IBU

-
Jakarta, 20 Maret 2003.
Ibuku gak keren. Super duper gak keren. Dia selalu aja menyalahkanku. Bilang ini itu, aku bosen dengernya. Aku pengen punya ibu kayak yang lainnya. Yang ngerti bahasa Inggris dan gak pernah marah.

Jakarta, 23 Maret 2003.
Hari ini ibuku marah-marah lagi. Katanya aku malas lah. Cengeng lah. Hhh.. ada saja deh ibuku tuh. Gak liat apa, anak lainnya. Aku tuh kurang apa. Udah cakep, pinter, gak pernah foya-foya. Tapi tetep aja marah-marah. Gak capek apa.

Jakarta, 24 Maret 2003.
Baru kemarin marah, hari ini ibu ngusir aku dari rumah. Sambil nangis-nangis lagi. Gara-gara aku bilang, bakal aku ganti semua biaya yang ibu keluarin untuk ngidupin dan nyekolahin aku selama ini. Lagian aku tuh g pernah sempurna di mata ibu. Ada aja salahku. Sebel banget tauk. Ya udah aku pergi aja, nginep di pinggir jalan tengah kota.

Jakarta, 26 Maret 2003.
Aku mau pergi aja. Gak betah di sini. Pergi jauh dan g usah kembali. Biar aja ibu sendiri. Lagian, ibu sama aku tuh gak pernah cocok. Ada aja masalahnya. Gak kayak aku sama temen-temenku. Bisa curhat apa aja, gak pake sakit hati dan marah-marah.

***

Aku tersenyum simpul. Sepuluh tahun telah berlalu. Namun buku harian masa remajaku masih ada. Ibu yang menyimpannya.
“Hahaha... Maaf ya bu.. Ibu pasti sakit hati ya baca curhatanku di buku ini..” Kupeluk ibuku erat, sambil merangkai jemarinya yang menua.
‘Enggak, Cha. Enggak sama sekali. Ibu malah senang, ibu jadi tahu dulu ibu seperti apa di matamu,” Ibuku kelihatan bahagia.
Teras ini jadi saksi, betapa ibuku yang jelita kini telah jauh berubah. Suaranya yang dulu tegas mengingatkanku untuk belajar dan bersih-bersih rumah, kini agak melemah. Satu yang tetap sama. Tubuhnya yang hangat dan menenangkan.
Ibu menghela napas. “Lagipula, sejak bapakmu gak ada, ibu selalu kesepian. Buku harianmu itulah yang menemani hari-hari ibu. Membaca kenangan masa lalu dari pandanganmu membuat ibu merasa muda. Juga mengingatkan ibu untuk selalu bersyukur atas segalanya...”
Sejenak pandangan ibu menerawang, “Dulu, ibu sering mengeluh atas sikap bapakmu. Sering marah, kurang pengertian, dan gak romantis. Tapi sekarang, ibu rindu....”
Aku berdiri, pindah bersimpuh di dekat kaki ibu. “Biar kubacakan buku harianku lagi ya Bu..” Aku tak ingin ibu terlarut dalam kenangannya.

***

Jakarta, 15 Agustus 1998.
Bapak ibu bertengkar lagi. Gak tahu kenapa lagi kali ini. Aku sebel banget deh. Mereka tuh, dikit-dikit ngambekan dikit-dikit marahan. Kenapa dulu bisa nikah ya?

Jakarta, 17 Agustus 1998.
Ibu lupa masak nasi. Udah masak sih, sebenernya. Tapi lupa nge-klik tombolnya, jadi gak mateng deh. Trus bapak marah-marah lagi. Ibu sedih, trus suasana jadi gak enak. Lagi lagi lagi lagi. Hhhhh....

Jakarta, 18 Agustus 1998.
Apa gara-gara aku ya, mereka bertengkar terus. Aku kurang pinter, kurang berprestasi, kurang cantik. Aku harus belajar lebih giat lagi. Biar bapak ibu gak marahan terus....

Jakarta, 25 Agustus 1998.
Sudah seminggu bapak ibu gak marahan. Aku seneeng banget. Aku harus selalu ranking 1 biar mereka terus kayak gitu. Aku juga mau ikut lomba-lomba banyaknya biar mereka senang dan gak bakal bertengkar lagi selama-lamanya.

***

Aku ingat masa-masa itu. Menganggap pertengkaran orang tua adalah kesalahanku.
“Ibu kira kamu rajin sekali belajar dulu karena kamu suka, Cha..” Aku menoleh.
“Aku suka belajar, Bu.. Tapi memang, motivasiku waktu itu adalah demi bapak dan ibu..” Saat yang cukup berat bagiku. Pernah aku tak tidur beberapa malam selama ujian, demi meraih hasil sempurna.
Ibu menepuk punggungku halus. “Ibu bangga padamu, Cha.. Kamu selalu ranking 1, menang lomba ini itu.. Ibu yakin bapak juga bangga sekali sama kamu.”
Lagi, kupeluk Ibu. “Aku tahu, Bu..”
Location: Bondowoso, Kec. Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia

Komentar

Posting Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

-
Sungguh nama yang indah. Merupakan nama lain dari bunga teratai yang berarti kesucian, keindahan, dan kelahiran kembali. Wah, pas sekali, sekeluarnya aku setelah 24 jam berada di sana, dunia seketika berubah di mataku. Aku jadi punya tujuan hidup, yaitu mengubah banyak hal di dunia, terutama untuk anak-anak dan orang-orang dengan gangguan jiwa. Sudah bertahun-tahun tak berhasil merubah diriku, orang tuaku, mertuaku, suamiku, aku baru sadar bahwa manusia mustahil berubah kecuali ada usaha keras dan tekad kuat dari dalam dirinya. Akhirnya aku memutuskan melakukan apa yang aku bisa dengan kondisi fisik yang tidak prima, yaitu menulis. Akan kutulis semua kenangan, kejadian, pengetahuan, atau apapun yang terlintas di kepala, dan mengunggahnya ke dunia maya, agar tersimpan selamanya. Kalaupun aku tak hidup cukup lama untuk melihat semuanya, semoga suatu saat, tulisanku akan berguna. Pertama, akan kuceritakan momen traumatis yang kualami selama di Seroja. Lalu kedua, akan kulanjutkan deng...
Selengkapnya »

GELAP

-
Icha menatap langit-langit kamar yang berwarna kelabu. Bukan karena catnya, tapi karena dinding itu sudah lama kehilangan cahaya. Tirai tebal menutup rapat jendela, membiarkan debu menumpuk di setiap sudut ruangan. Kamar itu menjadi dunianya—penjara tanpa jeruji, tetapi penuh ketakutan yang tak kasat mata. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melangkah keluar. Semuanya dimulai dengan perasaan lelah yang tak kunjung hilang. Lalu, perlahan, dunia di luar terasa seperti monster yang siap menerkam. Ponsel yang dulu menjadi penghubungnya dengan teman-teman kini teronggok mati di laci meja. Semua kontak dan aplikasi telah ia hapus. Icha takut akan pesan, takut akan suara dering, bahkan takut akan cahaya layar yang menyilaukan. Setiap malam, mimpi buruk datang tanpa undangan. Wajah-wajah asing dengan tatapan menghakimi, ruangan gelap tanpa pintu keluar, dan jeritan tanpa suara. Icha sering terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin, jantung berdegup seperti genderang perang. Ia ...
Selengkapnya »

SURAT (3)

-
Kepada kalian yang kusebut rumah, kadang aku ingin pergi. Bukan karena tidak sayang, tapi karena aku terlalu sering merasa tak cukup di tempat yang kuharap menerimaku apa adanya. Aku sungguh mencoba jadi baik. Menunda keinginan, mengorbankan waktu, mengubur mimpi—agar kalian bahagia. Tapi tetap saja aku salah. Selalu saja ada yang kurang. Tidak, aku tak butuh pujian setinggi langit. Aku hanya ingin sesekali mendengar: “Terima kasih, kamu sudah berjuang.” Tapi kalimat itu nyaris tak pernah datang. Seringnya justru keluhan, tuntutan, dan kekecewaan yang mengikis perlahan. Jadi, jika suatu hari aku memilih diam, atau pergi sejenak tanpa kabar— itu bukan karena aku membenci. Itu karena aku terlalu lama menahan diri untuk tetap kuat, dan berdiri tegak di hadapan kalian. Aku masih mencintai kalian. Tapi aku juga sedang belajar mencintai diriku. Dan kadang, itu berarti pergi dulu… agar aku tidak hilang, dalam upaya membahagiakan semua orang, kecuali diriku sendiri.
Selengkapnya »