HUKUMAN

Menjalankan masa pengabdian di pondok memang bukan suatu hal yang mudah. Butuh perjuangan, kesabaran, ketabahan, dan terutama sekali, keikhlasan. Ada begitu banyak rintangan menghadang, juga kerikil-kerikil tajam yang terus menghalangi jalan yang berliku. Namun yang terpenting dilakukan adalah berusaha sedapat mungkin untuk melakukan yang terbaik, sembari menghindari kemungkinan-kemungkinan melakukan kesalahan, sekecil apapun.

Seperti yang pernah kualami, ketika itu pernah aku hampiiirr saja menggagalkan pengabdianku. Naga-naganya, aku meninggalkan satu mata pelajaran untuk pergi ke rumah sakit menjenguk nenekku tersayang. Di pondokku, ini adalah suatu kesalahan yang amat berat, apalagi dilakukan oleh guru baru seperti aku. Sialnya lagi, saat itu aku dijadwalkan mengikuti naqdu-t-tadris (saat di mana seorang guru akan dievaluasi, baik metode pengajaran, ketegasan saat pengajar, dan lain-lain), jadi terang saja semua orang dari pengevaluasi sampai bapak pengasuh tahu kesalahan besarku ini.

Segera saja aku dipanggil menghadap bagian KMI untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku. Sebisa mungkin kujelaskan, meski mau tak mau, namaku telah tercoreng oleh kesalahanku itu, dan hukuman yang berat siap menanti di hadapanku. Hari demi hari kujalani penuh rasa takut, jangankan tertawa, untuk bernapas pun rasanya susah!

Akhirnya hari itu pun tiba. Hari yang sudah kunanti, bukan karena keinginan hati, namun karena kutahu pasti akan kutemui.

Bapak pengasuh memanggilku pagi-pagi sekali. Segera kupersiapkan diriku lahir batin, mohon doa keteman-teman sekamar, dan bismillah.. aku berangkat.

Di jalan, aku merasa semua orang memandangku. Mungkin hanya bayangan saja, tapi dalam pikiranku semua orang mengetahui kesalahan dan plus hukuman yang bakal ditimpakan padaku. Aku sempat menggigil. Kukuatkan hati, berani berbuat salah harus berani pula bertanggung jawab, batinku menguatkan diri.

Sesampainya di rumah bapak pengasuh, kulihat beliau dan ibu sudah menantiku di teras depan. Waduh! Tak urung aku gugup dan cemas.

“Assalamualaikum, Ustadz.. Ustadzah..” sapaku pelan.
“Waalaikumussalam.. Duduk!!” tegas bapak pengasuh.
Segera kuambil posisi, duduk sambil menundukkan kepala.

Beberapa saat kemudian – aku lupa berapa lama tepatnya - bapak pengasuh menguliahi aku dengan wejangan dan petuah-petuah kehidupan. Beberapa kali aku ditanya, langsung kujawab seadanya. Sama sekali tak ada niatan dariku untuk membela diri, karena aku sadar sepenuhnya aku memang salah.

Menomorduakan pondok, tidak ada loyalitas, dan belum memahami pondok, itulah diantara beberapa teguran yang kudapatkan. Fyyuuuhhh… Terus terang aku sempat meneteskan air mata, sedih juga ya dimarahi seperti itu… Tapi aku harus tetap tegar dan kuat menghadapi semuanya!
“Ya sudah.. Sekarang kamu kembali mengajar sana, kalau memang ada pelajaran..!!” Aku terdongak.
“Baik, Ustadz.. “ Kucoba tersenyum. “Syukron, Ustadz.. Ustadzah.. Assalamualaikum..”
Aku pun pergi diiringi tatap mata beliau.

Yap, itulah sekilas gambaran sidang yang kualami bersama bapak pengasuh secara langsung. Hukumannya?? Ya… Diluar dugaanku dan semua orang, hukuman yang kudapatkan tergolong ringan dibanding besarnya kesalahanku. Bagaimana tidak?? Bapak pengasuh ‘hanya’ menugaskanku untuk menetap di kantor seharian penuh setiap hari tanpa batas waktu. Itu saja.. Padahal aku dan teman-teman sudah menyangka yang tidak-tidak. Seperti dimutasi, diskors, ditunda pengabdiannya, atau bahkan dipulangkan. Na’udzubillahi min dzalik..

Jadi pada akhirnya, semua berjalan baik. Hukuman yang diganjarkan berusaha kujalankan sebauk-baiknya… sambil terus berusaha mengevaluasi diri. Semua ini benar-benar jadi pengalaman berharga yang takkan kulupakan selamanya, Insya Allah…

Komentar

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)