CINTA: KEKUATAN KREATIF MANUSIA

Seorang guru bukan hanya pengajar mata pelajaran di kelas, namun lebih penting dari itu, seorang guru terutama merupakan pendidik.

Apa sebenarnya perbedaan antara pengajar dan pendidik? Seorang pendidik tidak hanya mengajarkan pelajaran di sekolah, tetapi juga pelajaran-pelajaran kehidupan yang beragam dan kompleks, sehingga anak dapat mengarungi belantara kehidupan yang luas di masa depan.

Mendidik berbagai macam anak dengan karakter dan latar belakang yang beragam bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, keuletan, jiddi (usaha), kapabilitas, dan yang terpenting, keikhlasan. Seorang guru yang mendidik penuh cinta jelas akan berbeda dengan seorang guru yang hanya mementingkan akademis, nilai, dan prestasi anak semata. Padahal sesungguhnya tiap anak dapat merasakan perasaan sang guru saat mengajar, dan hal itu jelas akan mempengaruhi output anak-anak tersebut nantinya.

Dalam buku penuh motivasi, Chicken Soup for the Soul, terdapat beberapa kisah tentang guru-guru yang mendidik dengan landasan cinta dan ketulusan. Terbukti bahwa semua yang mereka ajarkan akan selalu dikenang oleh seluruh anak didiknya, meski masa telah bergulir jauh.

Ada guru yang dapat mencegah seorang anak bunuh diri, karena merasa tak memiliki sedikitpun penghargaan bagi dirinya dari lingkungan. Sosok yang lain mampu membentuk kepribadian anak didik yang ulet dan pantang menyerah, sehingga mampu meraih keberhasilan meski dalam keterbatasan. Apa kunci semua ini? Tentu saja, cinta.

Namun sebaliknya, tak dapat dipungkiri, begitu banyak contoh peran guru yang justru mematikan perkembangan dan kekreativitasan anak. Beberapa guru Taman Kanak-kanak (TK) misalnya, saat mengajak anak menggambar atau berkarya, terkadang menyamakan kesiapan dan kemampuan tiap anak sehingga membuat anak dengan semangat tinggi harus menunggu lama menanti yang lain. Belum lagi jika guru tersebut mewajibkan tiap anak untuk membuat prakarya yang sama persis, dengan cara-cara yang sudah ditentukan oleh guru tersebut.

Maka apa yang akan terjadi selanjutnya? Anak akan belajar untuk menunggu dan melihat. Juga belajar membuat karya-karya yang sama persis dengan yang dicontohkan gurunya. Dan dalam waktu singkat, anak akan kehilangan keinginannya untuk membuat karya-karyanya sendiri.

Mungkin sebagian besar dari kita sampai sekarang pun masih terpaku dengan apa yang kita terima semasa kecil. Saat akan menggambar bunga, maka bunga kelopak merah dengan tangkai hijau panjanglah yang pertama kali kita ingat. Atau saat melukis pemandangan, yang terbayang di benak kita adalah gunung biru segitiga, dengan sawah menghijau dan jalan terbentang di tengahnya.

Inikah yang akan kita tanamkan juga pada generasi selanjutnya? Pelajaran meniru dan menafikan keunikan tiap anak? Tentu saja tidak. Maka lagi-lagi dibutuhkan seorang guru yang berdedikasi tinggi untuk pendidikan, penuh cinta pada anak didiknya, dan mumpuni dalam berbagai metode pendidikan.

Guru yang sentuhan lembutnya dapat membangkitkan kemauan anak belajar. Yang kata-kataya bagai magnet penyeru pada kebaikan dan kesemangatan, sehingga membuat anak selalu diliputi semangat perjuangan. Seorang guru yang saat diingat akan menimbulkan cinta dan penghormatan, bukan malah kebencian dan dendam.

Maka tak berlebihan kiranya jika tokoh Bu Muslimah -yang dalam novel laris Laskar Pelangi dikisahkan mampu mengangkat anak-anak pedalaman Belitong meraih keajaiban pendidikan- kita jadikan sebagai salah satu teladan dalam mendidik anak.

Minimnya sarana-prasarana, situasi, dan lingkungan seperti apa pun tak menjadikannya putus asa, bahkan justru melecut semangatnya untuk terus maju, memajukan pendidikan, dengan penuh cinta.

Begitulah menurutku seharusnya sosok seorang pendidik yang dibutuhkan. Sekali lagi, ‘pendidik’, bukan sekadar ‘pengajar’. Mampukah kita? Bismillah…

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)