KENANGAN ITU

Di siang yang panas..
Tepatnya di Auditorium GP1..
Acara Pembekalan Intensif 2019

“Boleh saya bercerita sedikit? Hal ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan materi kita kali ini, namun saya rasa adik-adik sekalian dapat mengambil sebuah pelajaran dari cerita yang akan saya sampaikan ini.

Di tempat ini 10 tahun yang lalu, tepat pada momen serupa dengan yang adik-adik hadapi saat ini. Saya, yang pada waktu itu berusia kurang lebih 19 tahun, mengalami suatu fase yang pada masa itu sungguh teramat berat saya lalui. Saya punya penyakit tifus dan waktu itu penyakit itu menyerang saya dengan demikian dahsyatnya. Sebetulnya rasa sakit ini telah saya rasakan sejak masa imtihan tahriry nihaiy, namun karena satu dua hal, saya tidak dapat berobat dengan semestinya.

Karena padatnya acara pada waktu itu, seperti yang adik-adik alami sekarang, saya jatuh sakit kembali, bahkan jauh lebih parah dari yang sudah-sudah. Ini mengakibatkan saya tidak sanggup menggerakkan badan saya dengan leluasa, sulit bernapas, nyeri perut, flu yang terus-menerus, kelelahan parah, dan dehidrasi. Saya terus menggigil sedangkan suhu badan begitu tinggi. Meski adakalanya suhu badan menurun, namun penderitaan semacam itu terus saya rasakan.

Adik-adikku..
Bukan itu poin penting yang ingin saya sampaikan. Tapi bagaimana saya bisa melewati semua itu untuk sampai ke yudisium yang tinggal seminggu lagi dengan badan yang bagai remuk redam itu. Sedangkan untuk melalui satu hari dalam rasa sakit yang sungguh berat itu saya sudah mengerahkan segenap daya tahan saya.

Namun memang benar, Dek.. لايكلف الله نفسا إلا وسعها
Tiada yang terlalu susah bagi Allah SWT. dan semua telah diaturnya dengan demikian terperinci.

Tahukah adik-adikku..
Dalam keadaan lemah yang berlipat-lipat, dan sakit yang terus bertambah, banyaaakk sekali teman-teman saya yang setia menemani, mengibur, menyemangati, bahkan menelepon rumah dan mencarikan rumah sakit untuk saya. Bukan cuma itu, semua kebutuhan saya dipenuhi, mereka menjaga saya dengan ketulusan murni yang bagi saya, adalah sebuah mukjizat yang duanugerahkan bagi saya.

Saat saya haus, ada yang mengambilkan air saat itu juga.
Saat saya ingin menelepon rumah, ada yang ikhlas antri wartel demi saya.
Saat saya merasa sangat kedinginan, ada saja yang menambahkan selimut buat saya, dengan merelakan dirinya tanpa selimut.
Dan saat saya butuh bicara, selalu ada hati yang terbuka untuk mendengarkan saya.
فبأي آلاء ربكما تكذبان....؟؟
Apa yang menghentikan kita dari bersyukur? Sementara nikmat-Nya yang tak terhingga terus melingkupi.

Sampai suatu malam, saya merasa Malaikat Izroil begitu dekat dengan saya. Seolah samar-samar saya dapat mencium wujud kehadirannya. Saya begitu takut, akankah saya meninggalkan dunia sekarang? Cukup sampai di sinikah akhir perjuangan saya? Tidak akankah saya mengikuti yudisium yang sudah di depan mata?

Saya pejamkan mata kuat-kuat, takut bila saya membuka mata, sang pencabut nyawa telah berada di hadapan saya. Oh iya, saya sudah lama mengidap insomnia. Jadi, rasa sakit itu terus saya rasakan karena waktu tidur saya hanya sekejap saja. Saya terus mengulang-ulang semua dzikir yang saya ketahui. Terus saya ulang-ulang sampai bilangan yang entah ke berapa kali.

Saya juga membaca istighfar, kalimat-kalimat thoyyibah, dan syahadat dengan sepenuh hati saya, dengan harapan bila memang saat itulah saat terakhir saya, itulah kalimat terakhir di bibir dan lisan saya.

Lama kelamaan saya teringat semua dosa-dosa yang telah saya perbuat. Alangkah banyaknya! Alangkah hina-dinanya saya! Alangkah menjijikkannya tubuh yang berlumur dosa ini! Sayapun takut sekali meninggal dalam keadaan berlumuran dosa dan hina seperti saat ini. Akhirnya, saya putuskan untuk bernadzar. Bila saya bangun esok pagi dengan keadaan yang sedikit saja lebih baik, maka saya akan... Belum sempat memutuskan apa yang harus saya nadzarkan, saya terlelap seketika. Bagai tertarik ke pusaran alam mimpi yang entah siapa yang mengaturnya. Mungkin Allah tahu saya tidak akan sanggup menjalankan nadzar saya, maka dengan izin Allah SWT, saya yang sebelumnya sungguh tersiksa, dapat tidur pulas sehingga melupakan nadzar yang belum saya selesaikan.

Subhanallah..
Esok pagi ketika saya terbangun, badan ini tidak ngilu-ngilu semua dan lain sebagainya seperti sebelumnya. Meski masih merasa sakit dan lemah luar biasa, tapi tidak membuat saya merasa begitu dekat dengan kematian karena tidak kuat menahan sakit, seperti semalam.

Akhirnya, saya niatkan dengan sepenuh kesungguhan hati, saya akan mencoba bangun, berjuang dengan segenap sisa-sisa kekuatan yang saya miliki, untuk mengikuti aktivitas sebagaimana teman yang lainnya.

Adik-adikku..
Saya buktikan, meskipun badan saya begitu ringkih dan lemah, jalan masih sempoyongan, kepala terus berkedut-kedut, dan berbagai rasa lain yang sudah begitu akrab dengan saya belakangan ini, tapi saya terus berusaha menapak di atas kedua kaki saya sendiri. Teman-teman pun menganggap saya sudah sehat.

Namun apalah daya, datanglah suatu sore saat energi saya sudah terkuras habis. Tepatnya tanggal 2 Ramadan 1430 H. Saya berusaha mati-matian untuk tidak kehilangan kesadaran saat berjalan pulang ke kamar. Dan sesampainya di kamar, saya yang sebelumnya telah bertekad untuk tidak ingin merepotkan teman-teman lagi dengan segala penyakit saya, justru jatuh tertelungkup di depan lemari teman saya. Saat ia bertanya, saya hanya menjawab, ”Maaf, saya pusing..” Ia pun pergi meninggalkan saya seorang diri.

Ternyata pertahanan saya sampai pada batas maksimalnya. Rasa sakit itu terus bertambah dan bertambah, hingga memaksa saya menangis keras bagai orang gila. Saya yang sebelumnya selalu berusaha tegar dan tidak sekalipun manja, kali itu pun menyerah. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya cuma satu, “Mana ibu saya? Saya butuh beliau sekarang juga, sebentaaaaar saja..”

Tapi saya tahu semua itu hanya mimpi kosong belaka. Saya tahu itu hanya pikiran manja anak kecil yang seolah tak pernah diperhatikan ibunya. Bukankah selama ini saya selalu berhasil menafikan ego saya?

Segera setelah itu, teman-teman saya bahu-membahu bersama mempersiapkan segala sesuatunya buat saya. Tapi saya kembali teringat akan janji saya untuk menjadi anak yang kuat, meskipun dengan fisik yang lemah. Maka saya hapus air mata saya, dan saya bilang dengan suara yang ditegar-tegarkan, bahwa saya tidak apa-apa, sembari tersenyum.

Sejauh itu baik-baik saja, teman-teman saya duduk bersama saya yang sedang mati-matian berusaha terus tersenyum dan menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuh saya. Mereka sungguh baik.. sungguh mulia, wahai adik-adikku. Mereka adalah malaikat-malaikat yang diutus Allah SWT. untuk mengusap rasa sakit saya, membalur senyum, dan menemani saya.

Perlu adik-adik ketahui..
Tanpa mereka, saya tidak akan sanggup menjalani hari-hari suram itu.
Tanpa mereka, takkan mungkin saya mampu tersenyum menatap dunia.
Bahkan tanpa mereka, saya tidak akan dapat meneruskan hidup saya, sehingga saya dapat berbicara di depan adik-adikku saat ini.
Merekalah pelita kiriman Allah yang selalu saya rindukan, selalu saya doakan, selalu saya harapkan.

Tahukah adik-adikku..
Saya menyebut mereka..
ARMADA YANG SELALU DI HATI.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)