PASAR
Setahun tinggal di Bondowoso, akhirnya pagi ini aku melangkah masuk ke Pasar Induk—tempat yang selama ini hanya kulihat dari kejauhan. Udara dipenuhi aroma rempah bercampur tanah basah, sementara suara tawar-menawar dan gelak tawa menghidupkan suasana. Ada sensasi yang sulit dijelaskan: aku takjub, kagum, sekaligus sedikit terkejut.
Pasar ini seperti cermin yang memantulkan kenangan masa lalu. Saat Bondowoso hanyalah nama tanpa arti, pikiranku selalu penuh dengan rencana untuk pergi. Tapi kini, entah kenapa, aku memilih untuk menetap di sini.
Seorang nenek terlihat sibuk merapikan dagangan di lapaknya, sesekali tersenyum pada pembeli yang datang. Aku terdiam, mengamati detail yang sebelumnya luput dari pandangan. Ada kesederhanaan dalam tiap gerak, semangat dalam setiap percakapan. Tempat ini menawarkan kenyamanan yang berbeda, seperti pelukan halus dari masa kecil yang nyaris terlupakan.
Di depan penjual kain, aku berhenti. Sebuah baju batik kecil menarik perhatian, sederhana namun penuh makna. Aku membeli sepotong, bukan untuk kebutuhan, melainkan sebagai pengingat perjalanan hari ini. Bondowoso tak pernah berubah, tapi caraku melihatnya kini berbeda. Kota ini bukan lagi sekadar tempat berlindung, melainkan rumah tempatku membangun harapan dan menulis cerita.
Langkahku keluar dari pasar terasa ringan. Di tanganku, baju itu menjadi simbol dari semua impian yang kini siap kurajut di tanah ini, di bawah atap Bondowoso yang hangat dan penuh makna.
Komentar