RIO DAN KENANGAN MALAM ITU

"Kita mau kemana malam ini..?"
Suaranya renyah memecah sepi. Aku menoleh.
"Sesukamulah," acuh tak acuh aku menjawab.
Ia tersenyum sabar. Menyalakan mesin motor perlahan, lalu menganggukkan kepalanya, perintah tak langsung bagiku untuk naik.

Lagi-lagi, ia membawaku berkeliling. Tempat dan jalan yang sama setiap kali, namun entah mengapa aku tak kunjung bosan. Hal yang tak sekalipun kuungkapkan. Mungkin karena gengsiku yang memuncak, bahkan untuk sekadar mengungkapkan betapa berharganya waktu yang ia luangkan untukku. Perhatian-perhatian kecil itu, kebebasan yang ia beri, kesabaran atas segala tingkah menyebalkanku. Tak pernah ada seorang yang memperlakukanku sepertinya, kecuali mungkin, kakakku tersayang yang kini telah pergi jauh meninggalkanku. Menyisakan pekat hampa di hatiku, yang selama ini kuisi dengan nama dan sayang hanya untuknya. Dan kini, aku disini bersama seorang asing, yang, bahkan baru kukenal setelah usiaku menginjak kepala dua.

"Kenapa diam? Apa yang kau pikirkan..?" Lamunanku buyar.
Dari boncengan belakang motor, kupandang hampa sosok itu. Yang entah bagaimana, selalu mengisi waktu dan hari-hariku belakangan ini. Soal hati? Tak tahulah, aku tak terlalu peduli. Aku hanya merasa aman di sampingnya, itu saja kurasa.
"Ehhmmm…" ia berdehem. "Kemana lagi perginya pikiranmu malam ini, Cha?" Senyum itu lagi.
"Kenapa senyum-senyum?!" sengit kujawab tanyanya. Entah, aku selalu merasa aneh menatap senyumnya.

Entah, entah, dan entah. Mengapa kalimatku dipenuhi kata itu? Aku sendiri tak lagi yakin pada diriku saat ini. Sungguh bukan aku yang kukenal. Yang selalu percaya diri dan tak pernah ragu dalam setiap keputusannya. Yang tak sekalipun mau bergantung pada siapapun dalam hidupnya, yang tak suka bermanja-manja. Maka siapakah aku kini? Aku bingung, lengang dalam hatiku.

"Rio.." Kupaksakan bibirku untuk tersenyum tipis. "Bisakah kita berhenti sejenak, mungkin di pinggir jalan itu? Aku merasa, sedikit lelah.." Ia segera mengangguk.
Salah lihatkah aku, saat kutemukan secercah sorot khawatir di matanya, setiap kali? Salah pahamkah aku, bila ia kelihatan cemas, bila hal-hal buruk terjadi padaku?
Aku menghela napas panjang.
"Ada apa, Cha?"
Kugelengkan kepala. "Tak ada apa-apa.."

Berdua terduduk di tepi jalanan ramai, dalam keheningan malam yang membekukan. Cahaya bulan malu-malu muncul, namun tak cukup kuat untuk menerangi hatiku yang pekat. Kembali kurasakan dorongan itu, yang sering muncul akhir-akhir ini. Keinginan kuat untuk menanyakan, apa sebenarnya yang ia rasakan? Apa sebenarnya yang ia pikirkan? Hal-hal yang tak pernah ia ungkapkan.
Aku kembali merenung.

Selama ini dengannya, aku selalu mendominasi pembicaraan. Menceritakan segalanya, mengadukan semuanya. Tapi tak pernah kutemukan keluhan itu. Protes itu. Aku gamang.
Lagi-lagi, kami berbincang dalam diam. Tanpa kata, tanpa nada. Hanya ada rasa tenang menjalar, tak tahu dari mana datangnya.
Kini aku benar-benar ingin tahu, apakah ia juga merasa sepertiku?

***

Sebuah motor berpenumpang tiga, melintas. Tak disangka, berhenti tak jauh dari tempat kami. Entah, perasaanku tak enak. 
"Rio.."
Ia menoleh, lalu mengangguk. Seolah memahami maksudku. Kami beranjak.
"Mau kemana kalian?!" Suara keras itu, berada tak lebih tiga langkah dari kami, kini.
Dua orang bergaya punk, dengan tindik dan tato di sekujur badan, perlahan mendekat.
"Jangan coba-coba teriak, kalau tak mau ada nyawa melayang malam ini!" Selangkah lagi, dan tak ada jarak diantara kami.

Rio tampak tegang. Aku menatap hampa. Tak ada rasa takut di hatiku, hanya kosong. Aneh.
Namun kilauan pisau itu menyilaukanku. Begitu dekat. Aku mulai khawatir, tapi tetap diam merapat di sisinya.
Ujung pisau menari-nari di depan Rio. Aku hampir tak bernapas.
"Jangan banyak omong! Keluarkan semua isi dompet!" Rio digeledah kasar. Aku tak beranjak.
"Mana hape kamu?!" Pisau itu kembali mengacung. Tampak jelas sang empunya belum berpengalaman, pisau itu bergoyang tak tetap. Aku makin cemas.

Rio tak bergeming.
"Saya tidak bawa hape, Mas."
Ia teguh pada pendiriannya. Aku mematung.
Tiba-tiba, craaasssshhhhh! Begitu aku sadar, yang kulihat hanya cairan kemerahan mengalir dari telapak tangan Rio. Aku meradang.
"Masih mau bohong?!! Haahhh!!" Teriakan demi teriakan bersahutan. Apapun yang dipikirkan para pengendara yang melintas di jalan depan kami, mereka sama sekali tak peduli, atau tak mau ikut campur. Sungguh tak bisa diharapkan.
 
Kurogoh tasku.
Dalam satu gerakan, kukeluarkan hapeku.
"Dia gak bawa. Ambil saja hape saya," kudengar suaraku begitu kering. 
Mereka mengalihkan perhatian padaku. Senyum miring itu mendekat, hanya beberapa senti jaraknya dari wajahku.
"Boleh juga.." Direbutnya hape di tanganku dengan kasar.
"Apa lagi isi tas itu?!!" Tasku berpindah tangan dalam sekejap. Aku diam, toh hanya ada buku di dalamnya. Aku hanya mengkhawatirkan motor, dan telapak tangan Rio, yang tak henti mengucurkan darah. Mataku memanas.
Bodoh! Aku tak boleh menangis. Tidak sekarang, dan tidak di tempat ini!
"Tidak ada apapun.." Tasku terlempar.
"Ingat! Tetap diam disini! Berani teriak, bukan hanya tangan yang akan kami lukai!"
Mereka berlari pergi, di bawah sorot rembulan yang redup, seolah merasa bersalah tak mampu melindungiku.

Aku tak habis pikir, motorku bahkan tak tergores sedikitpun.  Kuulang tahmid dalam hati.
Di sampingku, Rio mengaduh pelan. Aku segera tersadar.
Kuulurkan tanganku, gemetar. "Bagaimana tanganmu..?" Tak kuasa kulihat torehan itu, dalam memanjang di telapak tangannya. "Aku.. Maaf.." Setitik air mata mengalir sebelum dapat kutahan.
Aku menunduk dalam.

Rio menghela napas perlahan.
"Sudahlah.. Untuk apa kamu minta maaf?" ia mengusap lembut noda basah di pipiku. Aku terjajar mundur. Kaget.
Kutatap Rio, wajahnya yang tampak pucat, meringis menahan sakit. Sadar akan arah pandangku, ia tersenyum.
"Aku tak apa.. Hanya luka luar kok," Senyum itu, lagi.
Dikuasai emosi, aku berdiri. Orang ini!
 "Terserah, aku tak peduli. Yang jelas aku yang menyetir pulang malam ini!" geramku. Bisa-bisanya ia bilang begitu. Dasar bodoh! Aku merutuk dalam hati.
"Itu tidak mungkin.. Bagaimanapun, aku yang membawamu kesini. Aku yang akan mengantarmu pulang juga." Ia bangkit menuju motor yang terparkir diam.
"Kamu…"
"Ssssshhhh…" sebuah jari menempel di bibirku. "Ayo pulang,"
"Kamu, percaya kan, kalau aku bisa membawamu pulang dengan selamat, dengan kondisi seperti ini sekalipun..?" matanya beradu pandang denganku.
Kulihat ketulusan disana. Seketika kata-kataku lenyap. Entah kemana.

Komentar

Asri Aisyah El Zahra mengatakan…
Terima kasih... Memang berdasarkan kisah nyata yg mengharukan..

Baca Tulisan Aisyah El Zahra Lainnya

SEROJA

GELAP

SURAT (3)