PEDOFILIA 2 - TAMAT

Sluurrpp.. Kuhisap minuman itu sedikit. Terasa manis dan segar. Mr. M tampak menatapku penuh minat. Kuteruskan meminum cairan di cangkir. Akan kubuktikan, aku takkan kalah! Setelah tersisa sedikit, kuletakkan cangkir di meja.
“Sudah kan, Pak? Sekarang aku mau main piano..” Kuperlihatkan ekspresi bersemangat.
Budi tersenyum misterius. “Ayo..” ajaknya. Aku berdiri mengikutinya. Tak lupa, kurogoh saku seragamku, mengambil sebuah tablet. Kutelan cepat-cepat. Ughh.. Pahit! Kata ayah, sih.. Itu obat penetral obat bius, supaya tidak langsung bekerja… Semoga manjur!

“Ini dia..” Budi membuka tutup pianonya. Aku berseru. “Asyiiikkk..!!!”
Langsung kutekan-tekan tuts piano sesuka hati. Kucoba beberapa lagu yang masih kuingat. Nada pun mengalun. Budi mengambil kursi kecil, duduk di sebelahku. Sesekali ia membetulkan permainanku, atau chord yang kurang tepat.

“Kamu gak capek, Cha?” tiba-tiba ia bertanya.
Aku menoleh sekilas, “Nggak..” jawabku pendek.
“Mau minum lagi?” tawarnya.
“Tidak usah, Pak.. Aku tidak haus kok..” Kuteruskan tarian jari-jariku diatas piano.

Tiba-tiba Budi berdiri, dan sekejap kemudian.. zleepppp… dilingkarkannya kedua lengannya yang besar ke sekeliling badanku. Aku terlonjak kaget!
“Apa-apaan ini, Pak??” Aku berontak. Sengaja tak kukeluarkan segenap tenagaku. Aku tidak mau dia tahu aku bisa bela diri. Khusus yang satu itu, akan kutunjukkan di saat-saat genting.
“Icha mau temani aku, kan..??” Dibalikkan badanku, lalu diseretnya aku ke ruang keluarga tadi. Bruuakkk!! Badanku dihempaskan ke sofa besar.
Aku mengaduh. Sakit juga..

Sekonyong-konyong ia mencondongkan badan, seolah akan menjatuhkan badannya yang gempal ke arahku. Otakku berputar keras. Wah! Bisa retak tulang-tulangku ditimpa orang sebesar dia!!
Maka secepat kilat aku berkelit, menggulung tubuhku ke arah samping. Badannya menggebrak keras sofa di sebelahku.
Melihat buruannya lolos, ia segera bangkit ke arahku. Nah, ini dia saatnya pertunjukan. Jangan anggap remeh tubuh yang sudah terlatih bertahun-tahun ini ya!

Saat tangannya berusaha menggapai, aku menggeser sedikit badanku secepat mungkin. Greeppp..!! Tangannya hanya menyentuh angin. Segera kutangkap tangannya, kupiting ke belakang, lalu kujatuhkan ke lantai. Blekkk!! Kutindih dengan badanku. Rasakan! Memangnya aku anak kecil yang gampang dibodohi...

Namun ternyata aku salah perhitungan. Saat mengulurkan tangan ke tasku, maksud hati ingin mengambil tali yang sudah kusiapkan, peganganku padanya ternyata jadi tak cukup kuat. Ia berhasil membalikkan keadaan. Dalam beberapa detik, aku ganti terbanting keras ke karpet. Braakk!! Ufff... tulang-tulangku ngilu semua! 

Ia menekan tanganku ke lantai, menahan gerakanku. Aku terdesak. Bajuku sudah tak karuan bentuknya, kusut di sana-sini. Namun aku masih punya kesempatan. Sengaja kuulur waktu, sambil menanti bantuan ayah yang makin kuragukan keberadaannya. Mana sih mereka di saat-saat seperti ini...

Budi tampak kalap. Mungkin ia tak menyangka aku akan melawan. Ditekankan kedua tanganku ke bawah badan. Aku terkunci!! Waahh.. satu-satunya kesempatanku, menanti saat ia lengah!

Akhirnya saat yang kunanti-nanti tiba. Tepat saat ia tampak begitu gembira melihat tawanannya tak bisa menyerah lagi, tekanannya pada kakiku agak melemah. Bagus! Sekuat tenaga kutendangkan kaki kiriku yang sedikit terbebas ke selangkangannya. Duuookkk!! Keras sekali suaranya, sampai ia mengernyit kesakitan dan merenggangkan pegangannya terhadap tanganku. Segera kuambil kesempatan. Kulenturkan badan kebelakang, bertumpu pada kakiku, lalu kusodok ulu hatinya dengan siku kiriku, dan dookkkkhh!!! Kutonjok wajahnya sekuat-kuatnya.

Ia limbung. Sekejap kemudian, sekitarku tiba-tiba jadi ramai.

Wah! Rupanya bantuan telah tiba! Beberapa orang berpakaian loreng menyergap Budi yang tampak kewalahan dan kesakitan. Wuiihh!! Rupanya pukulanku telak juga, hehe... Aku sungguh lega.

Plok-plok-plok… Suara tepuk tangan di belakang mengagetkanku. Spontan aku berbalik.
“Hebat!!!” Kulihat ayah berdiri tegap sambil mengacungkan dua jempolnya. “Ayah tak menyangka… Putri ayah..” 
Aku langsung berlari menyongsongnya. Ayah memelukku erat.
“Ayah.. Icha pikir Ayah tidak akan datang..” Kuusap mataku yang memerah.

Ayah mengusap kepalaku sayang.
“Sebenarnya ayah sudah datang dari tadi, Cha.. Bahkan anak buah ayah sudah ada yang berjaga-jaga di rumah ini sebelum kau sampai. Tapi…” Ayah mengangkat daguku. Setetes air mata mengalir tanpa bisa kutahan.
“Ayah hanya ingin menyaksikan putri ayah berjuang dengan tenaganya sendiri, untuk membuktikan…” Ayah terdiam sejenak. Membuatku berdebar. Setetes lagi air mata mengalir di pipiku…
“Kalau putri Ayah adalah anak yang sangaaaat hebat… Juga anak yang mampu menjaga dirinya... dan terlebih lagi, bahwa.. latihan bela dirinya selama ini… sama sekali tidak sia-sia… Bukan begitu, Icha..?” ayah menjentik pipiku.

Aku tak sanggup berkata apa-apa. Aku hanya menunduk, dan makin mengetatkan pelukanku, seolah tak ingin melepasnya lagi. Ayah… Maaf aku sempat berprasangka buruk padamu..

Beberapa saat kemudian, aku merasa aneh. Rasanya tubuh Ayah jadi berbayang. Badanku juga jadi lemas. “Ayah.. aku pusing…” rintihku.
“Sepertinya obatnya mulai bekerja…” gumam Ayah pelan. “Sudah, Icha tenang saja… Ayah…” Kata-kata ayah selanjutnya sudah tak mampu kutangkap lagi. Aku pingsan dengan sukses, dalam pelukan hangat ayah.

***

Begitu sadar, aku sudah di rumah.
“Ayah…” ceracauku.
“Iya, Sayang…” Suara ibuku. Kucoba membuka mata yang terasa sangat berat. Kukerjap-kerjapkan kedua mataku. Aku berusaha bangkit.
Tangan lembut ibu membantuku. Akhirnya aku dapat melihat jelas. Tampak kakak-kakakku duduk melingkar di sekeliling tempat tidurku.

“Ayah mana..? Terus, Mr. M.. eh, Budi…” Ibu mengusap-usap rambutku.
“Ayah di kantor polisi, Cha.. Sedang orang itu sudah diurus oleh pihak yang berwajib.. Icha tenang saja…”
Aku menggeleng.
“Enggak, Bu… Bukan itu yang Icha maksud.. Apa.. Mm.. Aa benar, Mr. M ituuu…” Aku kebingungan menyusun kata.

Kakakku, Mba Leni, membantuku.
“Maksud kamu, soal anak-anak kecil yang sering dibawanya itu, Dek?”
Aku mengangguk pelan.
“Iya… Itu juga sudah diurus, Dek..” Kak Ara menimpali.

“Makanya semua orang tua anak-anak itu berterima kasih sekali padamu, yang telah membongkar semua ini.. Mereka juga sangat shock mendengarnya, tapi akhirnya mereka bisa menerima, asal si Budi itu dihukum dengan hukuman yang setimpal…”
“Apa hukuman yang setimpal bagi orang yang telah menghancurkan masa depan seorang anak yang polos dan tidak tahu apa-apa, Kak?” tanyaku pedih.
Kakak-kakak dan ibuku terdiam sejenak.

“Sudahlah, Cha.. Sekarang kita ambil hikmahnya saja.. Penjagaan diri ternyata sangat penting, terutama bagi anak-anak kecil.. Dengan ini orang tua makin sadar bahwa masing-masing harus lebih banyak memerhatikan dan mengarahkan putra-putrinya…“
“Iyaa.. Supaya tidak ada lagi Mr. M - Mr. M yang lain…” lirihku. Aku tetap tak bisa menerima semua kejahatan yang dilakukan Budi jahat itu!!! Tak sadar air mataku mengalir lagi.

“Sudah, Cha..” Kakak sulungku, Mbak Nisa, mengusap pipiku yang membasah. Dimatanya tampak sorot prihatin.
Aku menunduk. Tiba-tiba selintas ide muncul di pikiranku.
“Kak.. Bu.. Aku mau ke kantor polisi!! Aku mau menemui Budi itu, Bu.. Sekarang…” Aku memaksa turun dari tempat tidurku.
Ibu berusaha mencegah.
“Nanti saja, Nduukk..”
“Tidak, Bu.. Aku mau sekarang, sebelum dia dijebloskan ke tahanan dan gak keluar-keluar lagi…” Aku tetap memaksa.
Akhirnya ibuku mengalah. Dengan diantar sopir pribadi ayah, aku segera berangkat.

Beberapa ratus meter dari kantor polisi, mobil dinas ayah sudah tak bisa maju lagi. Rupa-rupanya para orang tua dan remaja sedang berdemo di depan kantor, menuntut hukuman mati bagi Budi!
“Jangan ampuni orang yang telah merusak kehidupan anak tak berdosa!!!!”
“Bunuh sajaa dia….. Manusia tak berperasaan!!!!” Teriakan-teriakan sahut-menyahut memanaskan suasana. Aku tak ambil pusing.
“Pak, tunggu disini saja.. Biar aku masuk sendiri..” Kutinggalkan Pak Man yang menyopiriku, bergegas berlari menuju kantor polisi. Sekilas kudengar teriakan Pak Man memanggilku. Tak kuacuhkan, aku terus berlari, menerobos kerumunan orang.

Hampir saja aku terinjak, sampai akhirnya aku dapat melewati kerumunan massa dan barisan polisi, dan langsung saja tancap gas ke dalam.
Kutengokkan kepala, mencari Ayah.
“Cari siapa, Dek?” seorang polisi berseragam menyapaku.
Kusebutkan nama Ayah, dan segera saja aku diantar ke dalam.

Di suatu sudut, kulihat Ayah sedang mengobrol dengan beberapa polisi kawakan.
“Ayaaahhh…” Kuhampiri dan kucium tangan Ayah.
Ayah tampak kaget.
“Sama siapa, Cha? Kapan kesininya?”
Aku tak menjawab. Kubisikkan keinginanku ke telinga ayah.
Semula ayah menolak, tapi melihat kegigihanku, ayah terpaksa menyetujui.

Kulihat ayah berdiskusi dengan para polisi di depannya. Tak berapa lama kemudian, ayah menggandengku. Aku mengikuti langkah lebar ayah dengan sedikit terengah-engah. Kelelahan habis berlari tadi masih menyelimutiku.
“Itu, Cha…” tunjuk ayah ke sel kecil di tengah sebuah ruangan. Sepertinya kurungan sementara bagi narapidana.
Aku mendekat. Ayah menarikku.
“Hati-hati, Cha..” bisik ayah pelan.
Aku menatap ayah, mengangguk.

Kuteruskan langkah pelan.
“Pak…” panggilku. Sosok yang terduduk diam ditengah sel itu tak bergerak.
Aku makin mendekat. Kulihat dengan ujung mata beberapa polisi berseragam di sekitar sel ikut maju. Kuangkat kedua tanganku.
“Gak apa-apa, kok..”

Perlahan aku menyentuh besi jeruji sel yang dingin.
“Cha…” ayah mengingatkanku dari belakang.
Aku terdiam.

“Pak..” panggilku sekali lagi. “Ini Icha…” kuangkat volume suaraku.
Sosok bertopang lutut itu tampak bergerak.
Pelan ia menoleh, mengarahkan tatap pandangnya padaku. Begitu dingin, aku nyaris menggigil dalam hati.
“Icha kesini… Icha cuma ingin tahu alasan Bapak melakukan semua ini, itu saja…” aku menghela napas. “Tidak mungkin Bapak tega merusak hidup banyak anak kecil tanpa alasan.. Icha yakin itu…” kutatap pandangnya, berusaha bertahan.

Tiba-tiba sosok itu maju. Aku kaget, mundur beberapa langkah. Para polisi di sekitarku sigap mengelilingi sel. Ayah maju, tampak cemas.
Segera kukuasai keadaan.
“Tolong mundur, Pak..” kataku pada para polisi disekitar sel. “Icha gapapa, Yah..” aku kembali maju.

Kudekati sosok yang lusuh dan kuyu itu, sangat berbeda dengan keadaannya beberapa saat yang lalu.
Kini jarak kami tak sampai satu meter, hanya dibatasi dengan jeruji.
Budi melambaikan tangan, menyuruhku mendekat.
Semua orang tampak tegang.
Aku maju lagi.
Ayah tersentak. “Cukup, Cha…” Bias kekhawatiran tampak jelas di matanya.

Tapi aku terlalu penasaran. Tak kupedulikan ketegangan yang merambat disekitarku.
Kini aku dan Budi hampir tak berjarak. Aku berjongkok. Kudekatkan telingaku kearahnya.
Ia membuka mulut. “Dengar…” bisiknya pelan. Aku yakin hanya aku yang dapat mendengarnya.
“Kamu mau tahu kenapa aku melakukan semua ini…?” bisiknya lagi, terasa mendesir ditelingaku. Kukuatkan hati untuk terus mendengarkan.
“Aku melakukan ini, karena… aku…dulu adalah korban, sama seperti mereka..” Aku tersentak.
Kutatap matanya.
Emosiku meningkat drastis saat itu juga. Aku berdiri kalap. Kutunjuk wajah Budi dengan telunjukku.
“Tapi itu bukan alasan!! Justru karena kamu tahu seperti apa rasanya jadi korban, seharusnya kamu tidak mengulanginya lagi!!! Jadi tak ada lagi korban-korban setelahmu!!” bentakku sarat emosi.

Tak kusadari, Ayah telah merangkulku dari belakang sambil mengusap-usap punggungku.
Budi kulihat hanya tersenyum sinis. “Kamu sama sekali tak tahu bagaimana rasanya.. Kamu takkan pernah mengerti..” Ia berbalik, kembali ke tempatnya semula di tengah sel.

Aku seketika tergugu, hanya mampu menangis tanpa suara.
Jika semua orang berpikir seperti itu, maka berapa banyakkah korban-korban yang akan berjatuhan selanjutnya…
Aku tak mampu berpikir.
Sekitarku menjelma gelap, pekat.

-TAMAT-

Komentar

blogger amatir mengatakan…
hebat jg icha bs ngalahin mr.m da lowongan jd detektif bwt ngusut kasus markus, hehehehehe ^_^
Asri Aisyah El Zahra mengatakan…
Amin.. hehe.. makasih kak.. jangan bosen baca n komen postinganku ya.. ^_^

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)