus minta izin orang tua, baru boleh pergi. Ya kan teman-teman?” Dia meminta persetujuan teman-temannya.
“Iya... iya... ibuku juga bilang gitu... ayahku juga...” Anak-anak itu sibuk berceloteh.
“Ya udah, Om..” Susi beranjak. “Kayaknya kami harus pergi dulu. Makasih om coklatnya...” Dengan gesit, diambilnya coklat di tangan Mr. M yang tampak lesu.
“Mari, Om... Ayo, teman-teman...” anak-anak itu pun pergi satu-persatu.
Weeiiissss!!! Keren kamu, Susi! Jadi nge-fans deh!
Kupikir semua masalah selesai sampai disitu. Ya, akhirnya aku bisa makan bakso dengan tenang, damai, dan nyaman. Namun di tengah asyik-asyiknya aku mengunyah pentol bakso yang gurih plus nikmat itu, kulihat... Mr. M datang ke arahku! Apa dia tahu kalo aku memata-matai dia ya?? Waduh, aku harus berusaha bersikap wajar!
“Pak, bakso dan es jeruk satu!” Mr. M melangkah. O-ow.. tidak! Dia duduk di sebelahku! Aku merasa bulu kudukku meremang... (dah kayak ngeliat penampakan saja ya, hehe..)
“Permisi, Mbak..” Mr. M berkata sopan. Tapi wajahnya benar-benar terlihat lemas saat itu. Hmm.. pasti gara-gara kejadian tadi.
Yaahh.. baksoku habis sudah. Kenyang! Aku bangkit, lalu berbalik untuk membayar baksoku.
Tak kusangka, sebuah sapaan menghentikan langkahku.
“Sudah, Mbak.. Gak usah.. Biar saya yang bayar pesanan Mbak..” tawar Mr. M. Sekilas kutengokkan wajahku, kutatap matanya. Kulihat ada ketulusan disana.
“Tapi...” aku berusaha menyanggah. Iyalah, siapa dia siapa gue??? (tapi sebenernya mau kan, dibayariinn.. ^_^)
“Tidak apa-apa, Mbak.. Biar uang Mbak bisa dibuat hal-hal lain yang lebih bermanfaat..”
Emm, serius gak sih orang ini?? Aku ragu.
Sepertinya Mr. M dapat membaca keraguanku. Ia berbalik.
“Pak, biar pesanan mbak itu saya yang bayar. Kebetulan saya lagi ada rezeki hari ini..”
Pak penjual hanya mengangguk. Ya-iyalah.. Apa peduli dia, yang penting kan tuh bakso ada yang bayarin, ya gak?
Ya sudah, anggap aja ini rezekiku. Toh tidak tiap hari kan...
“Baiklah.. Pak. Terima kasih banyak..” Kusampirkan tasku di pundak, dan tanpa menoleh lagi, kulangkahkan kakiku. Hhh...kepalaku pusing. Sepertinya Mr. M orang baik. Apa aku salah mengira selama ini?
***
Sudah seminggu ini aku tidak masuk sekolah. Badanku panas. Yah, tifusku kambuh lagi. Mungkin aku terlalu lelah dan banyak pikiran akhir-akhir ini.
Tapi hari ini, yap, tepat hari Sabtu, aku memutuskan untuk masuk sekolah. ‘Kalau aku terus menuruti rasa sakitku, kapan aku bangun?’ begitu selalu pikirku, untuk menyemangati fisikku yang masih sangat lemah sebenarnya.
Kususuri jalan dengan hati gundah. Bagaimana ya kabar Mr. M? Seminggu ini aku kehilangan kabar beritanya sama sekali. Apa dia masih sering mengundang anak-anak kecil ke rumahnya ya?
Tak sengaja pandanganku terpaku pada sosok yang sangat kukenal. Mr. M!! Apa yang dia lakukan di sana pagi-pagi begini? Aku tidak habis pikir. Bukannya dia biasa keluar siang hari, menanti anak-anak pulang sekolah... Lalu??
Sengaja kuhampiri Mr. M. Aku harus tahu ada apa sebenarnya.
“Permisi... Pak!” sapaku sambil tersenyum
Mr. M menoleh. Matanya menyipit curiga. Masa sih dia lupa pernah ngebayarin aku semangkuk bakso???
“Saya...ehm...” aku pasti kelihatan gugup. Waah, payah nih!
“Saya.. Mau berterima kasih karena... eng..” Aduh! Aku gak tahu harus ngomong apa!
“...dulu Bapak pernah membayarkan bakso saya..”
Aku menghela napas. Semua ini harus diakhiri.
“Yaah... Cuma bilang begitu saja sih, Pak! Terima kasih ya.. “ Aku ngeloyor pergi. Wuuffff.... Ngapain sih aku tadi? Dasar bodoh!
“Eeehh... sebentar Mbak!!” Hah, gak salah dengar nih?? Mr. M memanggilku?
Aku membalikkan badan sedikit. “Ya?” Sok cuek nih ceritanya... habiss.. tadi didiemin!!
“Mbak yang dulu makan bakso di warung itu ya?” Bagus! Sudah ingat rupanya dia.
“Yaah.. Gimana sih Pak! Masa Bapak lupa? Iya, saya yang dulu itu Bapak bayarin...” Aku sedikit memanyunkan bibirku.
“Ooo... Iya, saya lupa.. Sepertinya saya tidak pernah melihat Mbak lagi sejak saat itu?”
Aku menimbang-nimbang. Jujur tidak ya?
“Saya.. habis dari luar kota Pak! Sejak seminggu yang lalu. Makanya saya tidak pernah lewat sini lagi...” Ampuni aku ya Allah! Aku terpaksa harus berbohong saat ini... Rasanya gimanaaa gitu kalau bilang habis sakit..
“Oh, begitu.. Ya sudah, Mbak mau berangkat sekolah?”
“Iya...” Aku melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tanganku. Wah! Aku harus cepat-cepat nih kalau tidak mau terlambat!
“Baik, Pak.. Saya pergi dulu. Sekali lagi terima kasih banyak..” Aku mempercepat langkahku.
“Eh, Mbak.. Kalau sempat main-main ke rumah ya...” samar-samar kudengar suara Mr. M. Hah! Gak salah tuh??? Iiih... Jadi takut!!
***
Di sekolah, aku tak dapat berkonsentrasi sepenuhnya. Selalu terngiang-ngiang ucapan Mr. M dan ajakannya. Apa sebaiknya aku ke rumahnya ya.. biar bisa memastikan kebenaran pradugaku selama ini? Kupikir-pikir benar juga, daripada aku selalu su’udzon padanya, lebih baik kubuktikan aja sekalian! Benar ga sih...
Akhirnya kuputuskan untuk mengiyakan bila Mr. M mengajakku ke rumahnya lagi nanti. Apapun yang terjadi, terjadilah! Pokoknya kalo dia macam-macam, akan kuserang dengan jurus spesialku! Cyaaattt.. cyyyattttt!!! Huhuy, maklum anak taekwondo.. *nyombong dikit, nih! hehe*
***
Kupercepat jalanku, melawan hawa panas yang menyergap. Wuiihhh... Mana anginnya kencang nih, bikin kulit kering aja...
Tiba-tiba, wussssyyyhhhhh!!! Selintas angin bagai membutakan pandanganku. Debu-debu beterbangan ke mana-mana.
Aku mengusap mataku yang perih. Waduuuhhh.. istirahat dimana ya enaknya.. Mana rumah masih jauh. Badanku rasanya lemaaaasss... banget!
“Gak mauuuu.... Huuuu...huuu... ga mauuu, Om... ga mauuu...”
Spontan kudongakkan wajahku keras-keras, sampai leherku sakit rasanya. Apa ini??
Beberapa ratus meter di depanku, sosok yang amat kukenal tampak sedang menarik paksa anak kecil tak berdaya di depannya. Mr. M!! Ngapain lagi dia?
Aku berusaha maju, mempercepat langkahku. Namun tak urung debu dan angin bikin langkahku tak secepat biasanya.
“Jangaaannnn, Ommmm.... Huuhuuu..... Gaaaak mauuu..” Teriakan anak kecil itu makin menyalakan semangatku. Sedikit lagi! Namun.. Brrrmmmm.... brrrrmmmm... Hembusan knalpot menyambutku.
Aku jatuh terduduk di aspal seketika. Terlambat!! Rupanya kali ini Mr. M membawa motor.. Aku tak kuasa lagi mengejarnya...
Tess!! Setetes cairan bening mengalir di pipiku. Aku tergugu. Tak kupedulikan panas yang menyengat di kakiku, juga angin debu yang mengotoriku sekujur tubuhku. Aku terlambat!!
“Mbak.. Mbak.. kenapa to Mbak...” Ibu-ibu bakul sayuran jongkok di depanku sambil memegang tanganku. “Nopo, to, Mbaakk... Ojo nangis neng kene... Ora ilok...” Ibu itu mengusap pipi dan wajahku yang penuh air mata dengan jarit yang dipakainya. Lalu ditariknya tubuhku berdiri.
“Tuuh.... Lututnya lecet, Mbaakk..”
Aku melongokkan kepalaku kebawah. Aduhh! Aku meringis pelan. Baru kusadari luka merah menganga di lututku yang berdarah.
“Sss..sakiiit...” rintihku pelan.
“Biar diobati di rumah ibu ya.. Deket-deket sini, kok Mbaakk...” tawar sang ibu.
“Nggg... gak usah, Bu.. Biar saya jalan pulang aja.. Saya kuat kok..” Kupaksakan kakiku yang nyeri melangkah, diiringi tatapan iba ibu-ibu di belakangku.
Sesampai di rumah, aku langsung menuju kamar. Kubersihkan lututku dengan alkohol dan kubaluri obat secukupnya. Awww!! Perih...
Kurenungi perjalanan pulangku kali ini. Berarti prasangkaku hampir terbukti benar.. Buktinya, anak kecil itu menangis dan berontak waktu dibawa Mr. M.. Kalo tidak ada apa-apa, pasti anak itu takkan meronta-ronta. Terlebih lagi, orang biasa pasti tidak akan memaksa anak kecil yang tak mau diajak ke rumahnya seperti itu.
Hhh.. Kepalaku makin pepat. Badanku mulai meriang lagi. Duuh!! Aku harus menyegarkan diri. Tak bisa kubiarkan misteri ini terus jadi bayangan kabur! Kuangkat tubuh, melangkah ke kamar mandi...
***
Malamnya, aku menghadap ayah.
“Yah... Icha mau cerita, Yah...” Kulihat ayah mendongak dari koran yang dibacanya.
“Ada apa, Cha..?”
Aku duduk di sebelah ayah.
“Icha..” Aku bingung menyusun kata. “Icha.. ngeliat hal yang aneh, Yah...”
Kening ayah berkerut.
“Hal aneh bagaimana maksudnya..?”
Kuceritakan sejelas-jelasnya, mulai pertama kali aku bertemu Mr. M sampai kejadian kemarin yang terus mengganggu benakku.
“Mr. M??” Ayah kelihatan bingung.
“Ya.. itu nama buatan Icha aja, Yah.. Abis Icha gak tahu nama aslinya...”
Tampak ayah berpikir keras. Sejenak kemudian beliau memegang kedua pundakku sambil meremasnya pelan.
“Baiklah.. Begini, Icha.. Ayah mau kamu bekerja sama dalam hal ini.. Kamu bisa, kan, memancing orang itu ke rumahnya? Nanti biar Ayah dan teman-teman mengikuti dari jauh, dan langsung menyergap bila ada apa-apa.. Tapi kalau ternyata prasangkamu ini salah, tidak ada yang merasa dirugikan.. Bagaimana? Icha berani?”
Aku segera mengangguk-anggukkan kepalaku. “Siap, Bos!!” kataku dengan sikap menghormat.
Ayah mengacak rambutku gemas. “Memang anak Ayah...” Aku tersenyum bangga.
***
Maka, resmilah hari ini aku jadi mata-mata pasukan ayah. Oh, iya.. Aku belum bilang ya, kalau ayah adalah anggota pasukan bersenjata Republik Indonesia tercinta alias TNI, yang betugas menjaga kedamaian dan kedaulatan bangsa dan negara, hehe.. *pamer lagi*
Selain itu, ayah membuatkanku surat izin tidak masuk sekolah lho! Otomatis tugasku dipusatkan pada Mr. M saja! Ya, aku akan membuktikan, aku pasti bisa menjebaknya tanpa ketahuan! Aku kan anak ayah!!
Segera kusiapkan alat-alat yang kira-kira akan kubutuhkan nanti. Mulai dari tali kampar hingga tongkat baseball, semuanya kumasukkan ke ransel. Buat jaga-jaga…
Pagi itu, sebelum berangkat, ayah memanggilku. “Kamu tahu kan, bahayanya semua ini, Cha? Sebenarnya ayah takut terjadi apa-apa padamu.. Bisa saja nanti perkembangan diluar kendali, atau...”
Aku memegang tangan ayah lembut.
“Tenang, Ayah.. Untuk apa aku selama ini berlatih bela diri, kalau tidak bisa melindungi diriku sendiri? Beri Icha kesempatan, Yah.. untuk membuktikan kalau Icha memang anak Ayah yang pemberani!”
Ayah menarikku kedalam pelukannya. “Hati-hati, Cha.. Putri ayah yang hebat..” bisik Ayah di telingaku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
***
Kutendang kerikil di hadapanku. Huffhh.. Sudah setengah jam aku menunggu disini, tempat dimana aku sering bertemu dengan Mr. M. Tapi batang hidungnya belum kelihatan juga!
“Nunggu siapa, Mbak?” Aku terkejut! Suara Mr. M..
Spontan kuberbalik, “Mmm.. Pagi, Pak...” Kusunggingkan seulas senyum.
“Kok Mbak gak berangkat sekolah..?” tanyanya lagi.
“Gurunya pada gak masuk, Pak.. Jadinya ya saya pulang aja, daripada di sekolah gak ada kerjaan...” Kuucapkan kalimat yang telah kulatih ribuan kali tadi pagi.
Kelihatannya Mr. M tidak curiga. “Oh.. begitu.. Jadi.. Mbak sekarang ada acara apa? “
Nah, ini nih pertanyaan yang kutunggu-tunggu!
“Gak ada acara sih, Pak.. Malah saya bingung mau ngapain..” Kubuat ekspresi dan nada suaraku memelas... banget!
“Kebetulan kalo gitu, Mbak mau main ke rumah saya?” Yes-yes-yes!! Aku bersorak dalam hati. Pancinganku mengena! Tapi aku tidak boleh kelihatan mencurigakan.
“Wah... Boleh juga tuh, Pak.. Tapi saya mau ngapain di rumah Bapak?”
Mr. M tersenyum, matanya agak berkilat.
“Bisa banyak, Mbak... Saya punya buku-buku bagus, komik-komik, games, musik... Mbak suka baca?”
“Suka! Suka banget....”
“Kalo main musik? Saya ada piano di rumah, siapa tahu Mbak mau belajar...”
“Wahhh!! Saya pengen banget belajar musik dari dulu, Pak.. Ya sudah, kalau begitu saya ke rumah Bapak saja...” Aku terdiam sebentar. “Tapi...”
“Tapi apa?” Mr. M memandangku.
“Apa nggak sebaiknya saya ganti baju dulu..”
“Oh.. gak usah, Mbak... Gapapa, nanti sore juga sudah pulang, kan..”
Aku mengerutkan keningku, seolah menimbang-nimbang.
“Baik, Pak..”
“Bagus, Ayoo...”
Tak pelak aku merasa deg-degan juga selama perjalanan. Meski Mr. M bilang tak jauh, tapi kakiku rasanya ingin kabuuur… saja dari sampingnya. Sesekali aku memerhatikan sekitarku tanpa kentara, mencari sosok ayah dan teman-temannya. Tak kulihat satupun! ‘Yah.. mungkin mereka sangat lihai hingga tak terlacak..’ aku menghibur diri.
“Nah, kita sampai…” Mr. M membuka gerbang rumahnya.
Wow! Besar juga! Taman rimbun, pagar cantik, dan halaman yang luas membuatku kagum seketika.
“Bapak sendirian saja disini?” aku bertanya.
“Iya... Istri saya sudah lama meninggal..” Mr. M mempersilahkanku masuk. “Oh iya, saya kok belum tahu nama Mbak ya?”
Aku meringis. Aku juga belum tahu namanya..
“Saya Icha, Pak.. Bapak?”
“Waah.. Jangan panggil saya Bapak terus, Mbak.. Kayaknya saya belum tua-tua amat deh.. Begini saja, saya panggil Mbak, Icha.. Dan Mbak panggil saya Budi, bagaimana..?” tawar Mr. M yang ternyata bernama Budi.
“Duh, masa saya panggil nama begitu saja.., Bapak kan jauh lebih tua dari saya… Saya panggil Bapak saja ya..” Terserah, pokoknya aku gak mau memanggil dia ‘Om’!!
“Ya sudah, terserah Mbak.. Tapi saya boleh panggil Icha, kan?”
Aku hanya mengangguk kecil.
Lalu aku dibawanya ke ruang yang cukup luas, sepertinya sih ruang keluarga. Aku agak ragu sebenarnya. Habisnya rumah ini benar-benar sepi.. Seandainya ternyata tak ada anak buah ayah yang menjagaku, waahh.. aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti.. Tapi aku berusaha tetap terlihat tenang.
“Sebentar ya, Cha.. Biar kubuatkan minum dulu.. Main-main dulu saja ya..”
Setelah ditinggal sendiri, aku benar-benar kalut. Jangan-jangan ayah lupa nih kalau aku sedang menjalankan misi ini. Atau, anak buah ayah lengah, hingga kehilangan posisiku. Duuhh…
“Kenapa, Cha?” Suara Mr. M, eh, Budi, mengagetkanku.
Aku mengangkat kepala. Tersenyum menutupi kecemasanku.
“Gak apa-apa, Pak.. Oh iya, mana pianonya? Saya ingin belajar..” aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Pokoknya jangan sampai dia tahu kalau aku gugup!
“Tapi diminum dulu, Cha.. Sudah dibuatkan kok…” Diulurkannya secangkir minuman berwarna merah ke tanganku, kayaknya sih sirup…
Aku belingsatan. Bagaimana kalau dia membubuhkan obat tidur atau semacamnya ke minumanku? Tanpa sadar aku menggigil.
“Loh.. kok diam saja, Cha.. Ayo diminum..” Gawat!! Budi malah duduk di sebelahku, menantiku minum.
Perlahan kuletakkan gelas di meja.
“Nanti saja, Pak.. Saya tidak haus, kok..”
Diluar dugaan, Budi menahan tanganku yang memegang gelas.
“Minum dulu,” suaranya dingin. Kecemasanku meningkat. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku telah menyanggupi semua ini, maka aku harus menyelesaikannya sebaik mungkin!
“Baik, Pak..” Aku menyingkirkan tangannya yang menyentuhku.
Kudekatkan cangkir ke bibirku, kutempelkan pelan.
-BERSAMBUNG-
Komentar