SAKIT

Rasanya seperti ada di dalam gelembung. Gelap. Mengambang. Mati rasa. Aku mati-matian berusaha menarik diri dari kehampaan. Berusaha menjalani hari senormal orang lainnya. Tapi kosong. Otakku tak mau berpikir. Tangan dan kakiku lemas. Sementara semua di hadapanku berjalan seperti biasa.

Satpam menyeberangkan orang yang lewat. Pasar ramai dengan aktivitasnya. Jalan raya tetap macet seperti biasa. Tapi kenapa pikiranku buntu? Kenapa rasanya seperti beberapa detik setelah disuntik obat bius di ruang operasi? Kebas. 

Aku tak sanggup bicara, tak bisa merasa. Tak mau bertemu siapa-siapa. Kepalaku mau pecah saking ramainya. Semua suara sibuk menyalahkanku. 'Harusnya kamu mati! Pergi! Tak usah kembali!' Lalu berkata, 'Apa kubilang, kamu tak akan bisa pulih! Tinggal menunggu waktu saja sampai kau bersamaku lagi,' sosok bertopeng putih dengan taring kemerahan itu tersenyum culas di benakku. Ia menyumpahiku tak henti-henti. Aku berusaha kabur, tapi tubuh dan pikiranku, seolah tak ada di sini.

Aku butuh pertolongan. Aku tahu aku butuh pertolongan. Tapi uluran tangan pun terasa seperti duri yang menancap di kulitku. Sakit. Melukai. Aku tak mau sendiri, tapi merasa aman di kegelapan dan kesepian ini. Aku masih ingat samar apa yang terjadi saat semua baik-baik saja, namun diriku berontak hanya ingin mati. 

Aku sakit. Aku sakit. Aku menderita. Aku tak mau begini. Aku tidak bisa bernapas. Aku lupa cara menarik oksigen ke dalam diri. Jantung dan paru-paruku seolah berhenti bekerja di luar kemauannya. Otakku panas, konslet, dan lebam. Aku kesakitan.

Adakah orang yang memahami perasaanku saat ini? Adakah yang takkan menghakimi, dan terlebih tahu semua sensasi ini? Aku tak butuh dinasehati, aku ingin dimengerti. Tapi siapa? Aku kembali tertarik ke pusaran pasir hisap di bawah kaki.

Dadaku perih, aku kekurangan udara. Rasanya seperti dicekik. Tolong selamatkan aku. Aku mau pergi dari sini. Aku ingin dipeluk dan dimengerti. Aku ingin dipahami tanpa pandangan aneh dengan sebelah mata kiri. 

Setiap beberapa detik, aku harus mengingatkan diriku sendiri untuk menarik napas. Untuk menghilangkan ketegangan di sekujur tubuh. Untuk bertahan. Untuk menafikan segala suara jahat di kepalaku.

Aku menelepon seorang temanku. Pasti ia masih tidur jam segini. Air mataku menggenang, lalu menetes di pipi. Aku harus bangkit, tapi aku tak sanggup. Tolong aku! Siapapun, tolong. Aku ingin kembali pulih.

Air mata membanjir. Apa ini saatnya aku pergi? Sudah cukupkah waktuku di dunia ini? Dunia akan lebih baik tanpaku. Tanpa seorang yang cacat sepertiku. Semua akan bahagia tanpa kehadiranku.

Dengan harapan terakhir untuk hidup, aku menelepon kembali satu-satu kontak di ponselku. Di panggilan kelima, seorang sahabat menjawab. Bertanya ceritaku. Mendengarkan dengan seksama, lalu meyakinkan bahwa aku masih dibutuhkan di dunia. Belum saatnya untuk menyerah. Aku mulai sadar. Aku kembali bisa bernapas. Sebelum menutup panggilan, ia memastikan aku tahu apa yang harus dilakukan, setidaknya satu jam ke depan. 

Dadaku tidak senyeri tadi. Baik, akan kucoba lagi, melawan semua ini.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)