BERDUA
Beri aku masalah, dan beri aku pena, maka akan tercipta sebuah atau
berbuah-buah karya. Dari dulu, aku akan menjadi produktif saat sedang bermuram
durja. Atau sedang berduka. Atau ditimpa masalah. Haha. Ironis memang. Saat
bahagia, otakku buntu. Penaku macet. Menulis satu kalimat saja susahnya tak
terkira.
Maka, masa paling produktifku adalah saat bersekolah nun jauh di sana. Saat
sendiri jauh dari teman setia dan keluarga. Saat banyak masalah tapi tak ada
yang bisa dipercaya. Saat itu, penaku bagai tinta antah berantah. Ajaib tak
terkira. Tak ada satu haripun tanpa mengukir karya-karya indah. Meski sayang
seribu sayang, semua hilang sekarang.
Jadi begitu menginjak tahun terakhirku di sana, dan menemukan seorang
sahabat kepercayaan, juga mulai kembali tertawa, penaku kembali tumpul seperti
sediakala. Dan hal itu berlangsung sangaaat lama terlebih saat mulai kuliah.
Kuliah adalah masa paling bahagia dalam hidupku. Dikelilingi banyak teman
dan popularitas yang meroket membuatku lupa untuk menulis. Untuk apa? Aku
bahagia. Aku tak membutuhkannya sebagai pelipur lara. Sungguh tak tahu diri.
Pena ajaibku pun pergi. Mecari pemilik yang lebih baik.
Beberapa kali saat kuliah, namanya hidup ada saja masalah. Saat itulah
penaku kembali mengunjungiku untuk menyapa. Maka satu dua karya waktu itu
tercipta. Namun, saat masalah tiada, penaku tak kupedulikan lagi. Lalu ia sakit
hati. Dan pergi tak kembali.
Hingga kini, saat aku mulai menyadari rasa rinduku padanya. Penaku yang
luar biasa. Maka aku putuskan untuk mencarinya. Kesini kesana. Dan awal bulan
puasa, aku akhirnya mengancamnya. Tak peduli di mana ia berada saat ini, aku
mau ia ada. Sepanjang bulan puasa.
Ia harus ada di sini. Bersamaku. Menemaniku. Menghasilkan tulisan-tulisan
yang aku tahu tak seindah dulu, saat penaku masih baru. Tapi biarlah. Aku akan
bersamanya belajar mengeja kata bersama. Perlahan, mutiara kami akan kembali
datang. Aku yakin itu.
Tapi sayang, aku lupa satu kenyataan penting. Aku rajin menulis saat sedang
bersedih. Jadi, beberapa hari Ramadhan, waktu aku hidup seolah tanpa beban,
penaku kembali kutinggalkan. Beberapa jenak, dan ia kembali sembunyi. Tapi hari
ini, saat aku sedang sedih, dengan egoisnya ia kucari-cari. Sebagai teman
penghibur hati. Supaya aku tak merasa sepi. Masalah dan pena, dua hal yang amat berbeda, tapi seringkali muncul bersama. Sungguh bagai pedang bermata dua.
Aku hanya ingin salah satunya, tapi mereka nyaris selalu berdua. Tak bisa
tidak, aku akan berjuang memisahkan mereka. Aku harus bisa! Semangat, Cha!
Komentar