MOMEN PENGAWAS UJIAN (3)
Setelah sekian tahun berlalu,
aku kembali duduk di kursi penjaga ujian—seperti dulu.
Apakah rasanya sama? Tentu tidak.
Tempatnya berbeda, situasinya juga.
Di aula luas, kelas 7 dan 8 bersatu,
kutemukan nuansa yang dulu sempat berlalu.
Ketegangan menggantung di udara,
usaha-usaha halus untuk mencontek samar terasa.
Tatapan khawatir, soal yang salah,
semuanya kembali seperti kisah lama yang ramah.
Namun yang paling mencolok—bukan kertas atau pena,
tapi gawai di tangan, dalam jaringan maya.
Dulu, aku biasa mencoret jawaban dengan tinta,
namun kini tinggal ketuk, kirim, selesai begitu saja.
Bagiku pribadi, menjadi pengawas ujian bukan hal asing,
tubuhku mengenal peran ini tanpa harus dipaksa berpusing.
Menjadi 'guru' terasa alami,
sikap dan cara hadir bagaikan harmoni.
Beberapa anak saling pandang dan berbisik lirih,
ada yang bersandar lelah, memandangi ruang kelas yang bersih.
Tiga puluh menit pertama,
setengah kelas sudah rampung bekerja.
"Apakah soalnya terlalu mudah?" pikirku,
sejenak kuberhenti menatap ke arah pintu.
Atau mereka terlalu terbiasa—
dengan soal daring dan layar penuh tanya?
Bagaimana ya caranya, agar kondisi tetap tenang dari awal hingga akhir?
Sembari mengawasi sudut ke sudut, aku sibuk berpikir.
Tiga puluh menit terakhir terasa paling berat bagiku yang menjaga,
karena ruang mulai tak terkondisikan—namun belum selesai semua.
Rata-rata anak sudah rampung,
tapi waktu masih tersisa panjang.
Apa yang seharusnya dilakukan saat itu?
Diam? Menunggu? Atau menjaga agar tak ada yang terganggu?
Aku teringat masa SMA dulu,
siapa cepat boleh keluar lebih dulu—namun resiko ditanggung sendiri penuh.
Tapi kini, aku ingin menjaga adab sampai akhir waktu,
agar ujian tak hanya menjadi formalitas, tapi juga latihan menghargai segala proses itu.
Apakah sebaiknya detik-detik terakhir diisi dengan makna?
Refleksi ringan, nasihat sederhana, atau penguatan jiwa?
Sebab aku sesungguhnya ingin,
bukan hanya suasana yang tertib,
tapi hati-hati kecil itu turut mengerti—
bahwa diam di akhir bukan hanya menunggu,
tapi cara menghormati waktu, usaha, dan ilmu.
Sungguh, ingin kuberkata pada anak-anak berseragam putih biru di depanku:
"Nak, ujian bukanlah ajang untuk membuktikan kamu pintar atau tidak,
tapi momen pertarungan tak terelakkan.
Pertarungan antara kamu dan dirimu sendiri,
melawan bosan yang datang tak berhenti,
melawan soal yang terlalu mudah hingga membuat lengah,
atau terlalu sulit hingga membuat menyerah.
Dan jika hari ini kamu memilih untuk tetap bertahan,
meski lelah, meski ingin cepat selesai dan pulang,
maka kamu sudah menang, Nak—
bukan karena nilaimu tinggi,
tapi karena kamu berani berdiri,
menghadapi waktu yang tak selalu ramah,
dan tak lari dari proses yang kadang membuatmu lelah.
Sebab sejatinya, kemenangan bukan soal angka,
tapi tentang keberanianmu untuk terus mencoba—meski tak sempurna.
Dan itu… adalah pelajaran paling berharga."
Komentar