HARU
Ada sebuah perasaan aneh yang kurasakan sekarang. Setiap kali aku bepergian ke luar kota apalagi jika menghabiskan beberapa hari di jalan, dan setiap memasuki batas kota itu, sebuah pagar besar bertuliskan "Selamat datang di Kota Bondowoso", aku merasa terharu. Rasanya seperti kembali ke rumah. Perasaan yang dulu bahkan tak pernah berani kuimpikan. Perasaan yang tadinya sama sekali aku tak tahu bisa aku rasakan untuk tempat ini.
Dulu, Bondowoso hanyalah titik di peta. Kota kecil yang kutinggalkan tanpa beban setiap kali ada kesempatan pergi. Tak ada keterikatan, apalagi rindu. Hanya sekadar tempat pulang yang kutempati sementara sebelum perjalanan berikutnya membawaku pergi lagi. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berubah.
Aku melihatnya dengan cara berbeda. Jalanan yang dulu terasa sempit dan biasa saja kini menyimpan jejak langkahku. Warung nasi di sudut pasar, yang dulu tak pernah kusinggahi, kini menjadi tempat di mana aku duduk, mengamati orang-orang, dan merasakan denyut kehidupan yang akrab. Bahkan udara pagi di sini terasa berbeda—lebih sejuk, lebih ramah, seakan menyambutku setiap kali.
Mungkin karena aku telah memberi sebagian diriku untuk kota ini. Mungkin karena kini aku tahu, pulang bukan hanya tentang tempat, tapi tentang perasaan yang menyertainya. Dan tanpa kusadari, Bondowoso telah menjadi rumah—bukan sekadar alamat, tapi tempat di mana hatiku merasa tenang.
Aku begitu sering merasa rindu. Bahkan saat aku berada di sini, di jantung kota ini. Betapa sering aku mengatakan kepada diriku, aku sungguh menyukai tempat ini. Betapa indahnya dan betapa cocoknya semua ini denganku. Betapa nyamannya hidup dan mengendarai aneka kendaraan di sini.
Dan setiap kali aku pergi, aku selalu ingin kembali.
Bukan karena aku tak ingin lagi menjelajah dunia, tapi karena ada sesuatu di sini yang tak bisa kutemukan di tempat lain. Bukan sekadar jalanan yang kuhafal di luar kepala, bukan hanya langit yang selalu tampak sama, tapi sesuatu yang lebih dalam—sebuah keterikatan yang tak terucapkan.
Bondowoso bukan kota besar dengan gemerlap cahaya atau hiruk-pikuk modernitas. Ia tak pernah berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Dan mungkin itulah yang membuatnya istimewa. Kota ini tidak menjanjikan keajaiban, tapi ia memberikan ruang. Ruang untuk tumbuh, untuk mengenang, dan untuk pulang tanpa rasa asing.
Aku mungkin akan terus berjalan, terus mencari, terus merentangkan mimpi sejauh yang bisa kugapai. Tapi pada akhirnya, langkahku selalu tahu arah pulang. Dan Bondowoso, dengan segala kehangatan dan kesederhanaannya, selalu ada di sana—menunggu, menyambut, dan memelukku kembali dalam dekapannya yang tak pernah berubah.
Komentar