MATI

Air mataku tumpah malam ini. Selepas membaca novel trilogi “Ranah Tiga Warna”, aku terhanyut dalam nuansa melankolis. Seperti layaknya ketika aku selesai membaca novel-novel luar biasa karya “Andrea Hirata”, ataupun merenungkan lika-liku kehidupan dalam karya “Abdurrahman El-Shirazy”, juga saat terharu biru mengikuti kisah-kisah menakjubkan “Dan Brown”.

Sejujurnya, aku bukan orang yang lemah lembut, penuh kasih, dan feminin. Aku biasa menjuluki diriku ‘An Extraordinary Girl’, sedangkan seorang sahabat karibku sering menyebutku ‘Srikandi Masa Kini’. Entahlah, apa karena aku lahir di keluarga yang mayoritas merupakan lelaki, atau karena terlalu banyak mendalami tulisan-tulisan berbau perjuangan wanita sejak kecil. Namun sering aku heran mengetahui bahwa membaca suatu tulisan, amat mudah membuatku menitikkan, bahkan mengalirkan air mata. Terlebih bila tulisan itu terasa amat dekat dengan kehidupanku sehari-hari.

Seperti kali ini, aku tanpa sadar tergugu di pojok kamar sembari memegang erat novel “Ranah Tiga Warna” karya “Ahmad Fuadi.” Meski kisahnya tidak berkisar antara Pondok Madani (terinspirasi dari sebuah pondok di Jawa Timur era 80-90–an) yang pernah begitu dekat merasuk dalam jiwaku, namun cerita yang dihadirkan kali ini sungguh dalam dan dekat kurasakan. Terutama saat merenungi petuah Ayah dan Amak kepada Alif (tokoh-tokoh dalam Ranah Tiga Warna), sekelebatan ingatan masa kecil bersama mereka, dan masa kepergian Ayah dari dunia fana.

***

Aku sadar, kepastian yang paling pasti, dan kenyataan yang paling nyata bagi tiap insan adalah datangnya kematian. Saat dimana uang, jabatan, keluarga, dan teman tak lagi dapat membantu. Saat malaikat maut bergegas datang dan segera pulang. Saat tak ada lagi tawar menawar antara nyawa dan kehidupan. Sungguh tak ada yang bisa menunda saat ajal menjelang.

Bagiku pribadi, kematian adalah sesuatu yang amat abstrak. Aku belum pernah mengalami kehilangan seseorang yang berarti bagiku, semenjak aku memahami arti dari sebuah kata sakti, “kematian”. Memang saat kecil dulu, aku pernah mengantar beberapa saudaraku yang meninggal, namun saat itu aku belum benar-benar memahami apa itu ”mati”. Yang aku tahu, mereka hanya dikubur, pergi dan tak kembali.

Maka kini, saaat membaca ulasan menyentuh tentang mati dan dunia fana, aku merinding, dan tak sadar meneteskan air mata. Aku baru sadar, bahwa aku belum siap menyongsong kematian. Baik bagi teman, kolega, keluarga, apalagi bagi diriku sendiri. Aku masih terlalu banyak berleha-leha dan berpaling, dari mempersiapkan diri menghadapi sebuah kenyataan yang takkan mampu kupungkiri. Bekal apa yang sudah kupersiapkan? Berkali-kali kupertanyakan pada diriku malam ini.

Termenung di pojok kamar sambil menangis, terus terang sama sekali bukan gayaku. Namun menyadari ketidaksiapanku menghadapi kata “mati’, aku tak mampu berbuat apapun selain berpikir keras. Apa yang akan kulakukan saat ditinggal pergi, atau bahkan meninggalkan dunia ini nanti? Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih secukupnya kepada orang-orang yang selalu berjasa di sekitarku. Aku belum mengucapkan sayang dengan sepenuh hati sekalipun kepada kedua orang tua dan keluarga besarku. Aku jarang menyukuri keberuntunganku bersekolah di jenjang perguruan tinggi bersama teman-teman yang selalu mneyemangati dan peduli padaku. Aku belum meminta maaf bagi kesalahanku yang tak terhingga pada orang-orang di sekitarku. Belum lagi hutang-hutang yang kumiliki, baik kusadari maupun tidak!

Banyak sekali hal-hal yang baru kusadari (kembali) saat ini. Berapa kali aku mengucap syukur kepada Tuhan seketika begitu mendapat nikmat yang kuharapkan, atau kubutuhkan? Aku bergidik membayangkan kealpaanku yang kronis dalam hal ini.

Tuhan..
Bila Kau berkenan mencabut nyawaku malam ini, sungguh aku tak tahu apa yang akan kudapatkan di alam barzah nanti. Bekalku sungguh tak memadai untuk menghadapinya. Akankah Engkau menyiksaku dan tak mengampuniku lagi?

Namun entah, jauh di lubuk hatiku Tuhan… aku yakin, bila aku percaya sepenuhnya akan ridho dan kasih-Mu, Engkau takkan pernah meninggalkanku…

*sepenggal tanya berbalut cemas  dalam dada, menjelang berkurangnya usia

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)