KONFLIK YANG TAK KUNJUNG BERAKHIR
Bulan Maret 2011 terasa sangat panas di kampus UIN Maliki Malang. Memang, sejak tahun 2008 hingga sekarang, tak ada Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) yang tak ricuh. Tampaknya tahun ini menjadi catatan paling buruk perjalanan sejarah Pemira di kampus abu-abu ini.
Pasalnya, pasca pembekuan BP2R oleh Wakil Rektor III, aksi terus saja berlangsung. Puncaknya, Jumat 18 Maret 2011, diadakan audiensi untuk menindaklanjuti pembekuan BP2R.
Acara diawali dengan pembacaan surat keberatan PP atas keputusan PR3 hari sebelumnya. PP juga menyatakan dengan tegas bahwa mereka siap menyukseskan pemira UIN Maliki, dan menolak adanya politisasi konflik antar organisasi ekstra.
Selanjutnya Mujaid Kumkelo memulai audiensi antar partai dan BP2R, dengan tujuan tegas menyelesaikan semua permasalahan yang telah terjadi beberapa hari terakhir ini. Ia menyatakan bahwa rektor akan mengeluarkan SK terkait pendampingan semua unsur dalam pemilu, semacam lembaga pengawas dan penindak undang-undang Pemira. Menurutnya, sesuai hukum progresif, sesungguhnya hukum itu diciptakan untuk kemanusiaan dan ketertiban, bukan penindasan.
Adhoc setelah itu mengemukakan bahwa audiensi ini diadakan karena ada kesepakatan-kesepakatan yang dilanggar oleh masing-masing pihak. Padahal, semua sudah sepakat untuk menyukseskan pemira. Ia menambahkan bahwa seharusnya tiap pasal yang sudah dibahas mendalam dalam kongres, sehingga waktu 3 hari, molor jadi 5 hari dianggap sudah cukup. BP2R sendiri dibentuk sebagai pengisi vacuum of power di republik mahasiswa. Maka dia mengharap supaya kepentingan pribadi dilepas dulu pada kesempatan ini.
Suasana agak memanas. PP membantah bahwa pihaknya ingin menggagalkan pemira. Mereka mengatakan: pihaknya tentu saja tidak bisa diam bila ditindas. Mereka menekankan keadilan dan kejujuran dalam penindakan pihak yang bersalah. PMB menyela: bahwa bukan saatnya lagi bicara siapa yang salah dan benar, tapi seharusnya bicara tentang pemira yang akan dilaksanakan. Mujaid Kumkelo kembali urun suara: Bila bicara konstruktif-akademis, semua harus menggunakan penafsiran yang jujur, sensitivitas hukum, dan sikap yang dewasa. Sebaiknya tidak usah menoleh lagi ke belakang.
PP bersikukuh dengan pemberian hukuman apapun yang terjadi, sedangkan BP2R bersikeras menyatakan sudah bersikap tegas, sebelum dibekukan. PMB menegaskan keinginannya untuk mengganti BP2R, sedangkan perwakilan dari PKDM justru tak berkomentar apa-apa.
Situasi memanas. Pasalnya? Apakah penggantian BP2R diluar kongres itu sah atau tidak?
Aziz menengahi dengan pernyataannya, bahwa apabila membincang masalah hukum, sidang siang ini juga inkonstitusional karena tidak memiliki landasan hukum. Ia menyarankan agar semua pihak bersikap legowo agar permasalahan dapat terselesaikan secepatnya.
Setelah dapat ditenangkan, peserta sidang membuat sedikit kemajuan dengan menetapkan bahwa BP2R dan Panwaslu sepenuhnya diganti, dengan perwakilan dua orang dari masing-masing partai.
Perwakilan berdasarkan keputusan partai, dan diharapkan berkumpul di kemahasiswaan Senin, 21 Maret 2011 untuk langsung menentukan struktur BP2R baru, dan aturan-aturan pemira. Sedangkan untuk P3R-U dan P3R-F diputuskan tidak diganti dan melanjutkan yang sudah ada.
Masalah kembali muncul saat penetapan akan dimulai dari mana pemilu diulang. Apakah dari awal masa pencalonan tiap partai, atau hanya mulai kampanye dialogis BEM-U yang dianggap tidak sah karena hanya dihadiri oleh wakil pihak PKDM saja. Keadaan kembali ricuh, bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Begitulah gambaran audiensi antar partai, BP2R, dan Kemahasiswaan selaku wakil Pembantu Rektor III kemarin (18/3). Keputusan audiensi itu tampaknya akan kembali menimbulkan konflik yang lebih parah.
Bisa dibayangkan, dalam sebuah lembaga tertinggi untuk mengatur jalannya Pemira ini masih diserahkan kepada partai yang cenderung membawa kepentingan masing-masing pihak. Apalagi, pembentukan BP2R yang baru ini juga bertugas menindak tegas dan memberikan hukuman terhadap pihak/partai yang dianggap melanggar UU Pemira. Sedangkan dalam keanggotaan BP2R sebelumnya saja, terdapat konflik-konflik internal karena perbedaan ideologi dan latar belakang.
Akankah lembaga yang sama dengan keanggotaan yang berbeda (tapi sama) ini mampu mengesampingkan kepentingan partai dan bersama-sama menentukan keputusan bijak bagi semua pihak? Kita tunggu saja, semoga bom kepentingan itu tak lagi meledak. [Cha]
Komentar