SALAH
Sejak kecil, aku hobi bermimpi. Anganku tinggi. Aku suka berkhayal. Kadang,
aku sangat terlarut dalam apa yang aku impikan, semua terasa seperti kenyataan.
Salah satu cita-citaku adalah keliling dunia. Yah, mimpi yang katanya
adalah mimpi sejagad raya. Semua orang menginginkannya. Tapi tidak. Milikku
beda. Aku yakin aku bisa, dan aku akan melakukannya. Meski tak mudah.
Namun semakin kesini, aku makin mengetahui. Ternyata mimpi itu adalah mimpi
yang berat sekali. Di dunia di mana orang-orang hidup untuk menetap dan mencari
kemapanan, aku berniat untuk terbang bebas mengelilingi bumi. Meniadakan sekat,
batas ruas, hanya lingkaran. Satu. Semua.
Aku bukan ingin keliling dunia untuk berfoto ria. Atau pergi ke
tempat-tempat wisata. Aku pergi untuk kembali. Untuk belajar tentang arti
kehidupan ini. Bagaimana bersyukur, bagaimana orang lain di tempat lain
menghabiskan napas pemberian Tuhan.
Tapi, itu adalah mimpi yang salah. Mimpi yang tidak realistis. Mimpi yang
harus dilepas ketika seseorang ingin disebut dewasa. Karena dengan mimpi itu,
prioritas hidup harus diubah, dan itu tak lazim. Budget yang tadinya bisa untuk
beli hape keluaran terbaru, atau nongkrong di kafe paling unyu, harus ditabung
demi membeli tiket pesawat atau ditukar dengan mata uang tertentu. Uang yang
bisa untuk kredit kendaraan supaya terlihat keren lenyap tak berbekas untuk
saku perjalanan beberapa hari. Tabungan berbulan-bulan habis tak sampai
seminggu. Parah, bukan?
Maka bila aku ingin memenuhi impianku (dan itulah yang selama ini kulakukan),
aku harus menukar banyak hal dalam hidup. Mimpi keliling dunia bagi orang
rata-rata sepertiku bukan mimpi bertabur bunga. Itu mimpi yang penuh onak duri.
Sakit semua untuk mencapainya. Belum lagi penolakan orang-orang terdekat yang
sesungguhnya diharapkan doa dan dukungannya.
Setiap aku bertemu dengan seorang yang menghabiskan setahun dua tahun
hidupnya meninggalkan negaranya untuk keliling Asia, misalnya (dan ini tidak
sedikit), aku merasa terpukul. Rasanya sangat jauh dari genggamanku. Tradisi, budaya,
dan ajaran di hidupku tak memperbolehkan itu. Dosa besar untuk pergi lama hanya
untuk keliling dunia. Bagaimana dengan sekolah? Bekerja? Menikah? Punya putra?
Punya motor, mobil, rumah, dan tanah? Anak kedua dan ketiga? Semua sudah ada pola
dan jalannya. Dan keluarga juga orang-orang terdekat jelas akan melarangnya
mati-matian. Terang saja.
Hakikatnya, bila aku memulai perjalanan di usia muda, maka itu artinya aku
akan menabung di usia yang jauh lebih muda. Katakanlah, aku menabung minimal seribu
sehari sejak SD, maka saat lulus SMP, setidaknya aku akan punya cukup uang
untuk keliling Asia Tenggara. Dan begitu seterusnya.
Dan saat usiaku dua puluh lima, aku akan selesai dengan perjalananku ke Eropa.
Uang, begitu banyak uang baik dari orang tua atau bekerja, yang tadinya untuk
foya-foya atau gaya-gaya, atau untuk hura-hura, akan jelas kemana
juntrungannya. Yah, ini masalah perspektif saja. Dan tak semua orang harus
sepakat, memang. Tak salah orang yang bilang uang sebanyak itu bisa untuk beli
benda lainnya yang menurut mereka lebih penting dan realistis. Atau untuk modal
bisnis. Atau mas kawin dan lain-lain? Dipikir-pikir sih, iya kalau tidak justru
hilang karena berhenti atau menyerah di tengah jalan karena kurang motivasi.
Atau rugi karena gagal investasi. Dan lain-lain. Semua pilihan ada resikonya,
kan?
Tapi memang, hidup tak semulus jalan aspal sebelum dan selesai pemilihan.
Gagal bisnis itu biasa, foya-foya itu wajar di masa muda, tapi keliling dunia
itu dosa. Salah. Tak wajar. Kemlinti.
Ya... aku bisa bilang apa. Aku dan mereka yang serius belajar keliling
dunia, memang hidup di dunia yang berbeda. Di sana itu biasa, dan di sini itu
salah. Pahami saja.. Terima, dan belajarlah berlapang dada. Kalau susah, coba
buka iTunes dan unduh lagu terbaru Sheila. Itu saja.
Komentar