BULLYING

Dulu aku bersekolah di sebuah lembaga pendidikan yang bisa dibilang bertaraf internasional. Siswa-siswinya berasal dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia. Dan aku salah satunya.

Awalnya sangat menyenangkan memang, mengenal banyak orang dari mana-mana. Pergaulan luas dan tukar pikiran tak terbatas membuatku amat betah di sana. Tapi perlu digarisbawahi, awalnya.

Mengapa demikian? Sebab pada tahun ketiga dan keempat, aku mulai mengenal arti kata penindasan. Ya, penindasan, atau lebih keren sekarang dengan sebutan bullying. Baiklah, untuk lebih up to date dan ngetren, kita sebut saja bullying mulai sekarang.

Menurut Wikipedia, bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Biasanya perilaku ini dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa memiliki kekuasaan lebih dari lainnya, dan kemudian, merasa berhak melakukannya. Uniknya, pada kasus bullying yang kutemui, atau lebih mantapnya, kualami sendiri, pelaku biasanya tak sendiri. Entah berdua, bertiga, atau lebih, mereka bersama menjatuhkan targetnya.

Banyak macam bullying ini. Mulai dari ‘sekedar’ pandangan sinis, penghinaan, pelecehan, pengucilan, ancaman, sampai main tangan. Kalau dalam konteks sekarang sih, makin banyak orang yang berani melakukan bullying sendiri, bila menggunakan media cyber. Lewat tulisan di dunia maya, mereka mengungkapkan ocehan tanpa takut resiko, meski kadang lempar batu sembunyi tangan dengan membuat akun kloningan. Yah, melakukan bullying sendirian memang tak mudah sepertinya.

Kembali ke ‘pengalaman’ masa SMA, kalau aku tak salah ingat, semua itu berawal dari keikutsertaanku di sebuah perlombaan, dan keberhasilan meraih kejuaraan. Padahal lawanku adalah kakak-kakak kelas yang ‘menurut mereka seharusnya’ lebih pantas menang. Sejak itu, aku yang polos unyu tak berdaya ini jadi merasakan kerasnya kehidupan.

Kakak-kakak kelas yang ‘terhormat’ itu mulai memperhatikanku, dus, menemukan banyak kekurangan dan kesalahanku. Mereka memulai dengan sindiran-sindiran kecil ‘tak berdosa’ yang awalnya tak kusadari, dilanjutkan dengan cemoohan-cemoohan langsung yang menyakitkan. Tak cukup itu saja, mereka juga mula menyebarkan aura kebencian untukku pada semua orang. Singkat kata, aku tiba-tiba jadi terkenal karena keburukan dan kekurangan.

Hmm... apalagi ya? Oh iya, yang ‘agak sedikit’ lebih menyakitkan lagi adalah angkatanku alias teman-teman sepantaran di sana yang tadinya mengelu-elukan kemenanganku, kini berpindah haluan. Seingatku, angkatanku memang bukan angkatan yang kuat. Mereka, atau kami lebih tepatnya, memang biasa ditindas. Maka, untuk ambil amannya, bagi angkatanku waktu itu, menyeberang ke pihak yang lebih kuat adalah salah satu solusi.

Dengan demikian, penindasan yang tadinya dimulai oleh para kakak kelas, selanjutnya makin meluas. Teman-teman sekelas, se-asrama, dan para guru mulai melihatku dengan pandangan berbeda. Aku yang saat itu masih remaja, mulai tak terima. Aku berontak. Bodohnya, pemberontakanku makin mengiyakan pandangan buruk mereka terhadapku.

Maka, aku perlahan berhenti tersenyum. Berhenti tertawa. Berhenti percaya. Sebab aku sering mendengar orang-orang membicarakanku di belakang, bahkan di sampingku. Dan itu bukan tentang hal yang baik-baik. Dan itu perlahan menjadikanku trauma.

Mungkin bila waktu aku membawa diri ke psikiater dan semacamnya, ia akan meresepkanku obat orang setengah gila. Sebab hampir tiap malam, aku tak bisa tidur nyenyak. Bila ada yang menyebut namaku, aku akan tersadar seketika meski telah terlelap sebelumnya. Aku tersiksa. Dan aku sama sekali tidak betah di sana.

Tapi, semua keresahan itu hanya ada dalam pikiran. Sebab, waktu itu, aku berpikir untuk menolak kalah. Dalam pandangan remajaku yang tak tahu apa-apa, kalah adalah tampak lemah. Jadi aku berpura-pura kuat. Berpura-pura tak terjadi apa-apa. Berpura-pura tetap aktif dan bahagia. Ikut lomba-lomba, tetap bergaul bersama satu dua teman dan lain sebagainya meski berhenti percaya. Sebab kadang, ‘teman’ yang baru saja bersama denganku, kutemukan sendiri membicarakan keburukanku di belakang. Sungguh menyakitkan.

Lama aku seperti itu. Berbagai pemberontakan sudah kulakukan. Kadang berhenti bersikap sopan. Kadang melanggar peraturan. Semua itu kulakukan hanya demi membuktikan aku bukan anak yang bisa ditindas dan diinjak-injak begitu saja. Aku jadi makin kasar, tak lagi diam mendengar cacian.

Namun jauh di lubuk hati terdalam, aku lelah. Aku ingin kembali ke masa aku hanya anak biasa yang tertawa menangis bersama yang lainnya. Saat tak banyak yang mengenalku, dan semua adalah kawan, bukan lawan.

Meski sampai beberapa tahun kemudian, tak ada yang berubah. Aku tak mencoba menyadarkan mereka dan malah menutup diri, dan mereka tak mencoba mendekatiku yang bagai dikelilingi jeruji besi. Justru terus memaki dan mencaci. Beberapa meninggalkanku sendiri atau sekedar mendiamkan diri, tak ingin ikut campur dalam lingkaran permasalahanku. Aku sungguh merasa sepi.

Huuffftt.. Bullying itu sangaaaat menyakitkan. Dan parahnya lagi, meninggalkan efek yang kadang semi permanen dalam diri korban. Entah para pelaku sadar atau tidak, apa yang waktu itu hanya permainan atau candaan bagi mereka, telah mengukirkan satu kenangan menyakitkan yang amat sulit dihapuskan.

Aku sungguh berharap, dari lubuk hati terdalam, agar segala jenis bullying segera dihentikan, terutama di sekolahku itu. Hingga tak ada lagi korban-korban ataupun calon korban yang akan merasa kesakitan, sendirian, dan ditinggalkan. Sepertiku kala itu.

NB: Menulis tentang ini sama sekali tak mudah. Bagai membuka luka lama yang tak sembuh-sembuh juga. Tapi sudahlah. Dunia mungkin perlu tahu kebenarannya dari sudut pandangku. Meski mengingat hal ini menimbulkan rasa sakit yang liat, terlebih karena saat itu aku berpura-pura kuat. Hhh.. Semoga ini hanya akan menjadi kenangan masa silam dan takkan terulang. Please, stop bullying!

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)