JEJAK

Udara masih dingin saat Bapak Jaka memulai pekerjaannya. Gelap melingkupi pantai. Ia hanya ditemani desiran ombak dan sesekali, lampu perahu nelayan di kejauhan. Tangannya cekatan mengayunkan sapu lidi, mengumpulkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan pengunjung: botol plastik, kertas makanan, kadang juga sandal yang kehilangan pasangannya.

Baginya, pantai yang masih sunyi adalah bagian paling indah dari hari. Tanpa jejak kaki, pasir tampak suci, memantulkan sinar purnama yang perlahan memudar. Ia selalu berpikir, bagaimana mungkin keindahan ini sering diabaikan?

Namun setiap pagi, bukan hanya tugas yang menyambutnya. Di antara gelap, ada misteri kecil: seorang gadis muda yang selalu duduk di batu karang sembari menggenggam buku catatan. Bapak Jaka penasaran. Mengapa gadis itu selalu ada sepagi itu di sana?

Pada suatu hari, keberaniannya mengalahkan rasa segan. "Nak, apa yang kamu tulis di sana?" tanyanya, menyeka keringat di dahinya.

Gadis itu tersenyum kecil, lalu menjawab, "Cerita tentang pantai dan penyapunya yang berjuang menyelamatkan keindahan, Pak."

Bapak Jaka tertegun. Ia tak pernah merasa pekerjaannya istimewa, tapi bagi gadis itu, ternyata setiap sapuan adalah cara menjaga cerita pantai tetap hidup.

Sejak saat itu, mereka berbagi pagi. Gadis itu mendengar kisah Bapak Jaka tentang masa kecilnya, tentang mimpinya memiliki perahu kecil untuk melaut sendiri, tentang kekhawatirannya. Dan Bapak Jaka, meski tak mengerti seluruh isi buku gadis itu, bangga menjadi bagian dari cerita yang ditulis dengan begitu indah.

Saat matahari muncul dan pantai mulai ramai, gadis itu selalu pamit lebih dulu, meninggalkan jejak ringan di pasir. Namun suatu pagi, gadis itu tak muncul. Bapak Jaka merasa ada yang hilang. Ia terus bekerja, tapi matanya sesekali melirik ke arah batu karang, berharap gadis itu muncul dengan buku catatannya seperti biasa.

Hari-hari berlalu, pantai tetap magis seperti biasa, namun pagi menjadi lebih sunyi. Hingga suatu hari, seorang pemuda tak dikenal mendatangi Bapak Jaka sambil membawa sebuah buku bersampul biru.

"Anda Bapak Jaka, kan?" tanya pemuda itu.

"Iya, benar," jawabnya heran.

Pemuda itu menyerahkan buku berjudul 'Jejak' itu dengan ragu. "Ini titipan dari Kakak saya. Dia bilang, jika suatu hari dia tak bisa datang ke sini lagi, buku ini untuk Bapak."

Bapak Jaka membuka buku itu dengan tangan gemetar. Halaman demi halaman dipenuhi tulisan tentang pantai, laut, dan dirinya. Ada sketsanya saat sedang menyapu pasir, menggambarkan senyum sederhana yang tak pernah ia sadari selama ini.

Pada halaman terakhir tertulis:

"Bapak Jaka adalah penjaga keindahan, pelindung cerita, dan sahabat pagi yang selalu aku kagumi. Pantai ini takkan sama tanpanya. Terima kasih telah mengajarkanku bahwa pekerjaan kecil bisa meninggalkan jejak begitu besar."

Air mata menggenang di sudut mata Bapak Jaka. Ia menutup buku itu dengan hati yang hangat. Kini, setiap sapuannya terasa lebih berarti, bukan hanya untuk pantai, tapi juga untuk menjaga warisan kecil yang telah ditinggalkan gadis itu—sebuah cerita yang abadi dalam diamnya pasir dan desiran ombak.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)