PETUALANGAN DI DESA BANDEAN

Kami pergi berempat ke desa itu. Selain ombak pantai lembut yang sangat nyaman untuk berenang, di desa itu juga terdapat gua keramat memanjang yang memiliki banyak hal unik di dalamnya. Kami penasaran. Aku, Lita, Mira, dan satu teman bule kami yang mahir berbahasa Indonesia, Mary.

Hari pertama kami hanya bermain di pantai dan bersenda gurau. Namun kami mulai bosan. Pantai tak tampak menarik lagi. Akhirnya kami putuskan untuk menjelajah gua pada malam harinya. Tepat pukul 18.00 kami berangkat. Menariknya, sebelum sampai ke gua yang berjarak kurang lebih 1 km dari penginapan, kami menemukan banyak orang bermain sepak bola di lapangan besar sebelum gua. Mary, yang jago football di negaranya, tak bisa mengelak untuk ikut memeriahkan pertandingan tersebut. Lita mengikutinya. Sedangkan aku dan Mira cukup puas berdiri di bangku penonton karena tak berminat berlarian mengejar bola. Setengah jam kemudian, aku bosan. "Mira, aku pergi duluan ya." Mira hanya mengangguk. Kuteruskan perjalaanan ke gua. Di jalan, dari beberapa orang yang kutemui aku jadi tahu bahwa gua itu memiliki banyak pintu memanjang ke samping dan dipenuhi banyak benda-benda aneh yang pasti bakal membuatku kaget. Aku makin penasaran.

***

Setelah sampai di depan gua super besar, rasa ingin tahuku surut bergantikan rasa takut dan khawatir. Apa yang akan kutemui di dalam? Kuputuskan untuk menunggu kawan-kawanku. Setengah jam kemudian, sambil terkantuk-kantuk di depan gua, aku mendengar suara Mary memanggilku, "Cha, bangun! Ayo foto bareng penduduk, buat iklan di surat kabar lokal." Ternyata kerumunan yang bermain sepak bola tadi adalah sekumpulan reporter surat kabar yang sedang liburan sembari liputan di desa ini. "Kita diperbolehkan ikut liputan loh, nanti tulisannya bisa diserahkan ke mereka untuk dimuat bila bagus," tambah Lita. Aku hanya mengangguk dan mulai mengambil pose.
 
***

Kami berjalan ke area gua. Gelap, dipenuhi lumut dan pasir, gua itu benar-benar tampak seram. "Yakin nih mau masuk?" Mira menggigil. "Yakin, lah!" balas Mary. "Kita jauh-jauh kesini untuk ini kan?" Tiba-tiba terdengar suara mendesis keras dari arah pintu gua. Kami berempat terlonjak. Lita gagu, "U...u...ul..ular ya teman-teman?" Mukanya pucat. Ia menggenggam tangan Mira erat. Aku menatap wajah mereka iba. Lita memang sangat takut pada ular. Ia bahkan tak sanggup melihat gambar ular di buku atau layar televisi. Kuputuskan untuk menengahi keadaan. "Mir, antar Lita pulang gih. Sepertinya dia tidak sanggup ikut masuk gua. Biar aku dan Mary yang melanjutkan petualangan ini." Mira kelihatan lega. Rupanya ia juga ragu untuk masuk. Ia segera ambil ancang-ancang pergi. "Makasih Cha, aku dan Lita pulang dulu. Da da." Ia melesat pergi bersama Lita.

 ***

Tinggal aku dan Mary, berpandangan. Sesungguhnya Mary tak perlu kuragukan lagi. Ia orang paling berani di gerombolan kami. Justru mungkin aku yang sebenarnya paling penakut di antara semua, tapi rasa gengsiku yang kuat mengalahkan rasa takutku. Huffftt.. "Ayo masuk," Mary sama sekali tak kelihatan gentar. Aku mengikutinya lamat-lamat. Pintu gua yang ditutupi lapisan daun berwarna hijau tebal membuatku gemetar. Bagaimana kalau ada hewan-hewan aneh yang bergelayut di rumpun itu? Pikiran-pikiran buruk tak kunjung berhenti melintasiku.

 ***

Di depanku, perlahan tampak sebuah dataran rata yang luas. Ada beberapa batu karang yang menjorok, dan ada beberapa lubang alami. Di samping kanan, ada rimbunan dedaunan yang menutup jalan ke cabang gua yang kedua. Kata bapak penjual tiket masuk, gua ini memiliki belasan cabang, dan masing-masing memiliki aneka flora dan fauna yang berbeda. Aku meneguk ludah cemas. 

Sementara itu, Mary tampak sibuk berkeliling. "Cha, Cha, sini deh. Apa ya ini?" Ia melambaikan tangan. Setengah hati kuhampiri dirinya. "Hmm, sepertinya itu fosil suatu makhluk entah apa gitu, Mary." Melihat benda aneh yang tak sekalipun terlintas di benakku itu, benar-benar membuatku ingin kabur secepatnya. "Aku belum pernah lihat ini di ensiklopedia," Mary menggumam. Sebentuk hewan mirip campuran buaya dan marmut raksasa bergelung di depan kami, berwarna coklat tanah kering, dan terpejam tak bergerak. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu benar-benar fosil. Aku tak berani membayangkannya bergerak dan menerkamku atau Mary. Atau keduanya. Hiiiii.

 ***

Aku berdiri di pojok gua, tempat terdekat dengan pintu keluar. Mary tak mengacuhkanku, sibuk memeriksa berbagai hal. "Cha, aku mau coba ke gua sebelah ya?" Aku terlonjak. "Apa?! Mary, kamu serius??!!" Mary mengangguk. "Aku ingin menjelajahi seluruh cabang gua. Mau ikut? Atau tetap disini?" Aku kalut. Apa ya yang harus kupilih, sendirian di gua tempat banyak benda serupa hewan-hewan aneh -yang entah hidup atau mati- atau melanjutkan penjelajahan bersama Mary yang sama sekali tidak merasa terganggu dengan hawa aneh tempat ini. Sungguh dua pilihan yang sulit. "Aku... di sini saja, Mary." Kuputuskan untuk tetap berdiri di dekat pintu keluar. Mary menatapku sekilas, tanpa ekspresi. Ia kemudian mengangkat bahu. "Oke kalau begitu. Kalau mau pulang duluan, silakan saja. Aku kayaknya lama nanti." Ia menyibak rumpun penghalang jalan menuju cabang gua kedua. 

Sepeninggalnya, kakiku terasa lemas. Aku terduduk. Apa sebenarnya yang kupikirkan waktu memutuskan pergi ke sini berempat saja, bahkan tanpa membawa seorang pun teman lelaki. Saat ini baru aku menyesal.

 ***

"Sssstt... Sssttt..." terdengar suara desisan di belakangku. Aku terbangun kaget. Gua ini sangat gelap. Pada malam hari seperti ini, cahaya bulan pun tak mampu menerobos kepekatan gua. Kunyalakan senterku, takut-takut kuarahkan ke tempat suara desisan tadi. Tak kulihat apapun. Aku tetap ketakutan. Bagaimana jika seekor ular berbisa tiba-tiba melilit kakiku? Apa yang terjadi jika aku pingsan keracunan bisa ular di sini? Aku menggigil. Suara desisan kembali muncul, kali ini sekitar dua meter di depanku. Aku mundur perlahan. Beberapa langkah. Tap tap. Sampai kurasakan dinginnya dinding gua di belakang punggungku. Aku amati langkah. Selama sepersekian detik, aku sudah pasrah untuk menghembuskan napas terakhir di gua ini. Mungkin sudah saatnya, pikirku waktu itu. Lalu tak sengaja, cahaya senterku menyinari makhluk aneh yang bergelung tadi. Ia tetap memejamkan mata. Aku memikirkan sebuah ide di benakku. Secepat mungkin aku berkelit ke samping, lalu melompat ke arah hewan itu. Aku naik ke atasnya. Setelah cukup tinggi, kuarahkan senter ke suluruh penjuru gua. Rupanya benar. Ada seekor ular berwarna ungu bersisik kuning di dekat tempatku berdiri tadi. Anehnya, ular itu memiliki ekor yang membulat di ujungnya, seperti simpul. Lidahnya berulang kali dijulurkan, ssstt... ssstt...

 ***

Sudah beberapa menit aku berdiri di sini. Di atas fosil hewan entah apa yang kujadikan pijakan ini. Ular itu entah mengapa tak mendekatiku. Apakan mungkin ular itu takut pada apa yang kuinjak ini? Aku tak peduli asalkan ular itu tetap di tempatnya, dan hewan yang kuinjak tetap diam bagai batu dan memejamkan mata. Selama beberapa saat aku hanya sibuk memikirkan cara mengusir ular itu. Tiba-tiba terpikir olehku, Mary! Tak kudengar sedikit suarapun dari gua sebelah. Apakah ia baik-baik saja? Apakah aku harus menjemputnya? Aku menolak mentah-mentahku ideku yang terkahir. Bertahan hidup dan berhasil keluar dari gua ini saja sepertinya sudah merupakan pencapaian yang luar biasa bagiku.
 
***

Seolah bosan denganku, ular ungu itu menyelinap pergi menjauh. Kutunggu sampai ia berada di jarak yang sepertinya tepat, lalu aku mulai turun dan melangkah ke arah pintu gua. Setelah kurasa aman, aku memutuskan pergi dari sini, selagi masih hidup dan sehat selamat tak kurang suatu apa. Sebelum pergi, kuarahkan sekali lagi senterku ke seluruh penjuru gua aneh bin ajaib ini. Ups! Apakah aku salah lihat? Benda besar serupa hewan aneh yang tadi kunaiki, tampak sedikit bergeser dari tempatnya semula. Kuarahkan senter ke bagian kepalanya yang besar. Mata itu tetap terpejam. Kuharap aku salah kira. Dengan kaki lemas, gemetar, dan bulu kuduk berdiri, kulangkahkan kaki keluar gua secepat mungkin. Begitu merasakan pasir lembut di bawah sandalku, dan melihat cahaya bulan keperakan di atas kepala, aku sungguh merasa lega. Aku masih hidup, syukurlah.

 ***

Kutatap pintu masuk gua hampir tanpa berkedip. Sudah satu setengah jam, dan Mary belum tampak batang hidungnya. Aku mulai waswas. Gua itu memang sangat besar, tapi mungkinkah ia benar-benar menjelajahi hingga ke ujungnya? Sempat terpikir untuk mencari bantuan warga sekitar, tapi aku khawatir sewaktu-waktu Mary keluar dari gua dan tidak menemukanku. Meski menyuruhku pulang duluan, kupikir ia akan lebih senang bila aku menunggunya. Kuputuskan untuk tetap di sini.

 ***

Sesosok bayangan tampak keluar dari gua. Tinggi besar, dengan topi di atas kepala. Itu jelas bukan Mary. Kusipitkan mataku, sambil mendekatinya pelan-pelan. "Icha? Icha toh?" Hmm, siapa ya? "Ini Om Heri, dari Balung Jember. Masih ingat kan?" Aku terperanjat. Om Heri?

 ***

Di warung sebelah penginapan, kuseruput teh hangatku yang mengepul. "Jadi betul yang di dalam gua tadi temanmu? Wah, sungguh pemberani dia. Om sampai kaget ada perempuan sendirian malam-malam menjelajah gua. Tadi sebelum Om keluar, ia berpesan untuk menyuruhmu pulang duluan dan tak usah khawatir.." Om Heri memesan sepiring rawon. "Mau?" Aku menggeleng. Pencernaanku rasanya mogok kerja setelah apa yang kualami malam ini. Apalagi setelah mendengar cerita Om Heri tentang gua itu. Tentang isi gua itu, lebih tepatnya. Kadal beraneka ukuran dan warna, tumbuhan liar yang seolah bisa bergerak, pasir hisap, begitu banyak informasi yang harus kuserap malam ini. Terlebih Om Heri menceritakannya dengan nada biasa, membuatku harus mempertanyakan kesahihan pemikirannya. "Jadi, Om kok bisa ada di sini?" Kuhirup lagi teh yang untungnya tak menimbulkan penolakan pada perutku. "Om sedang mengadakan penelitian tentang gua ini. Meskipun begitu, Om belum sempat menjelajah seluruh bagian gua. Om rencana akan kembali besok malam." "Om tidak takut?" Aku bergidik membayangkan makhluk-makhluk yang ada di dalam sana. "Sebenarnya ya agak takut, tapi masak kalah sih sama Mary temanmu itu.. Hehehe... Gpp kok Cha, besok mau ikut bareng Om menjelajah lagi?" Aku tersedak. "Belum tahu Om, nanti Icha kabari lagi. Ngomong-ngomong, Om sudah sampai cabang gua keberapa?" "Kedelapan, kalau tidak salah..." "Masih kalah sama aku, dong, aku sudah cabang kedua belas.." Aku menoleh kaget. Suara Mary!

 ***

Kami berempat duduk di kamar. Bebarapa buah lilin tampak redup di tengah kami. Lagi-lagi Mary dan ide anehnya. "Bagaimana kalau kita coba memanggil arwah gentayangan yang ada di tempat ini?" Sungguh ide yang bahkan tak patut dipertimbangkan bagiku. Apa daya, suaraku kalah oleh dua suara lain yang setuju. Ya, Mira dan Lita tak kusangka menyukai ide cemerlang Mary satu ini. Aku sungguh terheran-heran tak habis pikir. Masuk ke gua tidak berani, tapi main panggil-panggil makhlus halus mau. Ckckck.
 
***

Permainan dimulai. Kami berpegangan erat. Simbol-simbol yang tak kutahu apa saja bertebaran di depan kami. Kami mulai memusatkan pikiran. Tak berapa lama, angin dingin mulai berhembus. Bulu kudukku meremang. Satu persatu lilin di depan kami padam. Lita yang berada di depanku gemetaran. Kulihat pegangannya merenggang. Mira dan Mary masih memejamkan mata. Mereka tampaknya tak sadar Lita mulai kehilangan kesadaran. Aku bingung, haruskah kulepas penganganku dan menyangganya, atau menyadarkan dua teman di sampingku. Belum sempat memutuskan apa yang akan kulakukan, Lita terhempas ke belakang. Ia pingsan. Kami serempak melapaskan pegangan dan menghentikan ritual. "Lita... Lita.. Bangun! Lita... " Tak ada tanda-tanda Lita akan sadar. Kami saling berpandangan. Mira berkaca-kaca, "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Mary sigap bangkit. "Tunggu disini, aku panggilkan bantuan."

***

"Untuk menghilangkan traumanya, kalian harus memberinya campuran obat dari daun kelinting. "Daun kelinting? Apa itu Om?" Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Daun kelinting itu, Cha, daun berwarna kuning kehijauan. Bentuknya seperti waru terbalik. Di desa ini terdapat di cabang gua keempat," jelas Om Heri. Aku dan Mary berpandangan. Ini sudah tengah malam, dan kami harus kembali kesana?

***

Cabang pertama dengan ular dan fosil hewan aneh, dan cabang kedua dengan aneka kadal mengerikan sudah terlewati. Kami bertiga melanjutkan ke cabang gua ketiga. Aku, Mary, dan Om Heri, kembali ke sini demi mengambil daun kelinting yang kami butuhkan. "Disini, ada pasir hisap di tengah ruangan. Kita harus hati-hati memilih jalan," Om Heri memimpin. Sepanjang lantai batu yang berupa campuran tanah dan pasir keras, ada beberapa bagian yang kelihatan membahayakan. "Jangan tertipu dengan apa yang kamu lihat, Cha. Ikuti saja langkahku," Sebagai satu-satunya orang yang belum mengetahui medan, aku hanya bisa mengiyakan pelan. "Masih jauh kah?" Aku mulai khawatir bakal jatuh pingsan saking gemetarnya sekujur badanku.  "Sedikiiiit lagi. Semangat Cha!" Om Heri sudah sampai di pintu masuk cabang ketiga. Seratus meter di depanku, Mary melompat-lompat memilih jalan yang tepat. "Tunggu, Mary.. Aku tidak ingat jalan yang.... Aaaaaaaa," Aku tergelincir sebelum sempat menyelesaikan kalimatku. "Icha!" Om Heri dan Mary menatapku ngeri. Jbuusshhhh! Badanku sukses menghempas pasir yang berdenyut-denyut  di bawahku.
 
***

"Jangan banyak bergerak, Cha! Coba tetap tenang dan diam. Mary, kamu lanjutkan perjalanan ke gua keempat, biar Om yang mengurus Icha." perintah Om Heri. Mary segera melesat pergi. Jantungku berdebam-debam keras di telingaku. Tetap diam dan tenang? Bagaimana pula caranya. Pasir di sekitarku seolah menarikku ke bawah, menempatkanku pada posisi yang sangat sulit untuk tetap diam dan tenang. Om Heri menghampiri tanah pijakan terakhir. Kukira ia akan mengulurkan tangan, tapi ternyata ia hanya berdiri diam di sana. Sementara tubuhku perlahan terus tertarik ke bawah seiring tiap gerakan yang kulakukan. Kini tubuh bagian bawahku sebatas pinggang sudah tak terlihat. "Jangan bergerak, Cha.. Jangan goyangkan keras-keras kakimu. Hal itu hanya akan membuatmu terperosok lebih dalam." Jangankan bergerak, saat ini aku pun tak berani mengeluarkan suara atau menggerakkan kepala sedikit pun. Aku tetap diam pada posisi menunduk menghadap pasir yang memakan bagian bawah tubuhku. "Sekarang, coba gerakkan pelaaaaan sekali kedua kakimu agar air dan pasir merembes ke daerah hampa antara kakimu. Dengan begitu pasir akan menggembur. Usahakan kedua kakimu terpisah, gerakkan perlahan dengan tenang dan santai.." Aku mendengar sayup-sayup suara Om Heri seolah dari tempat yang sangat jauh. Badanku yang terbebas dari pasir kini sebatas dada. Dadaku mulai sesak.  "Icha.. Coba luruskan punggungmu untuk memperluas area yang bebas dari pasir. Lalu gerakkan area sekitar kaki lagi perlahan untuk mengendalikan air. Om akan cari tambahan air dulu.” Apa! Itu berarti aku akan ditinggal di sini sendiri? Rasanya aku kehilangan tenaga untuk bertahan. Ingin rasanya kupasrahkan diri untuk tenggelam di pasir ini. Mungkin inilah akhir hidupku.

 ***

"Icha, Icha buka matamu Icha. Icha!" Aku terbatuk. Kepalaku terasa berputar, pandanganku tak fokus. "Wah, leganya.. Dia sudah sadar, Om." Kuedarkan pandang. "Kita.. Dimana?" Kulihat senyum lebar Om Heri. "Kita di depan gua Cha. Icha tidak apa-apa?" Mary membantuku duduk. "Aku tidak apa-apa, cuma agak sesak saja. Tapi kok kita bisa ada di sini?" Mary dan Om Heri berpandangan. "Jadi begini, Cha.. Tadi sewaktu aku kembali setelah mengambil daun yang kita butuhkan, aku lihat Om Heri tidak ada. Kamu sendiri di pasir, seperti kehilangan kesadaran. Aku panik, tapi kuputuskan untuk menunggu di sampingmu. Beberapa saat kemudian, Om Heri datang membawa air, dan menyiramkannya ke sekeliling badanmu. Perlahan, badanmu mulai mengambang di pasir. Begitu sudah naik sepenuhnya, Om Heri menarikmu dan kita keluar. Begitu." Aku tak sanggup berkata-kata. Kupandang wajah mereka berdua penuh haru. Hari ini, berbagai pengalaman luar biasa sudah kualami bersama orang-orang istimewa yang tak kenal menyerah. Kututup mataku puas.

 ***

Aku terbangun. Lagi-lagi, mimpi.

*berdasarkan mimpi yang kualami selama dua hari berturut-turut, 1-2 Februari 2014


Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)