JANJI
Aku melihatnya dari kejauhan. Perempuan muda dengan mata sembab itu. Ia
tercenung di pojok ruko. Pandangnya nanar, menatap jauh ke depan. Tak yakin apa
yang sedang ia pikirkan.
Lama memandanginya, kuputuskan untuk mendekat. “Meong....” sapaku pelan
sambil bersiap melarikan diri. Siapa tahu ia sama seperti kebanyakan orang di
sekitar sini. Yang tak mengerti artinya mengasihi sesama makhluk, dan cuma bisa
dengan semena-mena mengusir bangsaku pergi.
Pelan, ia menoleh. Sejenak ia
menatapku. Tak kusangka, ia menghampiriku. “Puss...” katanya. “Kamu lapar
ya...” Suaranya serak. Matanya juga kelihatan lebih bengkak dilihat dari dekat.
“Meong....” jawabku mengiyakan. Ia spontan mengelusku. “Maaf pus... aku tidak bawa makanan...” Ia tampak sungguh menyesal.
Kudekatkan diri padanya. “Meong...” Kuusapkan diriku ke roknya yang lebar.
‘Tidak apa-apa,’ batinku. Aku makin penasaran padanya. Siapa dia? Dan kenapa ia
di sini sendiri seperti ini?
Seperti mengetahui apa yang kupikirkan, ia berucap, “Kamu lucu sekali,
pus... Mengingatkanku pada Piyo, kucingku yang malang. Ia baru saja meninggal,
dan kukuburkan. Semoga kamu tidak seperti dia ya... Sehat selalu ya kucing
lucu...” Buliran air mata menetes di pipinya.
Aku pun melompat ke pangkuannya. Aku tak tahu kenapa, tapi aku seperti ikut
merasakan kesedihannya. Satu yang kuinginkan sekarang, menghiburnya.
Ia tampak senang. Ia mengelusku sayang, dengan telapak kanannya yang
sedikit kasar. Aku makin membenamkan diri di pelukannya. Tak lupa kukeluarkan
senjata andalanku untuk menghibur para manusia. Dengkuran.
Sekonyong-konyong, ia memelukku erat. Aku kesulitan bernapas, tapi kutahan.
Sebentar kemudian, ia melepasku, lalu menggendongku ke dekat wajahnya. “Siapa
pemilikmu, kucing lucu? Kenapa kamu seolah mengerti keadaanku dan menghiburku?
Terima kasih, puss...”
Matanya yang sembab berbinar terang. Ia pun berdiri, sembari mengangkatku
ke gendongannya. “Pak, Bapak tahu ini kucing siapa?” tanyanya pada tukang
parkir di pinggir jalan.
“Coba tanya ke toko itu, Mbak, biasanya ada di sana,” saran sang bapak.
“Terima kasih banyak, Pak...” Ia bergegas membawaku ke arah yang ditunjuk.
“Assalamualaikum... Loh, Nina?” Perempuan itu sepertinya kenal dengan
penjaga toko di depannya.
“Hai, Icha! Wah, ada apa?” Rupanya mereka berteman.
“Kamu kerja di sini? Wah kebetulan aku mau tanya, ini kucing siapa ya? Aku
lihat di depan tadi..”
“Oh.. Itu. Tidak ada yang punya, Cha. Sudah beberapa hari ini keliaran di
sekitar sini, sempat kami beri makan sesekali, tapi.. kalau kamu mau, bawa saja.”
Aku mengeong, tanda setuju. Tak ada salahnya tinggal bersama perempuan
bermata sembab ini, apalagi dia baru kehilangan kucingnya. Siapa tahu aku bisa
membantunya menghilangkan kesedihannya.
“Serius, Nin??? Aku mau. Mau banget!” Perempuan itu melonjak-lonjak bahagia.
Aku menggeliat protes. Apa dia lupa kalau aku masih ada di gendongannya.
Menyebalkan.
“Haha.. Maaf kucing lucu.. mmm.. mulai sekarang, namamu... Wol. Ya, Wol.
Sebab bulumu pendek dan tebal, seperti kain wol...” Tak henti-hentinya ia
menyerocos. Aku tak ambil pusing. Jadi, setelah ini, aku akan pindah dari sini?
“Nina.. makasih ya... Aku bawa dulu Wol-nya.. Assalamualaikum..” Amat
berbeda dengan keadaannya tadi, saat ini perempuan itu, oh iya, Icha namanya,
bergerak penuh semangat. Ia kembali membawaku di lengannya yang hangat. Aku
meringkuk nyaman di sana. Aku tertidur.
Saat aku bangun, daerah di sekitarku tampak asing. Aku menggeliat pelan,
lalu kuputuskan untuk berkeliling.
“Wol.. Sudah bangun?” Icha menghampiku. Di tangannya semangkuk daging. Aku
melompat ke dekatnya. Wah, ayam! Sudah lama aku ingin makan itu, tapi tak
seorangpun memberikannya padaku. Asyik! Sepertinya aku akan betah di sini.
Icha meletakkan mangkuk itu di dekatku, lalu ditunjukkannya padaku tempat
minum dan buang airku. Semua di dalam rumah. Wah, nyaman sekali.
Sorenya, Icha mempersilahkanku keluar rumah sambil mengelusku dan berpesan,
“Jangan lupa pulang, ya Wol.. Nanti kalau bingung, aku jemput. Jangan main
jauh-jauh ya..”
Aku berlari kencang, merasakan hembusan angin di tubuhku. Kurasakan nuansa
baru di sekitarku. Bau-bauan, orang lalu lalang, pemandangan. Tempat ini cukup
menyenangkan.
“Wah, ada kucing. Baru kayaknya, ya. Belum pernah lihat,” segerombolan anak
kecil menunjuk-nunjukku. Perasaanku tak tenang. Sepertinya mereka tidak
bermaksud baik.
Tiba-tiba seorang anak mengagetkanku, aku menghindar namun seorang anak
lain sigap menangkapku. Aku meronta. Tapi dia sungguh kuat. Mereka
tertawa-tawa. Jahat sekali. Icha di mana saat ini? Aku mulai menangis.
Mereka membawaku paksa. Tangisan dan rontaanku tak sedikitpun menyurutkan
niat mereka. Cukup jauh, mereka berhenti. Lalu dengan kasar, mereka melemparku.
Aku tak sempat bersiap, tubuhku jatuh berdebum. Cipratan air sekejap
membutakanku. Kucium bau busuk. Wuueghh. Sungguh menjijikkan. Rupanya mereka
membuangku ke selokan dalam dan kotor entah di mana. Samar-samar kudengar mereka pergi
sambil tertawa.
Aku berusaha melompat, meloloskan diri dari tempat jorok ini. Tapi sudut
itu terlalu tinggi, seberapapun aku mencoba. Aku marah, jijik, dan sebal pada
diriku sendiri. Kenapa aku tidak lari lebih cepat tadi? Saat ini, aku sungguh
berharap, Icha datang kesini segera, menyelamatkanku.
Lama termenung memikirkan cara keluar, tiba-tiba aku dapat ide. Saluran ini
tampak tak berujung. Mungkinkah ini menuju daerah tempat Icha tinggal? Tak ada
salahnya kucoba. Lagipula, aku tak mungkin diam di sini begitu saja.
Kususuri lorong gelap dan pengap itu, dengan badanku yang terasa sangat
berat dan bau. Aku basah kuyup, dilingkupi cairan hitam berbau busuk yang
sebagian juga menutupi pandangku. Tapi aku harus berusaha. Aku yakin, Icha
pasti sangat khawatir sekarang. Mungkin bahkan ia menangis lagi seperti tadi.
Aku tak tega membayangkannya.
Lama sudah aku berjalan, namun tak kunjung kutemukan jalan. Aku mulai putus
asa. Rasa-rasanya, sudah seharian aku di sini, tanpa makan dan minum. Badanku
lemas, sendi-sendiku terasa sakit. Aku memejamkan mata. Sudahlah, mungkin
sampai di sini saja. Maaf, Icha.
Aku seperti bermimpi. Aku berada di sebuah lorong tanpa ujung. Mataku
silau. Aku ada di mana?
“Wol...” suara lirih mengagetkanku. Suara itu mengingatkanku pada Icha.
Betulkah itu suaranya, atau hanya imajinasiku saja?
“Wol.... kamu di mana?” suara itu basah. Aku yakin sekarang, itu Icha.
Perlahan aku bangkit, meski seluruh badanku seperti protes. Aku mengeong,
suaraku tak keluar. Aku tak punya energi untuk menjawab panggilannya.
“Wol...” suara itu makin menjauh. Ah, ini tidak bisa dibiarkan. Dia akan
kehilanganku bila begini. Kupaksa diri berjalan ke arah suara Icha. “Meeeoong...”
sisa-sisa tenagaku kukeluarkan. Berulang kali kupanggil Icha. Semoga ia
mendengarnya.
“Wol?” suara itu terasa dekat.
“Meong..”
“Kamu di mana?” “Meong...” aku kehabisan energi. Tak sadar lagi, aku
terduduk. Aku sungguh lelah.
“Pak, tolong, Pak.. Tolong bukakan pintu selokan ini pak, sepertinya kucing
saya di dalam..” suara panik Icha samar-samar terdengar.
Tak lama, cahaya menyilaukan membutakanku. Sepasang tangan hangat meraihku.
Ah, ini Icha. Leganya, apa benar aku selamat?
“Wol.. Ya Allah, Wol.. kamu kenapa sayang? Kenapa bisa begini? Ayo
pulang...”
Butiran-butiran air membasahi wajahku. Kupikir itu hujan, tapi saat kubuka
mata, hmm.. Icha menangis lagi rupanya. Aku mengeong pelan.
Icha berlari membawaku. Tak dipedulikannya badanku yang basah menghitam,
dan sangat bau. Sesampai di rumah, ia menyekaku. Pelan-pelan dibersihkannya
seluruh tubuhku, lalu dikeringkan. Aku merasa sangat baikan. Aku juga lapar,
tapi kakiku tak mau diajak kompromi. Aku tak kuat berdiri.
Icha sejenak pergi, lalu kembali dan meletakkanku di pangkuannya. Pelan ia
menyuapiku, entah dengan apa. Rasanya hangat, dan lezat. Tak berapa lama, aku
jatuh tertidur.
Sayup-sayup kubuka mataku yang berat.
Aku mencoba berjalan, ah, kekuatanku sudah kembali. Mulai kukelilingi
rumah, mencari Icha.
“Ya, Allah.. Mohon selamatkanlah Wol.. Ampuni hamba yang gagal menjaganya,
ya Allah. Berikanlah Wol kesembuhan dan kesehatan... Hamba tidak ingin
lagi-lagi kehilangan...” suara lirih bercampur isak tangis terdengar.
Kulangkahkan kaki kesana.
Icha, mengenakan mukena putih, duduk bersimpuh di atas sajadah merahnya. Ia terus
berdoa sambil menangis tak henti-henti. Ya Allah, betapa mulianya hati
perempuan ini. Aku janji, aku akan berusaha kembali sehat. Aku akan
menemaninya, bermain dengannya, dan membantu menghilangkan kesedihannya.
Terima kasih Ya, Allah, sudah mempertemukanku dengannya.
Komentar