LARUT BERSAMA OMBAK

Sesubuh ini aku sudah di sini, menikmati hembusan angin yang membelaiku, deburan ombak yang meninabobokkanku, dan kelembutan pasir yang menyelimutiku. Secercah cahaya nun jauh di tengah ombak sana, sesekali terlihat, berkelap-kelip seolah menggodaku 'tuk mengikuti. Rembulan pekat menaungi, bagai dewa penjaga yang tak kenal lelah tersenyum menyemangati.

"Icha..  Sedang apa kau disana, Sayang..?"
Suara itu, lagi. Yang tak kenal lelah menemani kepenatanku setiap hari.
Kutolehkan kepala perlahan, enggan.
"Cuma ingin tadabbur, Mas.."
Sosok itu kini terduduk di sampingku.
Kembali kutatap langit.
"Butuh sandaran..?" Kedip matanya jenaka.
Hmm.. Perhatian melimpah itu, lagi. Aku bertanya-tanya kapan ia akan mulai lelah.
"Sampaikanlah, Cha.. Aku siap kapanpun kau ingin berbagi.."
Aku kembali terhenyak. Kutatap senyum indahnya, yang tak pernah gagal meluluhkan hatiku.

Tiba-tiba dorongan itu muncul kembali. Hal yang selalu Ibu larang, setiap kali kusampaikan. "Tidak usah kau ungkit-ungkit lagi hal itu, Nduk.." selalu terngiang pesan Ibu.
Namun kali ini aku tak ingin mengindahkannya. Aku benar-benar ingin tahu.
"Mas, mengapa kau begitu baik padaku..? Padahal aku.." lidahku kelu. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.
Jenak itu terasa hampa. Hanya tarikan napas yang terdengar diantara kami berdua, selain suara buih berlarian menjilat kaki telanjangku yang menggigil.
Hatiku hampa. Salahkah aku ingin mengetahuinya..?

Sebuah tangan mengusap kepalaku lembut.
"Icha benar-benar ingin tahu..?" Kutundukkan kepala dalam-dalam.
Sekilas ragu  menelusup di hatiku.
"Aku takut, Mas.." lirihku. "Aku merasa tak pantas.. untuk disayangi, oleh siapapun.."
Ia menghela napas panjang.
"Cha.. Berapa kali harus kukatakan..?" Tangannya merangkulku. "Aku tulus melakukan semua ini, karena kau.. pantas mendapatkannya.."

Jarinya mengangkat daguku. "Sabarlah, Sayang.. Akan kutunjukkan padamu, bahwa sesungguhnya, kau sangat berharga. Hanya saja, kau belum menyadarinya selama ini,"
Kutatap matanya, hanya ada ketulusan disana. "Mas.." Mataku memanas. "Terima kasih.."
Ia hanya mengangguk, senyumnya rembulan.
Sungguh, pagi ini menjelma indah, lagi.
Kupejamkan mata, seiring kesadaranku yang melemah, dan perlahan, lenyap.

***

Kubuka kedua mata. Sekitarku meremang putih. Sekujur badanku terasa nyeri, lebih-lebih segaris bagian kiri. Samar-samar tercium aroma yang tak asing. Kurasa aku tahu dimana kini aku berada.
"Cha, sayang.." tangan kokoh itu meraihku.
Rasa hangat menyelimutiku seketika. Rupanya aku tak sendiri.
"Mas.. kah?"
"Iya, Cha.. Ada yang kau butuhkan?" Aku menggeleng lemah. Namun seluruh badanku seolah memprotes setiap gerakanku, sesedikit apapun itu. Rasa sakit itu makin mencengkeram, bagai taring dan cakar yang menggenggam kuat. Tak kuasa, aku mengaduh.
"Cha? Sakit sekali ya..?"
Aku bahkan tak mampu merespon.
Berpikir pun terasa begitu sulit. Apa yang selalu kulakukan di saat-saat seperti ini?

Coba kugerakkan ujung-ujung jari.
"Sssshhh.. Ssshhh.." sebuah isyarat pengusiran halus. Semoga ia mengerti.
"Cha?"
Kuulang gerakan jariku.
"Kau ingin aku pergi?"
Dengan sisa tenaga kuanggukkan kepala. Badan dan pikiranku rasanya hancur lebur.
Ia menghela napas panjang.
"Baiklah, kutinggal dulu Sayang.. Kalau kau membutuhkanku atau apapun, kau tahu apa yang harus kau lakukan," diulurkannya tombol panggilan darurat ke sebelah jari-jariku yang memucat.
Lalu dengan langkah-langkah lebar ia pun berlalu, meninggalkanku seorang diri.

Seiring dengan tertutupnya pintu, perlahan air mataku menderas. Jambangan bunga di ujung ruangan menjadi saksi, betapa semua ini hampir meluluhlantakkanku sepenuhnya. Tanpa terkecuali. Seandainya tak ada uluran tulus darinya, aku pasti sudah menyerah sedari dulu.

Kuingat kembali masa-masa sebelum semua ini mempengaruhi hidupku begitu dalam. Masa ketika aku begitu bebas tertawa, bebas bertingkah sesuka hati. Masa ketika rasa sakit belum menjadi sebuah keniscayaan seperti saat ini. Masa ketika aku seolah memiliki begitu banyak pilihan setiap hari. Masa ketika aku hidup dengan berjuta mimpi, seolah akan tinggal di dunia selamanya..

Hingga saat itu tiba. Saat seseorang datang dengan tekad suci di dadanya. Saat pemeriksaan kesehatan rutin menjelma bencana. Saat duniaku bagai runtuh berkeping-keping seketika. Dan yang tak kumengerti hingga saat ini, saat dimana ia, tak menghentikan sedikitpun niatannya..
Meski telah mengetahui dengan jelas, bahwa rumah sakit akan segera menjadi kediaman keduaku (atau pertama?) setelah itu. Meski telah berulang kali kukatakan, aku takkan mampu menjadi pendamping yang sempurna baginya. Meski ia mungkin harus, mengurusku sepanjang sisa hidupnya, atau lebih tepatnya.. sisa hidupku.. bila ia tetap berkeras melanjutkan keinginannya. Namun ia tak bergeming.

Aku tetap tak mengerti, bahkan hingga detik ini, saat aku merasa kematian bagaikan kawan lama yang sudah siap menanti, di depan pintu ruang perawatanku sendiri.
Entah sampai kapan aku mampu bertahan.

*selesai bersama tangis, dini hari itu
 (kalau semua ini mimpi, mohon bangunkan aku saat ini, Ya Allah..)

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)