IJEN
Pagi ini, aku turun dari jalur pendakian Gunung Ijen, disambut oleh pedagang buah-buahan segar yang memanjakan mata. Setelah mengembalikan masker gas ke toko pojok samping toilet, aku merebahkan badan di atas sebuah bangku kayu, meluruskan kaki yang bekerja keras semalaman. Di sampingku, abu api unggun semalam menyebar, terkadang jatuh ke jaket dan wajahku. Tapi aku tak memedulikannya. Aku hanya ingin menulis. Menulis apa yang kuingat dari petualangan dadakan ini.
Kemarin, seorang teman dari Italia mengunjungiku. Mengajakku untuk mendaki Ijen bersamanya. Setelah menyiapkan surat kesehatan dadakan di klinik dekat rumah orang tuaku, kami pun berangkat. Rencana awalnya, kami akan mengendarai motor berdua ke atas, mencoba hal terbaik yang kami bisa. Tapi karena begitu banyak orang menentang dan memberi saran sebaliknya, aku pun tiba-tiba menemukan sebuah ide. Kami bisa pergi ke atas dengan aman beriringan bersama DAMRI!
Kenapa tidak naik DAMRI saja yang murah dan nyaman? Karena kami kehabisan tiket tentu saja. Bahkan untuk beberapa hari ke depan. Aku pun menghubungi sopir DAMRI kenalanku, dan meminta izinnya untuk mengikuti mobil DAMRI dari Alun-alun Bondowoso hingga ke Paltidung Ijen. Beliau mengizinkan, dan dengan baik hatinya, memastikan keselamatanku dan temanku sebaik mungkin.
Kami bergegas menyiapkan barang dan kendaraan. Aku hanya membawa 5 air mineral gelas (yang akhirnya tidak terminum sama sekali), skincare, charger, jas hujan, dan HP. Temanku membawa headlamp, obat-obatan, makanan darurat, sebotol bensin cadangan, dan jas hujan. Sementara temanku mengenakan hiking suit, aku hanya memakai celana rok, kaos, kerudung, dan jaket, semuanya hitam.
Kami mulai berkendara pukul 21.30, mengikuti DAMRI yang melaju perlahan, menjadi lampu tambahan dan pengganti Google Maps yang amat bisa diandalkan. 15 menit kemudian, sebuah motor yang dikendarai dua pria berkostum hitam memepet motorku. Aku bergegas memacu motor dan maju, makin mendekat ke belakang DAMRI. Mereka tidak berhenti, samar-samar kudengar memanggil, "Kaak.. Kak.."
Aku deg-degan, kubisikkan pada temanku, "Apa kau lihat di belakang, ada motor yang sedari tadi membuntuti kita?"
Temanku terperanjat dan mengatakan, "Wah, aku sama sekali tak sadar!"
Beberapa saat kemudian, sepertinya sopir DAMRI menyadari hal itu. Beliau menghentikan mobil, dan menyetop kami. "Mas, apa mau ke Ijen juga?" Mereka mengangguk. Oh, itu sebabnya, pikirku. Mungkin mereka sama seperti kami, mencari teman seperjalanan di malam yang gelap dan sepi.
"Baik, kalau begitu, Mas di depan. Biar Mbaknya di tengah, dan mobil kami di belakang. Kita beriringan ke atas sana." Aku sungguh terharu. Beliau benar-benar memastikan keamanan kami sampai seperti itu.
Perjalanan dilanjutkan. Dengan kecepatan kurang lebih 30 km/jam, kami membelah kegelapan hutan. Terkadang ada secercah cahaya dari lampu jalan, tapi banyaknya, kami saling mengandalkan untuk menemukan jalan yang tak berlubang. Dua jam, dan kami sampai di Sempol dengan selamat dan aman. DAMRI melanjutkan perjalanan, sementara aku dan rombongan Mas di depanku berhenti sebentar. Salah satu dari mereka ternyata belum menyiapkan surat kesehatan sebelum berangkat, jadi kami mampir di Puskesmas Sempol yang buka 24 jam. Seharga 20 ribu rupiah, aku baru tahu bahwa semua orang bisa menyiapkan surat keterangan sehat dengan mudah di sana.
Kami pun lanjut ke Paltidung Ijen, melewati dua kuburan dan jalanan kelam. Aku takjub. Sedari tadi, kami bagai melewati negeri dongeng dengan pohon-pohon raksasa nan tinggi dan bintang bertaburan di angkasa, yang seolah memandu kami untuk terus maju dan melaju.
Kami akhirnya sampai di tempat parkir, segera dikerubuti oleh tukang parkir dan penjual aneka rupa. Kami yang gemetar kedinginan (temanku bahkan sudah pucat gemeletuk tak karuan), buru-buru menghangatkan diri di api unggun yang disiapkan warung-warung terdekat.
Aku kemudian berkeliling mencari konten dan mengobrol dengan warga sekitar, berusaha mencari tahu sebanyak mungkin hal-hal baru di sana.
Pukul 1.45 pagi, kami membayar tiket masuk dan tepat pukul 2, gerbang pendakian dibuka. Kami beramai-ramai bersama para pendaki lainnya berjalan tertib dan perlahan. Bagi yang kelelahan dengan jalur yang terjal dan menanjak tajam, bisa mengistirahatkan diri di sebelah kiri. Jalur cepat di sisi satunya makin sepi seiring perjalanan yang makin menantang.
Aku sendiri mulai kehabisan napas setiap beberapa meter. Teman-teman baru yang kemudian menjadi rekan setimku mendukung, dan kami bersama saling menjaga. Saat ada yang dirasa butuh istirahat, kami menepi sejenak, saling memotivasi, lalu lanjut kembali. Begitu terus sampai tak terasa, bau belerang mulai menusuk hidung. Kami berempat serempak mengenakan masker gas yang kami sewa, dan beberapa saat kemudian, ternyata kami sudah ada di dekat kawah hijau toska. Puncak Gunung Ijen! Kami sampai!
Saat itu, pukul 4 pagi, campuran asap belerang, hawa dingin, dan angin menderu menusuk hidung, mata, dan sekujur tubuh kami. Kami berpencar. Aku merasa tak sanggup lanjut melihat blue fire kebanggaan Kawah Ijen, dan akhirnya memilih beristirahat di pos 6, pos terakhir jalur pendakian Gunung Ijen. Aku menghangatkan diri bersama bapak-bapak porter yang rajin meneriakkan, "Lamborghini! Grab! Gojek! Mari sini!" Kondisiku makin membaik, rasa lelah menghilang, aku pun sempat tidur sejenak, dengan kedua teman lainnya menjagaku.
Aku terbangun saat mendengar suara tangis seorang anak kecil. Usianya sekitar 3-4 tahun. Tampak kedinginan, bibirnya membiru. Seorang teman baruku langsung meminjamkan jaket tambahannya. Anak itu akhirnya entah bagaimana bisa tertidur di pelukan orang tuanya. Semoga dia baik-baik saja.
Sementara itu, angin terus memukul-mukul terpal pelindung pos 6. Kami makin merapat, kedinginan. Berbagai cara kami lakukan untuk bertahan, makan mie instan, minum kopi hangat, makan bekal manis yang kami bawa, maupun saling meminjamkan pelindung dingin yang ada.
Aku sungguh bersyukur mendaki bersama mereka. Sebab kalau tidak, aku tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin aku akan memaksakan diri terus maju, tidak berani menyuarakan kelelahanku. Mungkin aku tidak akan bisa tidur sejenak memulihkan diri, sambil merasa tenang karena ada yang melindungi. Mungkin aku takkan sanggup menyetir bolak-balik seorang diri, tanpa dukungan mereka yang mencarikan jalan terbaik di depanku dan menemani.
Setelah aneka penantian dan drama, pukul 6.30, kami berhasil berkumpul kembali. Lanjut melatih lutut kaki untuk mengerem laju saat turun ke bawah tanpa berhenti. Satu jam yang menyenangkan. Aku mendendangkan salah satu laguku, 'Di Balik Topengmu', sepanjang jalan dan berhasil memotivasi diriku sendiri.
Akhirnya, saat berpisah pun tiba. Tanpa kata, kami berbelok ke jalan yang berbeda. Entah bagaimana ke depannya, tapi kawan-kawan, hari ini, sungguh takkan kulupa. Terima kasih atas kebaikan hati, kesetiakawanan, dan ketulusan kalian. Aku, Aisyah, akan selalu mengenang momen ini sebagai salah satu hal terindah dalam perjalanan seumur hidupku.
Meski langkah kita kini menuju arah yang tak sama, jejak kebersamaan tetap tertinggal dalam ingatan. Tawa yang menghangatkan, obrolan di bawah langit malam, serta perjalanan tanpa rencana yang berujung pada kenangan tak terhingga.
Semoga takdir mempertemukan kita lagi, entah di persimpangan lain atau dalam petualangan baru yang tak terduga. Sampai saat itu tiba, jaga diri kalian baik-baik.
Dengan penuh rasa syukur,
Aisyah
Komentar