RA
“Ra... Panggil
saja aku Ra..” Aku mengulurkan tangan.
Dia melirikku
sekilas. Lalu menangkupkan kedua telapaknya ke dada. “Saya Fe, lengkapnya
Feri.”
Hatiku
tersentil. Segitu tidak maunya kah dia bersentuhan denganku? Memangnya aku
manusia kotor dan menjijikkan? Namun kupasang wajah tanpa ekspresi.
“Ini berkasnya,
tolong serahkan kembali besok pagi ya,” langsung kubalikkan badan dan
melenggang pergi.
***
“Jadi, maksud
kedatangan saya kesini adalah untuk melamar putri Bapak, Zahra..”
Jantungku seolah
berhenti berdetak. Dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang
keluarga, aku gemetar. Benarkah ini orang yang sama dengan lelaki yang setiap
hari menundukkan pandangannya di depanku? Yang menolak semua interaksi kecuali
berhubungan dengan pekerjaan kami di kantor? Memangnya sejak kapan dia menaruh
minat terhadapku? Aku mencubit lengan, sakit. Ini bukan mimpi, kan?
***
“Saya terima
nikahnya...” sayup-sayup kudengar akad nikah bergema lewat pengeras suara.
Rasanya masih belum nyata. Benarkah aku akan menikah dengan Fe, lelaki dingin
dan tertutup yang terkenal seantero kantor? Aku juga masih tak mengerti
alasanku mengiyakan lamarannya, seolah ada yang menggerakkan hatiku kala itu.
***
Malam pertama.
Aku duduk bersisian dengannya di kasur. Ia menatap lekat lantai di depannya.
“Aku
penasaran..” Tak sanggup kutahan kata-kata yang bergejolak di dada. “Kenapa kau
memilihku”
Sejenak hening.
“Aku tak memilihmu, Ra. Namun, nama itulah yang selalu terngiang dalam setiap
sujudku setelah shalat istikharah. Saat pertama berkenalan denganmu di kantor,
saat itulah aku memutuskan akan menikahimu.”
Aku ternganga.
Komentar