BERPETUALANG DI DESA SULEK

Menghabiskan dua hari di Lajer Pote sebagai volunteer Festival Bibian adalah pengalaman yang tak terlupakan. Desa Sulek, dengan kesederhanaan dan keramahan warganya, menjadi saksi perjalanan ini.

Sejak awal tahun, Mas Taufik dari Lajer Pote sudah mengajakku untuk bergabung di festival tersebut. Aku menandai tanggal di kalender, menunggu momen itu dengan antusias. Seorang teman dari Surabaya yang kebetulan tertarik ikut juga membuat perjalanan ini semakin seru. Kami pun berangkat bersama, siap menjelajah dua hari penuh di Desa Sulek.

Di Lajer Pote, aku bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Setiap obrolan, setiap cerita yang dibagikan, menambah kekayaan pengalaman mental yang tak ternilai. Rasanya luar biasa bisa mengenal mereka, dan aku tak sabar menantikan kisah kami selanjutnya.

Hari Pertama: Menyerap Kehangatan Desa

Perkenalan di tempat baru selalu terasa sedikit canggung, apalagi di desa yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Tapi begitu sampai di Lajer Pote, suasana langsung terasa hangat. Para warga menyambut kami dengan senyuman tulus, menghilangkan perasaan kurang nyaman yang sempat ada. Aku mulai beradaptasi, berbagi cerita, dan membahas aneka budaya desa yang baru kudengar di sana.

Setelahnya, aku mulai menyatu dengan alam. Menghirup udara segar yang penuh aroma sawah dan pepohonan. Belajar memasak dan membungkus makanan, lalu ikut berkeliling desa membagikan nasi. Ada rasa hangat melihat tawa semua orang di sana. Momen langka yang penuh makna.

Malam pertama terasa sangat istimewa. Kami berbuka puasa bersama di Lajer Pote. Ada kehangatan yang mengalir. Duduk sama rata, berbagi makanan sederhana, tapi terasa sungguh luar biasa.

Makin malam, obrolan kami ngalor-ngidul, mulai dari cerita masa kecil hingga cita-cita masa depan. Tidak terasa waktu melesat hingga pukul 2 dini hari. Kebersamaan terasa begitu akrab, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Tawa dan canda tercurah tanpa sekat. Nuansa yang tak kudapat di mana-mana.

Hari Kedua: Menantang Diri dan Belajar Banyak Hal

Pagi kedua dimulai dengan sahur, shalat Subuh, lalu tidur lagi untuk mengembalikan energi. Setelah bangun, aku terlibat dalam obrolan ringan dengan Kak Keyke, teman sekamarku. Kami berbincang tentang begitu banyak hal, tentang kehidupan, tentang keluarga, tentang alam, hingga akhirnya kami bersiap untuk melanjutkan kegiatan hari itu.

Tiba-tiba, beberapa anak desa mengajakku mandi di sungai. Awalnya, aku ragu—seumur hidupku, aku hanya pernah bermain air di sungai, bukan mandi sungguhan. Tapi, dengan antusias mereka yang tidak bisa dibendung, aku akhirnya memutuskan untuk mencoba.

Saat yang tak terelakkan tiba, sebuah pengalaman baru yang membuatku merasa campur aduk antara penasaran dan cemas. Anak-anak yang kekeh mengajakku mandi mencoba meyakinkan, "Tenang saja, Kak! Seru kok!" Awalnya aku ragu, tapi melihat semangat mereka, aku memberanikan diri. Dan ketika akhirnya aku benar-benar masuk ke sungai, semua keraguan itu sirna. Rasa segar air yang mengalir dan kebebasan yang kurasakan membuatku tertawa. Mandi di sungai itu ternyata luar biasa! Sebuah keberanian kecil yang terasa begitu bermakna, memberikan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Semua rasa takutku hilang begitu saja, dan itu menjadi salah satu pengalaman terbaik di sana.

Setelah shalat Dhuhur, aku kembali ke Lajer Pote dan segera diminta mencari daun singkong bersama beberapa teman. Namun, entah bagaimana perjalanan kami malah berujung pada pendakian gunung, melewati sawah, dan mengelilingi desa. Kami menemukan air terjun yang memukau, aneka hewan-hewan lucu, bahkan rumah—yang katanya—angker di jalan. Belum lagi karena kecerobohanku, aku terkena duri bambu penuh di kedua telapak tanganku, nyaris terjatuh berkali-kali, bahkan sempoyongan tak karuan. Tapi aku tetap tenang, sebab teman-teman merawatku penuh perhatian, mengambilkan bunga indah dan aneka buah-buahan—masih terharu mengingat penuhnya tasku dengan hadiah saat itu—menjaga sepanjang perjalanan, memastikan aku aman.

Setelah istirahat sejenak, bebersih dan shalat Ashar, kami kembali membantu di Lajer Pote, membuat kue, membungkus sembako untuk dibagikan, dan menyiapkan sajian untuk buka puasa bersama di hari kedua.

Di tengah semua itu, entah karena kelelahan atau perasaan gundah yang datang tiba-tiba, aku merasa sedikit terguncang. Beruntung, ada kawan baru yang membantu, juga teman dari Surabaya yang selalu ada di sampingku. Peristiwa itu mengingatkanku bahwa sekecil apa pun badai perasaan yang kurasakan, aku harus segera meluapkannya. Menahan perasaan hanya akan membuatnya menumpuk dan meledak. Marah, sedih, kecewa, atau takut, semuanya harus dilepaskan dengan cara sepositif yang aku bisa.

Malam itu, meski belum sanggup makan, melihat kebersamaan di sekitar terasa sangat menyentuh hatiku. Aku jadi sadar bahwa buka puasa bersama itu bukan hanya soal apa yang ada, tapi juga tentang ikatan yang tercipta.

Saat pulang pun tiba. Teman-teman baru mengantarku dengan genggaman tangan erat dan lambaian tangan kuat. Kami berjanji untuk saling menghubungi dan tak saling melupakan meski jarak memisahkan. Mereka mengantarku hingga mobil ambulans, ya ambulans, yang akan mengantarkanku kembali ke rumah. Mataku terasa hangat, air mata rasanya dapat menetes sewaktu-waktu.

Aku pulang dengan hati yang lebih kaya, lebih banyak cerita, dan semangat untuk bertemu mereka lagi di kesempatan berikutnya.

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)