ANAK KESAYANGAN BAPAK

Siang yang panas. Aku tertatih menyusuri jalan, menuju terminal Purboyo. Duuh.. Rasanya perut ini melilit, maklum aku belum sempat mengisinya sejak pagi. Kupaksakan diri melangkah.
“Ponorogo… Ponorogo..!!!” Teriakan beberapa kernet menyelingi hawa gerah yang menyelimuti.
“Ponorogo, Mbak?” di hadapanku seorang kernet berkaos biru berdiri tegap.
“Enggak, Pak. Saya mau ke Ngawi..” kusunggingkan seulas senyum penawar kecewa.
Kernet itupun ngeloyor pergi. Aku menghela napas. Kulanjutkan langkah ke tempat pemberhentian bis tujuanku.

Tak lama, bis yang kunanti tiba. Sumber Kencono jurusan Jogja berhenti tepat di depanku.
“Alhamdulillah..” bisikku pelan. Rasanya aku tak kuat lagi menanti lebih lama. Segera aku melompat ke dalamnya. Hupp!
Sambil celingak-celinguk mencari tempat duduk, aku memegang erat tas sampirku. Masih teringat jelas beberapa hari yang lalu aku hampir jadi korban pencopetan, seandainya saja seorang pemuda tanggung tak menolongku saat itu.

Kuputuskan untuk duduk di bangku kedua dari depan, di sisi sebelah kanan bis. Sebenarnya aku ingin menempati kursi di samping jendela, namun berhubung sudah ada yang menduduki, aku harus cukup puas duduk di sebelahnya.

“Mau kemana, Mbak?” Baru saja kuhenyakkan badan, sosok bapak di sampingku bertanya.
“Ke Ngawi, Pak. Saya mau kembali ke pondok,” jelasku singkat. Bapak tua itu hanya mengangguk.
“Sebenarnya saya ingin sekali anak saya masuk ke pondok, Mbak. Biar jadi anak sholehah, kayak Mbak..” Tak kusangka, si bapak mengeluarkan uneg-unegnya padaku. Aku mengamini dalam hati.
“Mmm.. Memangnya putra Bapak sekarang dimana?”
“Anak saya semata wayang, sekarang kuliah di Jogja. Ini saya mau menjenguknya, Mbak. Kemarin dia menelpon minta tambahan uang, padahal baru saya kirim awal bulan ini..” Aku menoleh. Kutatap wajah keriput bapak tua di sampingku. Beban hidup tampak jelas menghimpitnya. Aku jatuh iba seketika.

“Jadi putri Bapak menolak masuk pondok?”
“Iya, Mbak. Katanya ia malu sama teman-temannya kalau masuk pondok. Apalagi ia ndak mau berpisah dengan teman-temannya sekolahnya, maunya masuk sekolah yang sama. Dia juga tidak mau pakai kerudung, meski sudah saya paksa..”
Aku mendesah pelan. “Yah, semoga ini semua yang terbaik baginya, Pak.. Semoga ke depannya bisa berubah ke arah yang lebih baik,” aku tak tahu bisa bicara apa lagi.
Bapak itu terdiam, seperti sedang berpikir keras. Keningnya berkerut dalam.

“Apakah biaya kuliah itu memang semahal itu ya, Mbak..” Nada suaranya tampak ragu.
Kini ganti aku yang bingung. “Maksud Bapak?”
“Begini, Mbak.. Enngg.. Sebenarnya saya ndak enak mengatakannya, seolah saya kok meragukan anak saya. Tapi..” Bapak tua itu tampak makin ragu.
“Tidak apa-apa Pak, katakan saja. Insya Allah saya jawab kalau saya bisa,” aku berusaha menenangkan.
“Anak saya itu sering minta tambahan uang saku. Dia bilang untuk urusan.. apa ya, Mbak..? Saya juga ndak terlalu paham.. Pokoknya kalau ndak dilunasi katanya nanti dia bisa dikeluarkan dari kampusnya. Padahal untuk mengirim uang bulanannya saja, saya harus membanting tulang mati-matian Mbak.. Untuk yang sekarang ini saja, saya terpaksa meminjam ke tetangga yang sebenarnya juga sama-sama membutuhkan, sama seperti saya...” Si Bapak terdiam, seolah tak sanggup meneruskan kata.
Aku terdiam sejenak.
 
“Begini ya, Pak.. Saya juga tidak tahu apa memang pengeluarannya harus sebesar itu. Tiap universitas memang menetapkan pengeluaran yang berbeda-beda, selain itu juga tergantung dari mahasiswanya sendiri Pak.. Engg.. Kalau boleh saya tahu, berapa kira-kira yang Bapak keluarkan tiap bulannya, jika dijumlah dengan tambahan-tambahan yang lain?”
“Ya.. Tiap bulan ndak sama, Mbak.. Pernah suatu saat dia minta 2 juta, itu buat bayaran bulanan.. Eh, beberapa hari kemudian dia nelpon lagi, katanya buat iuran apa gitu, Mbak, saya lupa.. Saya kirim lagi 200 ribu.. Saya kira sudah Mbak, taunya dia minta lagi 300 ribu, katanya buat urunan sama teman-teman kosnya.. Saya bingung mau nyari darimana lagi, hutang sudah bertumpuk, jadi saya gadaikan saja sepeda motor satu-satunya.. Tapi anak saya ndak tahu..”
Aku makin miris mendengar pengakuan bapak di sampingku.
“Apalagi sekarang ini..”
Tiitt-tiiittt-tiiitt.. dddrrrttt… Getar hape memotong penjelasan si bapak. Segera ia merogoh-rogoh saku celananya.
“Sebentar ya, Mbak..” Ia mengangkat hapenya cepat-cepat. “Wah, dari anak saya, Mbak..” 
Wajahnya yang semula murung seketika bersinar. Hmm.. Betapa besarnya kasih orang tua pada anaknya..

“Assalamualaikum! Opo, Nduk..? Iyo, Bapak wis arepe teko, Nduk.. He-eh, Bapak wis teko Ngawi.. Ojo kuwatir, Bapak nggowo duwite.. Iyo..”
Mau tak mau, aku mendengar sebagian percakapan bapak tua dengan putrinya. Masya Allah.. Tak terdengar sedikitpun berat hati pada nada suara sang bapak. Tiba-tiba aku ingin sekali mengamati bapak tua berhati lapang ini.

Kupandang sosoknya yang berkemeja kusut, bahkan aku sama sekali tak mampu menggambarkan warna asli baju itu dulunya. Mungkin biru, atau.. ah, entahlah, yang jelas tampak kini adalah perpaduan antara abu-abu dan putih kusam. Celana kainnya yang bekas tambalan disana-sini, makin menambah kesan kumuh padanya. Belum lagi raut wajahnya yang, bisa dibilang tipikal khas wajah petani di sawah.. Hitam, tanda sering terbakar mentari, dan dipenuhi gurat-gurat kelelahan di balik sinar matanya. Sungguh, tak dapat kubayangkan perjuangan bapak ini menghidupi keluarganya.

“Anak saya itu memang selalu menyenangkan hati, Mbak..”
Aku kaget. Lamunan membuatku tak sadar bahwa percakapannya telah selesai. Gagap kutanggapi perkataan si bapak barusan.
“Maksud Bapak..?”
“Iya, anak saya itu memang pintar ngomong, kata-katanya selalu membahagiakan orang tuanya. Pinter, saya saja sering ndak ngerti sama istilah-istilahnya, kayak pejabat-pejabat itu lho, Mbak! Sudah gitu, dia itu cantik sekali, Mbak.. Apalagi sejak jadi anak kuliahan, bagi saya semua artis di tivi itu ndak ada yang lebih cantik dari dia.. Anaknya tinggi, kulitnya kuning, pokoknya kalau jejer sama saya dan ibunya, kayak bukan anak kandung saja, Mbak,” kutangkap nada bangga yang nyata.

“Oh ya..? Saya jadi ingin tahu.. Bapak punya fotonya?” iseng aku bertanya. Tak dinyana, bapak itu menanggapi dengan semangat.
“Oh, ada Mbak. Saya selalu membawa foto anak saya kemana-mana, saya taruh di dompet saya. Ini fotonya yang terbaru, Mbak..” Bapak itu membuka dompetnya, lalu mengangsurkan selembar foto.
Kusambut ulurannya.
Sejenak kemudian aku terhenyak.

Sungguh, foto di tanganku sama sekali di luar dugaan.
Rambut shaggy bercat merah kepirang-pirangan, wajah penuh make-up dengan tindik anting di hidungnya. Masya Allah! Inikah anak yang begitu dibangga-banggakan bapaknya? Belum lagi gaya busananya yang mengalahkan artis di sinetron-sinetron. Celana pensil ¾ yang sudah pasti menonjolkan jenjang kakinya, dipadu dengan kaos tanpa lengan super ketat yang bahkan tak mampu menutupi perutnya yang rata.

“Gimana, Mbak? Cantik to anak saya? Kayak artis di tivi-tivi kan?” Aku mendongak.
Kupaksakan segaris senyum. “Iya, Pak. Cantik, cantik sekali. Tapi, mm.. kenapa dia pakai tindik Pak?” Duh, aku tak bisa menahan diri!
Wajah bapak tua berubah suram. “Iya, Mbak. Saya sebenarnya juga ndak setuju sama sekali, tapi kata dia tindik hidung itu gaul, terus teman-temannya juga pakai semua.. Gitu, Mbak. Saya ndak bisa ngomong apa-apa lagi..”
Aku trenyuh. Kukembalikan foto di tanganku.
 
“Baiklah, Pak.. Saya ke depan dulu, sudah hampir sampai. Takut kelewat..” Kusampirkan tas ke pundak.
“Oh.. iya, Mbak. Mari.. Eh, nama Mbak siapa tadi ya? Saya lupa..”
“Saya memang belum memperkenalkan diri kok, Pak. Panggil saja saya Icha.. Kalau Bapak?”
“Saya Toha, Mbak,” Aku tersenyum.
“Baiklah, Pak Toha. Saya permisi dulu, Assalamualaikum warahmatullah..”
“Waalaikumussalam..”

Aku melangkah, meninggalkan satu lagi pelajaran hidup di benakku. Kupatri dalam kalbu, kenangan tentang betapa dalam kasih sayang orang tua bagi putra-putrinya. Apapun akan diberikan, selama itu mampu membahagiakan mereka. Allah... Semoga anak kesayangan bapak tadi mampu meraih hidayah-Mu. Menuju masa depan yang lebih baik, sehingga mampu menjadi jembatan penolong bagi orang tuanya yang luar biasa, di hari akhir nanti.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)