SURABAYA
Icha berdiri di sudut terminal Surabaya, memandangi keramaian yang seolah tak pernah berhenti. Ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Setahun lalu, dia datang ke kota ini dengan rasa takut yang luar biasa, penuh kecemasan tentang kemampuannya bertahan sendiri. Saat itu, dunia terasa begitu besar, dan dia merasa terlalu kecil untuk menghadapinya. Namun, saat ini, semuanya berbeda.
Surabaya kini tidak lagi sekadar kota besar yang menakutkan. Icha sudah banyak berubah—tak lagi membiarkan ketakutannya menuntun langkah. Setiap sudut kota ini membawa kenangan tentang betapa jauh dirinya sudah berubah. Ketika pertama kali tiba, dia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan lepas. Sekarang, meski masih ada rasa asing yang menempel, Icha merasa lebih kuat. Kakinya melangkah dengan mantap, meski tak bisa dipungkiri, ada sedikit kegamangan di hatinya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rumah. "Icha, kami butuh kamu. Semua tidak sama tanpa kamu di sini." Icha terdiam. Hatinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya.
Icha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Saat itu, Ina muncul di sampingnya. "Apa yang terjadi?" tanya Ina, menyadari ekspresi wajah Icha yang berubah.
Icha menunjukkan layar ponsel, matanya masih sedikit berkabut. "Pesan dari rumah. Mereka... mereka ingin aku kembali," jawabnya pelan.
Ina menatap pesan itu, lalu menoleh pada Icha dengan perhatian yang mendalam. "Kamu tidak mau kembali ke rumah?" tanya Ina lembut, seolah ingin memastikan perasaan Icha.
Icha menggeleng pelan, matanya menatap kosong ke depan. "Aku tidak tahu, Na. Hubunganku dengan mereka... tak mudah. Mereka selalu ingin aku menjadi orang yang berbeda, dan aku jadi merasa terjebak dalam ekspektasi itu. Aku selalu merasa tidak cukup untuk mereka. Waktu aku pertama kali pergi, mereka bilang aku akan gagal hidup sendiri. Tapi aku bertahan, dan aku merasa lebih bebas di sini," kata Icha, suaranya mulai bergetar.
Ina menaruh tangannya di bahu Icha, memberikan sedikit tekanan yang penuh arti. "Icha, kamu tidak harus kembali untuk membuat mereka bahagia," katanya lembut. "Kamu punya hidupmu sendiri di sini. Kamu tidak pernah sendirian."
Icha menatap Ina, merasakan kehangatan dari kata-katanya. Namun, di dalam hati, ada perasaan yang bertentangan. "Tapi... aku tidak tahu apakah itu pilihan yang benar, Na. Kalau aku tetap di sini, aku akan terus merasa bersalah. Tapi bila kembali, rasanya aku cuma melarikan diri dari masalah," Suaranya hampir tak terdengar.
Ina menghela napas panjang, merenung sejenak. "Aku tahu itu sulit. Kamu selalu berusaha memberi yang terbaik untuk mereka, tapi kamu tidak bisa terus hidup dengan rasa bersalah. Jangan biarkan orang lain menentukan apa yang terbaik bagi hidupmu. Kamu yang berhak memilih jalanmu sendiri."
Icha terdiam, merenungkan kata-kata Ina. Beberapa kenangan dengan keluarganya berkelebat—waktu-waktu ketika ia merasa selalu gagal memenuhi harapan mereka. Kapan pun ia mencoba menjadi dirinya, selalu ada komentar yang mengkritik pilihannya. Namun, di sini, di Surabaya, ia merasa diterima tanpa syarat apa-apa. Ina, dan teman-teman lainnya, mereka yang memberikan ruang untuknya tumbuh tanpa penghakiman.
"Aku terlalu takut untuk memilih, Na." Suara Icha nyaris tak terdengar.
Ina tersenyum lembut, meskipun ada kekhawatiran yang masih tampak di matanya. "Keputusan itu harus datang dari hatimu, Cha. Kamu layak untuk bahagia, apapun itu."
Icha menarik napas dalam-dalam, merasakan ketenangan yang perlahan menggantikan kebingungannya. Dia memikirkan langkah-langkah apa yang akan ia ambil, dan perlahan, perasaan baru mulai tumbuh di dalam dirinya—perasaan bahwa ia akhirnya menemukan arti sebenarnya dari rumah. "Kamu benar, Ina. Aku tidak harus kembali untuk memenuhi harapan mereka. Aku berhak memilih hidup yang aku inginkan."
Keputusan itu datang dengan ketenangan, karena akhirnya Icha memahami bahwa kebahagiaannya adalah prioritas utama. Dia menyadari bahwa rumah bukan hanya tempat fisik—tetapi perasaan aman dan diterima yang ada di dalam dirinya. Icha merasa siap menghadapi apapun yang akan datang, dengan keyakinan bahwa kebahagiaan sejati datang dari keputusan untuk hidup dengan dirinya sendiri, tanpa harus memenuhi ekspektasi siapa-siapa lagi.
"Terima kasih sudah ada di sini, Na," katanya dengan senyum tipis, mata Icha bersinar dengan keyakinan baru. "Aku rasa, aku bisa menghadapi semuanya sekarang."
Ina merangkul Icha dengan hangat. "Kapan pun kamu butuh, aku ada, Cha."
Icha menarik napas dalam-dalam, merasakan udara Surabaya yang kini terasa lebih segar—lebih penuh arti. Di sini, di tengah orang-orang yang mendukungnya, dia merasa benar-benar pulang.
Komentar