PERMATA (2 - TAMAT)

Malam itu, setelah makan malam, Rio bersandar di sofa, memandangi Icha yang sibuk memindahkan pot tanaman kecil dari sudut ruang tamu ke sudut lainnya. Kebiasaan lamanya. Ia tersenyum tipis. Betapa Icha selalu mencari "sudut sempurna," meski Rio tahu esok pagi tanaman itu akan digeser lagi.

"Sayang..." panggil Rio lembut, suaranya nyaris tak kedengaran.

"Hmm?" Icha menoleh.

"Mas mau tanya..." Rio berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. "Kamu bahagia, tidak?"

Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang. Membuat riak di hati Icha. Ia terdiam, menatap hampa, seperti mencari jawab di sela jari-jarinya.

"Kenapa nanya begitu, Mas? Kita kan baik-baik saja," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang ia paksakan.

Rio tersenyum samar, tapi matanya tajam menembus dinding perasaan yang coba Icha sembunyikan. "Kadang Mas merasa... kamu masih menyimpan banyak hal yang membuatmu sedih. Hal-hal yang mungkin tidak Mas sadari sudah Mas lewatkan."

Icha merasa dadanya terhimpit. Semua keluhan yang pernah ia ucapkan terasa seperti duri yang kini menusuk balik. Tentang kurangnya perhatian, tentang waktu-waktu yang ia pikir Rio habiskan untuk hal lain, bukan untuknya. Padahal, di setiap momen, Rio selalu ada—diam-diam menjaga, memberi tanpa pamrih.

Rio melanjutkan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Mas cuma ingin kamu selalu bahagia, Sayang. Tapi... Mas tahu, bahagia itu bukan soal apa yang Mas beri. Bukan cincin, bukan masakan, bukan perhatian kecil. Mas cuma ingin... kalau suatu hari nanti Mas tidak bisa kasih semua itu lagi, kamu tetap bisa bahagia. Sendiri."

Kata-kata itu menghantam hati Icha seperti petir di tengah malam. Ia menunduk, matanya berkaca-kaca. "Mas..." bisiknya, suaranya bergetar. "Aku bahagia. Tapi aku takut... takut kehilangan Mas."

Rio tertawa kecil, namun ada kesedihan yang samar di balik tawanya. "Icha, selama Mas masih ada di dunia ini, Mas tidak akan pernah pergi jauh darimu."

Icha terisak pelan. Malam itu, ia tidur lebih lama di pelukan Rio, membayangkan dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia.

***

Hari itu, mendung menyelimuti langit.

Icha berdiri di depan jendela, tangannya menggenggam cangkir teh yang kini terasa dingin. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan belasungkawa masuk tanpa henti. Namun, ia tak membacanya. Pandangannya terpaku pada cincin di jarinya—cincin terakhir yang diberikan Rio sebelum kepergiannya.

Semua terasa sunyi. Tidak ada lagi suara langkah kaki Rio yang bergegas menyambutnya. Tidak ada lagi tawa lembutnya di ruang makan, atau pijatan hangat di pundaknya. Tidak ada lagi masakan sederhana yang selalu Rio siapkan, meski tubuhnya lelah sepulang kerja.

Semua kenangan itu berputar seperti film lama yang enggan berhenti.

Tapi, di tengah rasa kehilangan yang menghancurkan, kata-kata Rio malam itu kembali bergaung di telinganya:

"Bahagia itu bukan soal apa yang Mas beri, tapi soal apa yang kamu temukan dalam dirimu."

Icha menarik napas panjang, berat namun penuh kesadaran. Ia tahu, Rio mungkin telah pergi dari dunia ini, tetapi cinta dan kehangatannya tidak pernah benar-benar hilang. Cinta itu ada di setiap sudut rumah mereka, di setiap kenangan yang kini menjadi harta paling berharga.

Ia meraih foto keluarga mereka di meja. Matanya menatap dalam-dalam wajah Rio yang tersenyum lembut di dalam bingkai.

"Aku akan belajar bahagia, Mas... Seperti yang kamu harapkan," bisiknya. Air mata jatuh perlahan, tapi kali ini, ada senyum kecil yang terselip di bibirnya.

Icha tahu, cinta sejati itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk, menjadi kekuatan untuk terus melangkah, meski seorang diri.

-TAMAT-

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)