MAS-KU TERSAYANG

“Mas.. Aku mau jalan-jalan ke sawah kayak kemarin..” Aku menarik-narik kaos kakakku.
“Iya, Cha.. Bentar.. Mas lagi benerin sepeda nih,” Kulihat keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.
“Beneran ya, Mas..”
“Iya..”
Aku duduk di sebelahnya, menatap penuh kekaguman. Kakakku yang gagah, kakakku yang kuat dan tegas, kakakku yang selalu melindungiku dari gangguan teman-temanku, juga amarah kedua orang tuaku.

***

“Cha.. Icha.. Katanya mau jalan-jalan.. Hei! Kok malah tidur disini, sih..” Aku mengusap kedua mataku. Hoaaaahhhmm.. Rupanya aku ketiduran saat menunggu kakakku tadi.
“Males ah, Mas.. Icha mau bobo aja..” Kugulung tubuhku, melanjutkan lelap yang tertunda.
“Hhh.. Dasar anak manja,” Tak kusangka diangkatnya tubuhku yang hampir seukuran tubuhnya. Pasti lucu sekali kelihatannya, anak kecil yang mati-matian menggendong adiknya, meski usianya tak jauh berbeda.
Aku menggeliat. “Nggg.. Kuat ga, Mas?”
“Udah kamu diam aja, daripada kamu tidur di teras gini..”
Pelan-pelan diletakkannya aku ke dipan. Sebelum pergi, kakakku mengecup keningku pelan, “Tidur nyenyak, Adek sayang.. Besok kita jalan-jalan ya..”
Aku tersenyum dalam lelapku.

***

“Awas ya, Dek, nanti... Hati-hati.. Jangan sampai terpeleset, jalannya licin..”
“Udah ah, Mas cerewet banget sih! Aku kan bukan anak bayi lagi,” Kuteruskan langkahku.
Kali ini aku beserta ketiga kawan kakakku akan berpetualang menyeberangi jembatan kecil di atas sungai, yang konon penuh buaya di dasarnya.
“Gak apa-apa nih, Jar, kita ngajak adek cewekmu? Ntar kalo ada apa-apa gimana?” Mas Edo, yang usianya setahun diatas kakakku, tampak ragu.
“Gak pa-pa kok, Do. Udah biasa, dari dulu dia pasti ikutan kalo ada acara kayak gini.”
Aku mengangguk-angguk. “Iya, Mas Edo. Aku sudah biasa kok..”
“Tapi aku gak mau nanggung resiko kalo ada apa-apa loh ya..”
“Sip, beres Mas!!” Aku melonjak-lonjak kegirangan.

Kami berlima pun menyusuri pematang sawah yang menghijau indah. Angin semilir menyejukkan seolah mengusir lelah yang sempat hinggap. Canda tawa bagai memotong jarak yang tak bisa dibilang dekat. Aku tertawa lepas meski sering jadi bulan-bulanan kawan kakakku. 
Tak lama kemudian..
“Nah, itu dia sungainya.. Lihat!”

Kami semua menengok ke arah yang ditunjuk. Masya Allah.. Di seberang tampak dataran menghijau indah. Belum lagi air terjun kecil yang membelah sungai, menambah antusias kami untuk menyeberang. Satu-satunya yang menghalangi, jembatan sempit tanpa pegangan dan tentu saja, kabar yang menyatakan soal buaya-buaya di sungai.
“Bagaimana, siap?” Kakakku memberi aba-aba.
Kami berempat mengangguk.
“Jangan ada yang takut, lengah, apalagi sampai jatuh ya.. Aku di depan, terus Danang, Toni, Icha, dan terakhir, di belakang, Edo. Oke, setuju semuanya?”
Satu persatu kami melangkah melintasi jembatan. Waahhh.. sempit dan licin sekali. Aku mencoba berkonsentrasi mengikuti Toni di depanku.
“Nah! Aku berhasil..” Kakakku melompat, menjejakkan kaki di seberang. “Ayo, ayo, sedikit lagi..”
Selanjutnya, Danang mengikuti. “Gampang, gampang.. Ayo berjuang!”
Aku makin bersemangat.

Tiba-tiba, Toni yang melangkah di depanku tampak kehilangan keseimbangan. Padahal beberapa langkah lagi dia akan sampai. Jembatan seketika bergoyang tak beraturan. Aku merunduk, kupeluk dasar jembatan kuat-kuat. Mendadak aku gugup. Kepalaku pusing. Apalagi saat sebelah sandalku terjatuh ke sungai yang tenang.
“Mas, aku takut jatuh!!” teriakku kuat-kuat. Edo di belakangku berusaha menyemangati.
“Jangan liat bawah, Cha.. Lihat depan, sebentar lagi, kok!”

Konsentrasiku makin buyar. Sekitarku kabur. Tak terasa, peganganku terlepas. Badanku melayang tanpa beban. Sebelum kehilangan kesadaran, kudengar suara panik kakakku.
“Ichaaa!!!! Tidaaakkkkkk!!!!”

-BERSAMBUNG-

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)