SYUKUR
“Suamiku tuh gak romantis, tahu...” keluhku pada Nana, rekan
kerjaku.
“Gak romantis gimana?” balasnya.
“Ya... gitu. Dia gak pernah bilang hal-hal romantis, gak pernah
memuji penampilan atau masakanku, dan hampir gak pernah ngasih aku hadiah, gak
seperti suami-suami lain.”
Nana mendesah. “Itu wajar, Cha.. Mungkin karena usia pernikahan
kalian yang sudah memasuki tahun kelima. Mungkin juga, baginya itu bukan hal
yang sangat penting lagi saat ini...”
“Tapi Na.. Dari awal kenalan dulu, dia sudah begitu. Gak
pernah berubah.” Aku mendengus kesal. Nana hanya mengangkat bahu.
“Coba dikomunikasikan lagi saja, Cha..”
“Ntar malam kucoba deh,” Malas-malasan kujawab saran Nana.
Customer terus berdatangan. Aku dan Nana kewalahan, menawarkan barang
dan menjawab berbagai pertanyaan. Sejenak aku lupa akan kekesalanku pada Mas
Rio. Ya, Mas Riolah lelaki yang telah menemaniku mengarungi asam manis
kehidupan dalam lima tahun terakhir.
Dulu, ia melamarku tanpa sekali pun aku tahu. Tiba-tiba saja, ia
datang ke rumah dan meminta izin untuk menikahiku. Aku yang saat itu tak mau
ambil pusing dan percaya sepenuhnya pada pilihan orang tua, tanpa pikir panjang
mengiyakan.
Saat akad nikah, itulah awal aku melihat Mas Rio secara langsung.
Tidak terbersit sedikit pun rasa cinta pada awalnya. Hanya kagum, dan hormat.
Atas keseriusannya membina rumah tangga bersamaku.
Bulan mulai naik ke peraduan, seperti rasa sebalku yang memuncak.
Entah kenapa obrolanku dengan Nana pagi tadi kembali menggangguku. Kubulatkan
niat untuk berbicara langsung tentang hal ini pada Mas Rio sepulang kerja
nanti. Aku akan protes, mungkin dengan sedikit emosi dan amarah. Supaya dia
berubah. Ya. Supaya dia lebih baik memperlakukanku. Dan tentu, lebih romantis.
Aku banyak melamun. Customer yang datang
kutanggapi setengah hati. Suasana hatiku betul-betul tidak enak. Kekecewaanku
menumpuk terus sampai ke ubun-ubun.
“Mbak, kalau hape begini artinya kenapa ya?” Seorang ibu setengah
baya membuyarkan lamunanku.
“Itu karena panas baterai menumpuk terus tanpa tempat keluar,
hingga jadi kembung seperti itu, Bu..”
“Terus bagaimana Mbak solusinya?”
“Itu...”
“Cha..!! Cha..!!” Nana memekik pelan sambil menarik lengan atasku.
Spontan aku terhenyak. “Ada apa?”
“Itu, ada orang mencurigakan di motormu!”
Aku menoleh kaget. Sesosok lelaki berjaket dan bermasker hitam
tampak merogoh sesuatu dari laci motorku. Aku terbangun seketika.
Tanpa sempat memikirkan apa-apa, aku berlari meninggalkan customer yang
kebingungan di depanku. Aku teringat saat temanku kehilangan motor dengan modus
tembak, saat diparkir depan pertokoan, seperti saat ini. Tak kupedulikan
tatapan heran semua orang di sekitar. Yang kupikirkan hanya satu. Motor hasil
tabunganku dan Mas Rio selama ini.
Sesampai di lapangan parkir, tak kudapati sosok mencurigakan tadi.
Herannya, motorku masih di tempatnya semula. Tak berpindah, tergores, atau apa.
Kulayangkan pandang ke sekitar. Beberapa ratus meter di
depanku, lelaki berjaket hitam itu terlihat berjalan tergesa-gesa.
Wajahnya tak tampak.
Kukejar sosok itu.
“Hei! Siapa itu?!” Ngos-ngosan aku berlari mengejarnya.
Kepalaku penuh dengan rasa khawatir, curiga, sebal, marah, lelah,
campur aduk menjadi satu. Dadaku sesak. Aku baru ingat, belum sarapan sejak
tadi pagi. Langkah kakiku melambat.
Aku kehilangan jejak.
Terduduk aku di pinggir trotoar. Kuluruskan kaki. Sejenak aku tak
peduli semua. Hanya heran. Sudah geram, lapar, lelah, segala pikiran berkecamuk
di benakku.
Bagai pejuang kalah perang, aku bangkit. Terhuyung kembali ke
ruanganku.
Saat melintasi lapangan parkir, kulirik motor yang terparkir rapi.
Tampak ada yang berbeda. Aku ragu untuk beranjak.
Kuperhatikan lebih detail. Ada sebungkus hitam di gantungan dekat
laci. Ragu kuambil dan kubuka. Ada bungkusan di dalam bungkusan. Sungguh
membingungkan. Kubolak-balik bungkusan di tanganku. Selembar kertas tipis
melayang. Sigap kutangkap. Ada tulisan di atasnya.
‘Selamat ulang tahun, Bunda... 9 Oktober 2014’
Ulang tahun??? Aku akhirnya tersadar. Jadi, sikap cuek Mas Rio
beberapa hari ini, karena menyiapkan kado surprise untukku
ini? Itukah mengapa ia sering mengunci diri di kamar kerja dan tidak mau
diganggu?
Aku tergugu. Menyesal, sungguh menyesal. Selama ini aku berburuk
sangka pada Mas Rio, suamiku sendiri. Yang selalu memenuhi segala kebutuhanku,
mengabulkan keinginanku, dan memaafkan kesalahanku.
Dan yang kuperhatikan hanya kesalahan dan kekurangannya. Padahal
jika saja aku mau bersyukur, pasti banyak perempuan lain yang sangat ingin
berada di posisiku, memiliki suami sesempurna, seideal, dan sesetia Mas Rio.
Aku segera kembali ke ruangan, mengambil tas, dan berpamitan pada
staff lain.
Nana menahanku, “Mau kemana, Cha?”
Aku tersenyum simpul.
“Aku harus pulang, Na. Ada yang menungguku di rumah,” Kukedipkan
mata.
Komentar