SESAK
Dadaku sakit. Rasanya bagai ditusuk paku tajam di satu titik. Napasku terhambat. Aku megap-megap mencari udara.
Kucoba berpindah posisi. Suara di kepalaku tertawa.
Dadaku bagai dicengkeram paksa. Kukepalkan tanganku, lalu kupukulkan di dada. Sesak itu menjalar, merobek, mencakar. Mulutku ingin bicara, tapi kepalaku membungkamnya.
Mataku memanas. Aku ingin menangis. Ingin teriak, ingin terisak. Tapi kudengar suara, 'Kamu kuat! Kamu hebat! Kita bisa keluar dari semua ini, lagi!"
Tidak, batinku. Aku capek. Aku kesakitan. Aku mau menyerah saja. Bagaimana caraku melewati semua ini dulunya? Sosok hitam itu mendekat, mengelus kepalaku dengan kuku tajamnya, 'Kamu tak akan bisa. Diamlah, seperti biasa.'
Kupaksakan diriku bangkit. Tanganku gemetar. Kakiku lemas. Badanku menolak setiap perintah otak. Sepertinya, diam dan menyerah lebih mudah. Godaan itu menerpa, seperti ombak menyapu karang.
Aku merindukan candu itu, suara yang bisa seketika membangkitkanku. Tapi aku sadar itu takkan membuatku membaik. Hanya terikat. Aku harus kembali, karena diriku sendiri.
Kupasang penyuara jemala. Kusapukan jemari, memilih lagu yang dulu pernah menyelamatkanku. Nada pertama mengalun, tapi suara di kepalaku masih berisik, mengikis keinginanku untuk bertahan.
Lagu itu terus berputar, melawan gema suram yang membelenggu. Kupejamkan mata. Kuambil napas dalam, meski berat sekali rasanya. Aku harus bertahan, harus tetap ada. Aku tidak ingin kembali tenggelam ke dalam pusaran.
Kubuka mata perlahan. Kuatur napasku, satu tarikan demi tarikan. Tubuhku masih berat, tapi hatiku mulai menggeliat. Aku tidak sendiri. Aku tidak boleh menyerah.
Aku masih hidup. Dan aku memilih untuk tetap hidup.
Komentar