PERJALANAN
Melintasi Hijau: Catatan di Atas Rel
Meski sudah beberapa kali kulewati, pemandangan dari balik jendela kereta lokal Pandanwangi jurusan Jember–Ketapang tak pernah gagal membuatku terpukau. Dari kursi panjang berkapasitas tiga orang, mataku dimanjakan oleh bentangan sawah tak berujung, gunung-gemunung yang menghijau, jurang-jurang curam yang memeluk keindahan, hingga terowongan gelap yang memicu debar kecil di dada. Semua elemen itu bersatu, mencipta pengalaman yang ingin terus kuulang—lagi dan lagi.
Perjalanan dua setengah jam ini selalu membawa rasa segar. AC yang sejuk, gerbong yang nyaman, dan panorama berganti-ganti: hutan lebat, sungai berkelok, awan-awan tipis yang melayang malas di langit. Setiap detik terasa ringan, seolah waktu sendiri pun ingin melambat.
Menepi di Ketapang: Gerbang Menuju Seberang
Kereta perlahan melambat, mendekati Stasiun Ketapang. Suasana mulai berubah—langit terasa lebih biru, angin membawa aroma laut yang khas, dan di kejauhan, samar-samar terlihat jejeran kapal bersandar.
Begitu melangkah keluar dari gerbong, aku disambut udara yang berbeda—lebih asin, lebih hangat. Perjalanan belum selesai. Dari stasiun, hanya perlu berjalan beberapa menit menuju Pelabuhan Ketapang. Setapak demi setapak, aku membawa langkahku menuju dermaga, di mana laut menanti untuk diseberangi.
Menyebrang Selat Bali: Di Antara Air dan Angin
Di atas kapal, lautan membentang luas, memantulkan warna langit. Riak kecil menggulung perlahan, seolah mengiringi keberangkatanku. Bau asin air laut, desau angin, dan dentuman pelan mesin kapal menciptakan irama perjalanan yang sunyi, namun dalam.
Aku berdiri di geladak, membiarkan angin membelai wajahku. Pulau Bali terlihat di ujung sana—hijau, megah, dan sedikit berkabut, seolah menunggu dalam diam.
Dalam perjalanan melintasi selat ini, aku merasa ringan. Seperti melepaskan beban, seperti diberi ruang untuk bernapas lebih lega.
Menyentuh Tanah Bali: Langkah Pertama di Gilimanuk
Begitu kapal bersandar di Pelabuhan Gilimanuk, langkahku terasa berbeda. Ini bukan kali pertama menginjakkan kaki di Bali, tapi tetap saja ada getar kecil yang hadir—antara haru dan takjub.
Suasana pagi di Gilimanuk masih lengang. Jalanan belum ramai, tapi aroma dupa dan suara gamelan dari pura kecil tak jauh dari pelabuhan, seakan menyambutku pulang ke tempat yang meski asing, terasa akrab.
Petualangan: Menyusuri Jalan Menuju Barat Laut
Perjalanan belum usai. Dari pelabuhan, aku berjalan kaki beberapa ratus meter—melintasi jalur sunyi, deretan pohon rindang, dan rumah-rumah penduduk yang mulai sibuk menata hari. Langkah demi langkah terasa seperti meditasi. Matahari mulai naik, teriaknya menghangatkan kulit, namun hati terasa ringan.
Sesekali, motor dan truk berlalu cepat, tapi sebagian besar jalan kulewati dalam keheningan. Di kejauhan, tampak papan petunjuk menuju arah bus kecil yang akan membawaku ke barat laut Bali—daerah yang belum sepenuhnya kujelajahi, tapi telah lama memanggil dalam diam.
Aku tak buru-buru. Seperti perjalanan ini sendiri, aku ingin menikmatinya perlahan. Sebab kadang, rasa syukur terdalam justru lahir dari langkah yang paling sederhana.
Komentar