KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN: SUARA YANG HARUS DIDENGAR
Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu isu sosial yang terus menjadi perhatian global, tidak mengenal batas geografis, budaya, ataupun status. Di Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan di tempat umum, hingga eksploitasi masih sering terabaikan atau dianggap sebagai hal biasa. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat lebih dari 450.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, angka yang hanya mencerminkan sebagian kecil dari realitas karena banyaknya kasus yang tidak terlaporkan.
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada aspek fisik atau mental, tetapi juga mencakup bentuk-bentuk lain yang sering tidak terlihat, seperti pengekangan terhadap aktualisasi diri. Perempuan sering kali tidak diberikan kesempatan atau kebebasan untuk mengejar impian, pendidikan, atau karier karena tekanan untuk mengikuti peran-peran tradisional yang kerap dilekatkan padanya. Dalam banyak kasus, ekspektasi ini datang dari lingkungan rumah tangga atau masyarakat yang menilai perempuan hanya berdasarkan peran tertentu. Pengekangan seperti ini sama merusaknya dengan kekerasan fisik, karena berpotensi merampas hak perempuan untuk mengembangkan potensi dan mewujudkan diri mereka sepenuhnya.
Menariknya, kekerasan terhadap perempuan bukan hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Ada banyak kasus di mana perempuan juga menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan lainnya, baik dalam bentuk perundungan, pelecehan, maupun pembatasan potensi sesama perempuan. Ini menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini, yang sering kali berakar pada norma-norma sosial dan struktur patriarki yang membuat perempuan saling menjatuhkan, alih-alih saling mendukung. Masalah ini sangat masif dan memerlukan solusi yang berfokus pada pendidikan, solidaritas, dan kesadaran gender yang lebih dalam.
Selain itu, perempuan sering kali terjebak dalam banyak pantangan dan larangan, terutama yang berkaitan dengan nilai dan etika moral yang ada di masyarakat. Di aneka budaya berbeda, perempuan diajarkan untuk selalu menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah, tidak boleh berbicara terlalu keras, tidak boleh terlalu mandiri, dan tidak boleh mengungkapkan keinginan atau ambisi pribadi. Semua ini berasal dari konstruksi sosial yang membatasi kebebasan perempuan untuk berekspresi dan mengembangkan potensi mereka.
Banyak perempuan merasa tertekan oleh tuntutan-tuntutan ini, yang menyebabkan mereka menutup akses terhadap peluang yang dapat mengembangkan diri mereka. Dan dalam banyak kasus, perempuan justru menginternalisasi norma-norma ini dan merasa bahwa mereka tidak layak untuk bermimpi besar, yang memperburuk ketidaksetaraan yang mereka alami.
Dampak Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan memiliki dampak yang sangat luas dan mendalam, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Bagi banyak perempuan, kekerasan ini mengubah kehidupan mereka secara permanen, merusak kepercayaan diri, dan menciptakan trauma yang sulit diatasi. Dampak fisik yang terlihat seperti luka atau cedera mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin yang ditinggalkan kekerasan bisa bertahan jauh lebih lama, bahkan seumur hidup.
Trauma Psikologis: Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan mengalami trauma psikologis yang dapat mengarah pada gangguan mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD). Pengalaman kekerasan mengubah cara pandang mereka terhadap dunia, membuat mereka merasa terisolasi dan tidak aman, bahkan dalam hubungan yang sehat sekalipun. Ketidakmampuan untuk merasa aman di rumah, tempat yang seharusnya menjadi sumber kenyamanan, dapat menyebabkan perasaan takut dan cemas yang berkepanjangan.
Kehilangan Identitas dan Potensi: Kekerasan, terutama pengekangan aktualisasi diri, menghancurkan rasa percaya diri dan menghambat kesempatan perempuan untuk berkembang. Ketika perempuan dihadapkan pada kekerasan dalam rumah tangga atau lingkungan yang mengekang, mereka sering kali kehilangan rasa identitas diri, merasa tidak mampu atau tidak berhak untuk mengejar impian mereka. Bahkan, banyak perempuan yang terjebak dalam peran tradisional yang mengharuskan mereka untuk mengutamakan keluarga dan rumah tangga di atas keinginan atau karier pribadi mereka.
Ketergantungan Ekonomi: Salah satu dampak terbesar dari kekerasan dalam rumah tangga adalah ketergantungan ekonomi. Perempuan yang dipaksa untuk tetap tinggal dalam hubungan yang abusif sering kali tidak memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan, atau sumber daya lainnya yang bisa memberi mereka kemandirian. Hal ini memperburuk situasi mereka, karena ketergantungan finansial sering kali membuat perempuan merasa terjebak tanpa cara untuk keluar dari hubungan yang merugikan.
Dampak Sosial dan Komunitas: Kekerasan terhadap perempuan juga memengaruhi hubungan sosial dan komunitas mereka. Banyak perempuan yang merasa malu atau takut untuk berbicara tentang pengalaman mereka karena stigma atau takut dihakimi. Ini bisa menyebabkan isolasi sosial yang memperburuk rasa sakit dan penderitaan mereka. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan memperburuk kesetaraan gender di masyarakat dan memperkuat siklus kekerasan yang berulang.
Pengaruh terhadap Kesehatan Fisik: Selain dampak psikologis, kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan atau pelecehan seksual dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, termasuk cedera tubuh yang mempengaruhi mobilitas, infeksi, gangguan reproduksi, dan bahkan kematian. Lebih dari itu, kekerasan seksual dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang berkepanjangan, seperti rasa malu, rasa tidak berdaya, dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merusak potensi besar yang bisa diberikan perempuan kepada keluarga, masyarakat, dan dunia. Meningkatkan kesadaran tentang dampak kekerasan ini sangat penting untuk mendorong perubahan dan memulai percakapan tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan hak-haknya.
Kisah Nyata: Icha, Perempuan yang Menemukan Jati Dirinya Melalui Dunia Digital
Icha (nama samaran) adalah seorang perempuan muda dari kota besar di Indonesia yang sejak kecil selalu bermimpi untuk bekerja di dunia digital. Namun, ia selalu merasa terhalang oleh pandangan orang tua dan masyarakat yang memandang pekerjaan di bidang teknologi sebagai dunia yang didominasi oleh laki-laki. Icha sering kali merasa ragu dengan pilihannya, terutama ketika teman-temannya menganggap dunia digital sebagai pekerjaan yang tidak cocok untuk perempuan. “Kamu lebih baik jadi guru sekolah saja atau bekerja di kantor yang lebih ‘perempuan’,” ujar ibunya, mengungkapkan keraguan yang dimiliki banyak orang terhadap pilihan Icha.
Namun, Icha tidak menyerah. Dengan mengandalkan keterampilan digital yang ia pelajari secara otodidak, ia mulai merintis karier sebagai seorang content creator dan social media manager. Namun, jalan yang dilaluinya tidak mudah. Setiap kali Icha tampil berani dengan pendapat atau ide-ide kreatif di media sosial, ia sering kali mendapatkan komentar negatif yang merendahkan, bahkan dari sesama perempuan. Mereka mengatakan bahwa perempuan tidak seharusnya terlibat dalam hal-hal yang terlalu ‘berani’ seperti itu, karena itu dianggap tidak sesuai dengan kodrat perempuan yang ‘lembut’ dan ‘terjaga’.
Tetapi, Icha tetap teguh pada prinsipnya. Ia mulai menemukan komunitas perempuan dalam dunia digital yang saling mendukung dan berbagi pengalaman. Dalam komunitas ini, ia merasa diberdayakan dan dihargai. Icha kini menjadi salah satu perempuan sukses yang menginspirasi banyak orang, menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak untuk mengejar karier dan aktualisasi diri tanpa batasan apapun. Icha telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya bisa berperan dalam peran tradisional, tetapi juga di dunia digital yang penuh tantangan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mendengarkan dan Mendukung: Perempuan yang menjadi korban kekerasan atau pengekangan aktualisasi diri sering merasa tidak berdaya dan terisolasi. Menjadi pendengar yang penuh empati dapat membantu mereka merasa didengar dan dimengerti.
Meningkatkan Kesadaran Diri dan Pemberdayaan: Kita perlu mendorong perempuan untuk sadar akan hak mereka untuk berdaya, mengembangkan potensi diri, dan membela diri mereka sendiri. Perempuan harus diberikan akses untuk mengejar impian dan mencapai tujuan hidup mereka tanpa rasa takut atau terbatas oleh norma-norma sosial yang mengekang.
Memberdayakan Melalui Pendidikan: Pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang dan mengurangi ketidaksetaraan gender. Memberikan akses pendidikan yang setara bagi perempuan, serta memberikan mereka keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing di dunia kerja, akan sangat membantu dalam memberdayakan perempuan.
Mendorong Solidaritas Antar Perempuan: Perempuan harus saling mendukung dan memberikan ruang untuk satu sama lain untuk berkembang. Solidaritas antar perempuan akan memperkuat gerakan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan dan membangun dunia yang lebih adil.
Penutup
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang luka fisik, tetapi juga tentang penghancuran impian, potensi, dan hak perempuan untuk menjadi diri sendiri. Setiap perempuan berhak untuk hidup bebas dari kekerasan, berhak untuk berdaya, dan berhak untuk mengaktualisasikan dirinya tanpa ada yang menghalangi. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk saling mendukung, mendengarkan, dan memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka.
Sebagaimana kata Malala Yousafzai, “We cannot all succeed when half of us are held back.” Mari bersama-sama mewujudkan dunia di mana setiap perempuan bisa berdiri tegak, meraih impian, dan hidup dalam kebebasan.
Komentar