PERGI
“Saya terima nikahnya...”
***
***
***
***
Suasana syahdu. Tangan menengadah. Semua berdoa ke hadirat-Nya. Memohon
yang terbaik bagi keduanya.
Di sudut kanan, seorang gadis menitikkan air mata. Ia terharu. Kini seorang
pria telah menikahinya. Kehidupan baru menyongsong.
***
“Kamu gimana, sih? Masak begini saja gak bisa?” Pintu dihempas.
Sang gadis mengerutkan badan di samping jendela. Lelakinya marah. Untuk
pertama kalinya.
***
“Kemarin kamu bilang apa saja, sampai mereka salah paham!” suaranya kembali
meninggi.
“Aku.. aku cuma...”
“Alah, alasan saja kamu. Sukanya ngomong aneh-aneh, kamu tidak mikir apa pandangan
mereka terhadapku? Kamu cuma mikir diri sendiri bisanya,” lelaki itu pergi.
Meninggalkan gadis berwajah pucat itu sendiri. Lagi.
***
“Bagaimana kabarmu, Cha? Pasti bahagia, pengantin baru...” gelak tawa
terdengar dari ujung telepon yang digenggamnya.
Sang gadis terbata, “I..iya... Alhamdulillah..”
Disekanya air mata yang membanjir seketika.
***
Dulu, lelaki itu amat baik. Sabar, pengertian, tak pernah marah. Setia
menantinya meski lama. Tahu cara menghadapi kedua orang tuanya.
Mereka menjalani hubungan yang pasang surut, namun tak pernah berpisah.
Gadis itu menunggu lama, sebab lelaki itu menjanjikannya hidup yang bahagia
bersamanya.
Tepat lima tahun setelah berjumpa, mereka menikah. Mulai hidup bersama.
Yang awalnya dianggap surga, perlahan berubah. Semua tak lagi sama.
Lelaki itu kini menatapnya dengan pandangan tak suka. Ingin ia berubah.
Selalu mengungkit hal-hal dulu yang diingatnya. Sang gadis jadi selalu salah.
Awalnya, tak masalah. ‘Bumbu kehidupan,’ pikirnya. Tapi lama kelamaan,
gadis itu ketakutan. Ia tak menemui lelaki yang dulu dipujanya. Yang ada sosok
pemarah penuh kritikan yang tak sudi mendengarkan apapun penjelasannya. Ia
kesepian.
Bila curhat pada temannya, seperti yang biasa ia lakukan, bisa dipastikan
piring gelas akan melayang. Lelaki itu tak suka. Tapi tak sekalipun ia mau
mendengarkannya cerita. Kalaupun iya, ada saja tegurannya. Sang gadis makin
menghilang dalam pusaran.
***
“Apa kabarmu, Nak? Ibu kangen...” Suara yang amat dirindukannya.
Ia bertekad takkan mengikutsertakan orang tuanya dalam masalahnya. ‘Ini
pernikahanku, kehidupanku, pilihanku. Aku yang salah. Takkan kubuat mereka
menderita,’ pikirnya.
“Aku baik bu. Alhamdulillah...” Suaranya gemetar. Ia berharap ibunya tak
mendengarnya.
“Kamu bahagia, Nduk?” Sang gadis terhenyak.
Gagang telepon terlepas dari pegangannya. Ia tak tahu harus menjawab apa.
***
“Mas, aku mau pergi.”
“Ya sudah, berangkat sana.” Tak acuh lelaki itu bahkan tak melepas
pandangan dari layar komputernya.
Sang gadis menguatkan dada. “Mungkin aku tak kembali, Mas.”
Tak ada jawaban. Beberapa lama.
Sang gadis membalikkan badan, beranjak pergi dengan kopernya.
Ia menatap tiket pesawat di tangannya, Amerika.
Komentar