POLISI: ANTARA AKTOR DAN PERAMPOK!
Beberapa hari yang
lalu, tepatnya ketika awal puasa, saya dan seorang teman bersepeda motor berdua
mengurus beasiswa yang -katanya- akan cair hari itu. Awalnya kami bingung
hendak kemana, namun akhirnya diputuskan untuk menuju Bank BRI Pusat di Jalan
Terusan Kawi.
Semua berjalan
lancar, tanpa melihat kenyataan bahwa beasiswa yang dijanjikan sama sekali
tidak ada. Meski kecewa, kami berdua pun meneruskan perjalanan. Tak dinyana,
saat hendak berbelok ke arah Alun-alun kota, temanku yang saat itu membonceng
di depan memotong jalan dari tengah. Sudah dapat diduga, polisi yang berjaga di pojok jalan segera
mengejar dan memberhentikan kendaraan kami.
"Silahkan ikut
ke pos," tegasnya setelah meminta SIM dan STNK.
Setelah memutari
jalan satu arah tersebut, kami pun sampai di pos polisi. Temanku, yang mengaku belum pernah sekalipun
ditilang sebelumnya, terlihat agak gugup. Saya mencoba menenangkan. Maklum,
rekor ditilang saya selama ini sudah lumayan banyak. Jadi, bisa dibilang,
saya sudah hapal diluar kepala proses dll dll yang berlangsung selama proses
tilang-menilang.
Hal sama yang selalu diulang. Dimulai pengambilan SIM dan STNK
(kalau ada). Kalau tidak ada, wah, bisa parah sekali prosesnya nanti. Tapi jangan
kira bila SIM dan STNK lengkap anda bisa melenggang tak kurang suatu apa.
Pemeriksaan lain dilanjutkan. Dalam konteks seperti kami, maka disambung
dengan penyebutan pelanggaran, ditambah
menunjukkan buku entah apa namanya yang berisi pasal-pasal dan denda yang akan didapat bila melanggar.
Biasanya nominal yang tercantum dapat langsung meghilangkan selera makan. Yah,
ambil contoh saja, pelanggaran memotong jalan, dikenakan denda 500.000 rupiah
atau penjara bla-bla-bla. Setelah puas menakut-nakuti pelanggar, maka petugas
yang bersangkutan, akan meminta pelanggar untuk menghadiri persidangan yang
telah ditentukan jadwalnya. Bila pelanggar bersedia, beres. Mungkin hanya pemberian
kuitansi atau apalah terkait persidangan. Tapi yang lebih umum adalah proses
kebalikannya. Maksudnya adalah, hmm, saya menyebutnya' jalur belakang.' Bila
pelanggar berhalangan, secara langsung atau tidak, untuk mengikuti persidangan
dengan berbagai alasan, maka petugas akan
menyebutkan jumlah minimal yang bisa dibayarkan kepada petugas tersebut,
untuk 'dititipkan' ke pengadilan. Jumlah ini beragam, mulai seikhlas hati
pelanggar hingga sesuka hati petugas. Hal inilah yang paling membuat saya
gemas, karena ketidakjelasannya.
Sayang seribu
sayang, teman saya kali itu benar-benar tidak beruntung. Petugas 'meminta',
lebih tepat: memaksanya untuk membayar total setengah dari tuntutan. Yap,
250.000 rupiah. Jumlah yang cukup besar (saya saja selama ditilang berkali-kali
belum pernah didakwa sebesar itu) menurut kantong mahasiswa. Tak pelak, saya
langsung pucat pasi saat teman saya mengiyakan, dan menyerahkan jumlah yang
diminta. Tuhan! Saya tidak menyangka ia membawa uang sejumlah itu di dompetnya,
"Kenapa kamu
gak menolak saja, atau, paling enggak, menawar jumlah tadi?" sesal saya
saat keluar dari pos polisi. Teman saya hanya
tersenyum. "Sudahlah.."
ucapnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Hhhhh… Sungguh tidak tega, sumpah! Apalagi saat kemudian ia
menjelaskan bahwa uang itu hendak dipergunakan
membeli tiket pesawat untuk kepulangan. Hmm, sebenarnya saya ingin
sekali membantu menyumbang uang tilang, tapi apa daya, keuangan sama sekali tak
memungkinkan.
Maka dari itu, wahai
pak polisi yang terhormat! Dengan ini saya, sekadar menyampaikan sebuah curahan
hati warga pengguna jalan yang,
'bersalah' hingga harus, anda tilang. Pahamkah anda, perasaan kami...?
Komentar