JARAK

Di kota kecil yang dikelilingi pegunungan dan diselimuti cahaya lampu-lampu temaram, hiduplah seorang wanita bernama Echa. Kota itu penuh dengan kafe-kafe kecil yang nyaman, tempat aroma kopi dan kayu manis bercampur dengan musik lembut yang mengalun merdu. Di sudut-sudut sunyi, Echa sering merenung, merindukan suaminya, Rio, yang kerap pergi jauh karena pekerjaannya. Setiap kali Rio pergi, hati Echa merasakan kekosongan yang tak terbilang, bagai bulan yang kehilangan cahayanya di tengah malam.

Suatu hari, Echa duduk berbalutkan selimut, mencoba mencari kehangatan dari secangkir teh di tangannya. Angin malam berbisik pelan, membawa bayangan kenangan-kenangan manis bersama Rio. Tawa dan percakapan mereka kini hanya menjadi gema dalam pikirannya. Setiap kepergian Rio adalah lembaran baru kesepian yang tak pernah usai.

Untuk mengusir sepi, Echa kerap mengunjungi kafe favoritnya di pojok kota. Tempat itu beraroma kayu bakar dan dihiasi lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Di sanalah ia bertemu dengan Alex, seorang pria berkarisma dengan senyum ramah yang membuat hati siapa pun merasa aman. Percakapan pertama mereka ringan, namun berlanjut menjadi obrolan panjang tentang impian dan petualangan.

"Apakah kau pernah mendaki gunung?" tanya Alex, matanya berbinar seperti anak kecil yang penuh rasa ingin tahu.

"Pernah, dulu sekali bersama Rio. Tapi sekarang rasanya semua itu hanyalah mimpi yang perlahan pudar," jawab Echa, senyumnya melayang samar.

Pertemuan demi pertemuan dengan Alex membawa kegembiraan yang lama tak dirasakan Echa. Hari-hari yang tadinya monoton berubah menjadi lebih berwarna, seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Namun di dalam hatinya, rasa bersalah mulai tumbuh, menghantui setiap langkahnya seperti bayangan yang tak bisa hilang.

Malam itu, hujan turun deras, menghantam atap rumah dan jendela Echa. Ia duduk di depan jendela, memperhatikan aliran air yang membentuk jalur-jalur tanpa pola. Sebuah pesan muncul di ponselnya, dari Alex, mengajaknya bertemu. Echa tahu ia berada di sebuah persimpangan besar dalam hidupnya. Kini, ia harus memilih.

"Rasanya nyaman bersamamu, Echa," ucap Alex, sambil menatapnya dalam.

"Aku tahu, Alex, tapi aku punya Rio. Aku tak bisa mengabaikan apa yang sudah kami jalani bersama," balas Echa dengan suara bergetar.

Alex terdiam, bibirnya tersenyum namun matanya menyiratkan luka. "Aku mengerti. Aku akan pergi."

Echa pulang malam itu dengan hati yang terasa hancur namun penuh keyakinan. Keesokan harinya, ia memutuskan untuk berbicara hati ke hati dengan Rio. Di ruang tamu yang temaram, dengan bayangan lilin yang menari di dinding, Echa memulai percakapan.

"Rio, aku merasa sangat kesepian setiap kali kau pergi. Aku bertemu dengan Alex, dan aku mulai bingung dengan perasaanku," katanya dengan mata berkaca-kaca, berusaha sekuat tenaga menahan tangis.

Rio mendekatinya, menggenggam tangan Echa dengan lembut. "Aku menghargai kejujuranmu, Echa. Jarak ini memang berat bagi kita. Tapi aku yakin, kita bisa mencari cara untuk mengatasinya bersama."

Perkataan Rio menghangatkan hati Echa, seolah lilin-lilin di ruangan itu berubah menjadi pelita yang menyinarinya. Mereka berjanji untuk lebih sering berkomunikasi dan merencanakan ulang perjalanan hidup mereka.

Sejak saat itu, Echa terus berusaha memulihkan hatinya dan mempertahankan komitmennya dengan Rio. Setiap kali Rio harus pergi lagi, rasa sepi masih datang menyapa, namun Echa kini belajar untuk tidak mudah berpaling dan menyerah. Bersama Rio, ia membangun kembali kehangatan dalam rumah mereka, dengan tawa, cerita, dan kehadiran yang lebih berarti.

Di dalam hatinya, Echa tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Tapi ia tetap percaya bahwa cinta dan komitmen adalah jembatan yang mampu menghubungkan dua hati, meski dihadang jarak yang membentang panjang.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)