RAGU
Kuawali perjalanan ini dengan keraguan. Entah mengapa hatiku sempat gamang—tentang apa yang akan kutemui, hal-hal yang akan kulakukan nanti, dan apa yang kutinggalkan di sini. Tapi, bukankah perjalanan memang selalu mengandung tanya, setiap kali?
Aku berkendara di gelap buta. Hawa dingin menyeruak, aku menggigil. Namun itu tak menghentikanku. Toko-toko buka, bahkan di saat mentari belum tiba. Orang-orang mulai bekerja. Kulirik jamku, pukul tiga. Pasar ramai, lampu masih menyala di mana-mana.
Aku terpaku sejenak. Hari terus berlanjut—tak menunggu terang. Penjual sayur, tukang becak, pedagang kaki lima, dan pegawai restoran 24 jam—mereka seakan berbisik padaku: hidup tak butuh banyak alasan untuk bergerak maju. Cukup tekad, dan sedikit keteguhan hati. Hanya itu. Maka, meski kakiku terasa berat, aku memilih untuk terus melangkah.
Pagi ini, di sudut Stasiun Jember yang masih sepi, aku menunggu kereta lokal menuju Banyuwangi. Kemudian, Bali menanti. Bukan sekadar pulau seberang, melainkan ruang untuk melepas lelah, menenun cerita, dan menemukan hal-hal yang sempat hilang di antara hari-hari yang begitu padat.
Ada jeda tenang—di antara suara jangkrik dan lampu peron yang redup. Dalam kesunyian itu, aku belajar menerima: tak apa memulai dengan ragu, asalkan tetap mau melaju. Sebab, sering kali, yang kita butuhkan bukanlah kepastian, melainkan keberanian.
Perjalanan ini tak menjanjikan kelancaran. Namun, aku percaya, akan selalu ada hikmah di setiap langkah. Maka, biarlah kereta ini membawaku—bukan hanya ke tempat yang kutuju, melainkan juga kepada diriku yang baru: lebih utuh, lebih teguh dan kukuh.
Komentar