KEHILANGAN
Sejujurnya, aku bukan seorang yang penyayang. Aku pemarah,
temperamen, dan tidak sabaran. Tapi entah mengapa, suatu saat di bulan Mei, aku
terdetik untuk memelihara seekor hewan lucu, entah kucing atau kelinci. Tapi aku
sama sekali tak tahu caranya, hanya berharap saja dalam hati.
Eh, tiba-tiba saat ke ATM seperti biasa, seekor kucing menarik perhatianku.
Ia kurus, tak terawat, tampak lapar dan kedinginan. Spontan aku tergerak (entah
apa yang menarikku) untuk memeluknya penuh iba. Aku terkaget sendiri, biasanya
aku paling enggan menyentuh benda jalanan yang tak familiar, apalagi bila
tampak kotor. Tapi kali ini, begitu kuelus kepalanya, dan mendengarnya
mengeong, hatiku seketika mencelos. Aku jatuh cinta. Untuk pertama kalinya.
Tak berapa lama, kuputuskan untuk memberinya makan. Aku pergi ke pasar yang
tak jauh dari sana. Kubeli beberapa potong ikan, dan bergegas kembali untuk
menyuapinya.
Apa daya, saat aku kembali, tak kudapati anak kucing itu. Ia lenyap entah
kemana. Bunga-bunga dalam hatiku tadi langsung hilang tak bersisa. Aku kecewa.
Lama terduduk di tepi jalan menantinya, aku menyerah. Mungkin bukan saatnya
aku dan anak kucing itu bersua. Aku memilih pergi ke destinasiku selanjutnya. Namun
begitu, dalam hati aku bertekad, bila sempat menemukannya lagi, takkan
kubiarkan ia pergi dari sisiku. Takkan meski sekejap.
Sepulang dari perjalanan, kulewati jalan yang sama. Jalan tempatku
menemukannya. Aku terkesiap. Ia ada disana, mengendus-ngendus dengan hidung
mungilnya. Langsung aku berhenti, dan tak tunggu lama, kubawa ia ke pelukanku. Dengan
nekat, kugulung ia dengan jaketku dan kubawa pulang. Hah, sungguh tanpa pikir
panjang. Bukan aku yang biasa sama sekali.
Hari pertama denganku, ia sangat mudah beradaptasi. Tak pernah pergi
melebihi batas rumahku, dan selalu masuk rumah bila kucari. Amat beradab. Tak kusangka
memelihara anak kucing semudah ini. Satu hal yang belum kusadari saat itu, ia
tak makan banyak. Dan aku tak peduli padanya lagi bila malam menjelang dan
kantuk menyerang. Kupikir itu biasa. Aku tidur di kasurku, meninggalkannya
sendiri. Karena ia (selanjutnya kunamai ia Piyo) tak sekalipun protes apapun
yang kulakukan untuknya, aku menganggap tak ada masalah. Hingga hari kelima
tiba, aku mulai sadar ada yang salah dengannya. Ia tampak lemah, kedinginan,
tak berdaya. Meski masih mengeong seperti biasa, dan masih bergelung di
tanganku sesering yang ia bisa.
Aku berniat untuk membawanya berobat. Ya, tepat hari Jumat. Namun, sebuah
panggilan menanti. Memintaku jadi juri di sebuah kompetisi. Aku akhirnya pergi
meninggalkannya di rumah sendiri. Sebelum berangkat, seorang tetangga
menghampiriku dan bertanya, “Mbak, bolehkah saya menitipkan sanak saudara saya
di rumah Mbak untuk beberapa hari saja?” Kupikir itu bukan masalah besar,
segera kuiyakan. Aku memang tinggal sendirian, dan ada cukup ruang di rumah
untuk menampung semua orang.
Sesampai di Malang, entah kenapa perasaanku tak tenang. Selalu Piyo dan
rumah yang kupikirkan. Sayangnya, dengan segala kekhawatiran itu, aku masih
harus mengalami dilema khas anak negeri yang tak kunjung terobati. Ngaret. Ya,
ngaret. Meski aku berangkat pagi, namun tak kunjung beberapa jam harus
terlewati karena acara tak sesuai rencana. Seperti biasa, bagi mereka.
Akhirnya, ketika matahari sudah lewat di atas kepala, aku baru bisa pulang
ke rumah. Segera kupacu motor kesayanganku secepat yang kubisa. Pikiranku tak
tenang, sungguh tak tenang.
Sesampai di rumah, aku tergeragap. Rumahku ramai bagai pasar. Motor, orang
dewasa, anak kecil dimana-mana. Semua bersuara, entah mengobrol, bermain, atau
tertawa. Aku yang tak bisa beradaptasi dengan mudah di keramaian, merasa agak
terancam. Sesaat naluriku berkata untuk pergi saja. Tapi dengan Piyo di
pikiranku, kusegerakan masuk ke rumah dan mencarinya.
Maka rasa kaget bukan kepalanglah yang menghantamku, saat kulihat Piyo tak
ada dimana-mana. Pun tidak di tempat kesayangannya. Makanan dan minumannya pun
tak ada. Semua kacau balau tak karuan. Aku mulai meradang.
Kucari seantero rumah, satu demi satu. Dan saat kubuka pintu kamar itu,
yang masih meninggalkan trauma hingga saat ini, kulihat ia lemas di satu sisi. Kotoran
memenuhi kamar, di tempat-tempat yang tak sewajarnya. Tentu saja, sebab kotak
pasir tempatnya biasa membuang hajat pun tak ada. Ia lemas, linglung,
pandangannya tak fokus, bahkan ia tak mengenaliku!
Segera kubawa ia ke tempat sepi, meski tak satupun sudut di rumahku lengang
saat itu. Kupeluk ia, kubisikkan kata-kata menenangkan, baginya dan untuk
diriku. Ia akhirnya sadar, bahwa aku telah tiba. Beribu kali kusampaikan maafku
karena telah meninggalkannya. Di tengah semua kekacauan itu. Meninggalkannya di
tengah orang-orang yang entah memikirkan apa hingga tega menguncinya seharian di
dalam kamar tanpa makanan, minuman, dan lainnya. Bahkan kudengar dari gelak
tawa mereka di kejauhan, bahwa anak-anak kecil tadi bergantian memainkannya,
entah bagaimana. Kepalaku pusing, berdesing bagai gasing. Amarahku memuncak
hingga tenggorokan. Air mata panas membasahi pipiku. Sementara Piyo, hanya diam
di pelukanku sambil memejamkan mata.
Singkat cerita, sejak kejadian itu, kesehatan Piyo menurun drastis. Ia tak
lagi punya energi untuk bermain seperti biasanya, tak mau makan dan minum. Sementara
rumahku masih dipenuhi berbagai macam orang yang lalu lalang, aku dan Piyo
menghadapi rasa sakitnya berdua. Oh, tidak. Bertiga dengan rasa bersalahku yang
tak kunjung reda.
Dan, suatu hari di pertengahan akhir bulan Mei, Piyo pun menghembuskan
napas terakhirnya. Aku bangga sekali padanya, karena ia berjuang keras sebelum
pergi. Dan aku sama sekali tak bangga pada diriku, yang dengan sembrono menempatkannya
pada keadaan itu.
Sesaat setelah ia menutup mata untuk selamanya, aku tak bisa berkata
apa-apa. Seluruh inderaku bagai tak berfungsi lagi. Aku masih tak percaya, secepat
ini ia tiada. Berbagai pikiran berkelebat. Andaikan saja aku tak membawanya
dari tempat aku menemukannya. Andai saja aku membawanya berobat lebih awal. Andai
saja aku menjaganya lebih baik. Begitu banyak andai-andai yang berseliweran.
Lalu tak dinyana, aku mulai meneteskan air mata. Menetes, dan terus
menetes. Tak bisa berhenti, sampai aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku menangis
seperti yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Kesedihan, penyesalan, dan rasa
sakit memenuhi rongga-rongga kepala dan dadaku. Leherku rasanya tercekik. Aku tak
bisa bernapas. Dadaku sesak, tangan dan kakiku mati rasa.
Seluruh badanku sakit, rasanya aku ingin menghilang saja.
Teman-temanku bertanya, kenapa anak kucing mati membuatku sampai seperti
ini. Aku tak tahu, sungguh tak tahu kenapa. Pun aku tak bisa menjawab
pertanyaan mereka. Aku hanya disana, ada di antara mereka tapi tak sadar
apa-apa.
Hingga tiba saatnya menguburkan jasad Piyo, aku berusaha menahan segenap
air mata yang sudah tumpah ruah tak tahu berapa lama. Kugali kuburannya, dan
kuletakkan ia perlahan. Badannya dingin, matanya terpejam. Tubuh yang biasanya
hangat bergelung di kaki atau tanganku, kini terasa kosong. Jiwanya memang
telah pergi, entah kemana. Aku tersadar, jadi beginilah aku nanti saat mati. Badanku
di sini, tampak dan bisa disentuh, tapi aku telah pergi. Setetes air mata kembali
mengalir di pipi.
Komentar