MAS-KU TERSAYANG 2 - TAMAT

Brassshhh!!! Badanku sukses menghempas air. Kepalaku timbul tenggelam.
Toni yang susah payah sampai di seberang menatap ngeri sungai yang beriak karenaku.
“I-cha.. ja-jaa-tuh.. Bagaimana ini?”
Kakakku mencengkeram kerah kaos Toni kuat-kuat. “Ini semua gara-gara kamu, tahu!!”
Disungkurkannya tubuh Toni hingga terjengkang. Tanpa pikir panjang kakakku melepas kaosnya, lalu melompat ke sungai.
“Jar, awas!!” Semua mata mengikuti geraknya. Dengan lincah kakakku berenang ke tengah, tak mempedulikan hal lain. Yang ada di pikirannya hanya satu, menyelamatkanku!

Sementara itu, aku yang telah kehilangan kesadaran semenjak terjatuh, makin jauh tenggelam ke dasar sungai. Hanya kepalaku yang sesekali muncul ke permukaan.
Sekuat tenaga kakakku meraih tubuhku yang lemah, mengaitkannya ke punggungnya yang kurus. Gabungan dua badan yang memberatkannya tak dipedulikan sama sekali. Ia mengayuhkan kaki dan tangan, menjangkau sejauh dan secepat mungkin ke tepi sungai.
“Hooiii!!! Bantu aku naik!!” Danang dan Edo meraih sulur panjang di sekitarnya, mengikatnya ke batang pohon di pinggir sungai, lalu mengulurkannya sejauh mungkin ke bawah. Kakakku meraihnya, menumpukan bebannya pada sulur.

“Sekarang, angkat!” Tarikan pertama, berhasil terangkat sedikit. Begitu pula tarikan kedua. Namun pada tarikan ketiga, sulur itu tak sanggup lagi menahan beban badanku dan kakak. Kembali badan kami terhempas kuat ke sungai.
Semua berteriak gugup.

Danang belingsatan mencari sulur lain. Toni masih terduduk lemas memandang sungai. Edo terpaku, berdiri menatap sungai. Kakakku mulai tampak lelah. Dipeluknya kedua tanganku erat-erat ke lehernya.
“Coba lagi! Lagi! Jangan menyerah!!”

“Aku dapat!” Danang mengikatkan ujung sulur ke pohon di sampingnya. “Bantu aku, Do!! Ton!!” Bagai baru tersadar dari hipnotis, Edo dan Toni bersamaan mengulurkan sulur ke bawah, menahannya kuat-kuat.
“Ayo, Jar! Kami tahan dari sini!” Kakakku menarik sulur panjang, mengikatkannya ke sekujur badan kami.
“Tarik!!”
Peluh berleleran di sekujur tubuh, pelipis pun berdenyut kencang. Semua tenggelam dalam perasaan masing-masing. Tak satupun mengeluarkan suara, selain desah kelelahan yang menerpa.
“Sedikit lagi! Jangan lepas!” Danang membuyarkan suasana yang mencekam. Tiba-tiba, tersentak, Toni melepaskan pegangannya. Otomatis, badanku dan kakak sedikit turun ke bawah.
“Apa-apaan sih, Ton!” Semua memandangnya penuh tanda Tanya. Toni menunjuk sungai gemetaran. “I-ii-itu..” 
Semua mengikuti arah telunjuknya.
“A-a-ada yang bergerak di dasar sungai..”
“Sudahlah! Jangan pikirkan hal lain! Yang terpenting adalah Fajar dan Icha dulu!!” Danang kembali menarik sulur.
Toni dan Edo mengikutinya, meski masih melirik sekilas ke sungai, ketakutan. “Apakah itu, buaya, Ton?” Edo berbisik. Toni menggeleng lemah.
Suasana makin tegang.

“Baik, ayo, sekali lagi!” Danang berhasil meraih tangan kakakku. Toni dan Edo berjuang menahan sulur. “Bantu aku!!” Edo memegang tangan kakakku yang sebelah lagi. Tak dinyana, saat kedua tangan kakak ditarik ke atas, lenganku yang melingkari leher kakak terlepas. Tubuhku limbung kembali ke arah sungai. Spontan semua berteriak.
Sedetik kemudian, Toni menangkap lenganku. Dengan segenap tenaganya, ia menarikku kembali ke atas. Segera setelah tubuhku dan kakak terbaring lemah di tanah, semua menarik napas lega.
“Huuff… Menegangkan sekali..” Danang ikut menghempaskan tubuh ke tanah. “Rasanya seperti di film-film action..”
Tiba-tiba kakakku bangkit.
“Ada apa, Jar?”
Kakak menghampiriku, menepuk-nepuk perutku yang menggelembung kemasukan air.
“Cha.. Bangun, Cha.. Icha..”
“Sini, Jar, biar aku saja..” Edo mengambil alih. Dengan keterampilan yang dipelajarinya semasa pramuka, ia berhasil membuatku memuntahkan seluruh air yang kutelan.
“Uhukkkk!!! Hoeeekkkk!!!” Badanku terguncang-guncang. Aku mulai mendapatkan kesadaranku kembali. Dadaku terasa sakiiitt.. sekali.
“Mas…” Yang pertama terpikir olehku adalah kakakku. “Dadaku sesak..” Aku mulai menangis tersedu-sedu. “Hiks.. Sakit…”
Kakakku memelukku erat. Tangannya mengusap rambutku sayang. “Tidak apa-apa, Cha.. Semuanya baik-baik saja kok.. Kamu sudah aman sekarang.. Jangan khawatir, ada Mas disini.”

***

Aku tergugu, tak sanggup bangkit dari dudukku. Kuambil tisu entah untuk keberapa kalinya.
“Sudahlah, Cha.. Tenangkan dirimu. Lebih baik kamu mengaji untuk mendoakan Masmu..”
Ibu memelukku erat. Adikku menambahkan,
“Iya, Mbak.. Insya Allah Mas enggak papa kok.. Kabar terakhir bilang, sore ini sudah akan dipindahkan kemari..”
“Iya, Bu.. Fa.. Aku baik-baik saja. Tapi tolong tinggalkan aku sendiri dulu..” pintaku sambil menahan isakku.
“Baiklah.. Ibu dan Alfa pergi dulu. Nanti kalau ada kabar biar Alfa beritahu kamu..”
Kuusap mataku yang bengkak. “Iya, Bu.. Makasih..” Kupaksakan sebaris senyum di atas bibir pucatku.

Baru tadi pagi aku dirundung kebahagiaan tak terhingga saat mendengar kabar kepulangan kakakku. Kakakku tercinta, yang telah meninggalkan kami bertahun-tahun demi masa dinasnya, akan pulang. Hari yang telah kunanti sekian lama. Aku bahkan telah menyiapkan segudang kado untuknya.

Namun petir bagai menyambar kami sekeluarga. Siang tadi, tanpa disangka telepon berdering, mengabarkan peristiwa tak terduga. Saat akan pulang, kakak dikeroyok segerombolan orang tak dikenal di terminal. Menurut kabar, dikarenakan status kakak sebagai pasukan khusus, menyebabkan sekelompok orang tak suka padanya. Jadilah kini aku sekeluarga menanti kakak yang akan dipindah perawatannya di kota kami.

Kembali aku mengambil tisu, menghapus air mataku. Terkenang masa-masa kecil saat kakak melindungiku dari gangguan preman-preman jalanan yang menganggu, juga selalu membalas kenakalan teman-teman yang menggodaku di sekolah. Kakak yang selalu kubanggakan, meski tak pernah kusampaikan sedikitpun rasa sayangku padanya. Terlambatkah aku untuk mengungkapkannya saat ini?

Lagi-lagi aku tersedu.

***

“Mbak.. Mbak.. Bangun, Mbak.. Mas sudah di kamarnya..”
Aku mengusap kedua mataku yang terasa berat. Bengkak ternyata.
Kuarahkan pandang ke penjuru ruangan, samar-samar mulai menangkap apa yang dimaksud adikku.
“Apa, Fa? Mas sudah datang? Di mana??” Kuguncang badan Alfa keras-keras.
“Tenang, Mbak.. Itu Mas di kamarnya. Mas nyari Mbak tadi..”
Tak mengacuhkan perkataan adikku selanjutnya, tanpa pikir panjang kularikan kedua kakiku secepat mungkin menuju kamar depan. Pintu kamar tertutup rapat. Aku bergeming sejenak, ragu.
Perlahan, kukuakkan pintu sedikit demi sedikit.

Tampak sesosok tubuh terbaring diatas tempat tidur. Selimut menutupinya hingga ke dada. Mataku kembali memanas. Aku menunduk dalam.
“Cha..” kuangkat kepalaku perlahan.
“Sini, Dek..”
Kutatap wajah kakakku yang memutih pucat. Setapak demi setapak aku melangkahkan kakiku yang kaku bagai terpancang ke bumi.
“Mas..” Suaraku serak. Kuhapus tetes air mataku yang mengalir.
“Kenapa kamu menangis, Cha.. Lihat, Mas baik-baik saja kok..” Kakakku tersenyum kecil, tampak jelas berusaha menafikan rasa sakitnya.

“Baik-baik aja gimana?? Lihat! Badan penuh balutan gini, muka biru lebam lagi.. Mas itu, pasti deh! Aku..” Aku tak sanggup meneruskan ucapanku. Mataku penuh air mata yang terus menderas. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan. Aku tak mau membuat kakakku tambah sedih dengan tangisan cengengku yang tak tahu waktu.
“Ssstt.. Diam.. Sudah-sudah..” Tangan kakakku terulur pelan melewati selimut. Telapaknya menyentuh kepalaku. Sesaat kemudian aku terhenyak. Kata-katanya sungguh menohok ulu hatiku. Kata-kata serupa dengan yang diucapkannya padaku bertahun lalu. Kata-kata yang menawarkan perlindungan dan kasih sayang tulus seorang kakak sejati. Kata-kata yang takkan kulupakan.
“ Sssshhh… Gak apa-apa, Cha.. Semuanya baik-baik saja kok.. Jangan khawatir, Mas ada di sini…”

-TAMAT-

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)