Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2024

旅の途中 (Tabi no Tochū)

ある日、サクラは小さな町を出発しました。 (Aru hi, Sakura wa chiisana machi o shuppatsu shimashita.) 彼女は自分を見つけるために、遠くの山へ向かうことに決めました。 (Kanojo wa jibun o mitsukeru tame ni, tōku no yama e mukau koto ni kimemashita.) 道を歩きながら、サクラは風の音や鳥のさえずりに心を癒されました。 (Michi o aruki nagara, Sakura wa kaze no oto ya tori no saezuri ni kokoro o iyasaremashita.) 途中で出会った村人たちは、温かい笑顔で彼女を迎えてくれました。 (Tochū de deatta murabito-tachi wa, atatakai egao de kanojo o mukaete kuremashita.) 「人生は旅のようだ」とサクラは思いました。 ("Jinsei wa tabi no yō da" to Sakura wa omoimashita.) 最終的に、山に到達したとき、彼女は満足感と平和を感じました。 (Saishū-teki ni, yama ni tōtatsu shita toki, kanojo wa manzoku-kan to heiwa o kanjimashita.) それは長い旅の中で見つけた、自分自身の場所でした。 (Sore wa nagai tabi no naka de mitsuketa, jibun jishin no basho deshita.)

THE SIMPLE SECRET

Characters: Cha – A thoughtful, curious person Max – A wise friend who enjoys simple pleasures One day, they make a conversation... Cha: "Max, I've been thinking a lot lately... How do I find happiness? It seems like everyone is searching for it, but I just can't seem to figure it out." Max: "Happiness, huh? It's a tricky one. But I think you're looking for it in the wrong places." Cha: "Wrong places? What do you mean? I thought it was about success, or having more things... or maybe traveling to exotic places?" Max: "All of those things can bring joy, but they don’t bring true happiness. You see, happiness is not about what we have or where we go. It’s about what’s inside us, in the moments that make us smile." Cha: "That sounds simple, but is it really that easy?" Max: "Well, let me ask you this—when was the last time you felt truly happy, just from the small things?" Cha: "Hmm... I guess when my friend ...

السعادة في قلبك

في قرية صغيرة، عاش علي. كان يحلم بأن يكون سعيدًا، لكنه لم يعرف كيف يحقق ذلك. في يوم من الأيام، قرر الذهاب إلى الجبال ليسأل رجلاً مسنًّا عن السعادة. قال علي: "كيف أجد السعادة؟" أجاب الرجل: "السعادة في قلبك. لا تبحث عنها في المال أو الأشياء الكبيرة، بل ابحث عنها في اللحظات البسيطة التي تجعلك تبتسم." فهم علي النصيحة وبدأ يقدّر الأشياء الصغيرة: ابتسامة صديق، كلمة طيبة، ومناظر الجبال الجميلة. منذ ذلك اليوم، شعر علي بالسعادة لأنه اكتشف أن السعادة موجودة في داخله.

JINGGA

Kusapa warna jingga, penuh pesona Bak mentari lembut jelang senja Mengiring langkah di ufuk sana Menghangatkan jiwa yang lama hampa Kusapa warna jingga, pengobat lara Melenyapkan bayang kelam luka Dalam cahayanya, harapan menyala Kusapa warna jingga, magis menggema Raguku, mungkinkah semua ini fana Atau sinarnya kan abadi selamanya

SORE

Suatu sore, kebahagiaan lahir tanpa rencana, kehangatan menyelimuti tanpa jeda. Gelak tawa membumbung di udara, bersama angin membawa aroma pasir dan lautan yang mempesona. Dari bangku kayu, senyum lirih terukir, tatapan lembut melayang tanpa akhir. Dalam hati, ia memahami maknanya, bahagia hadir di tempat yang sunyi, dalam bentuk yang abadi.

JEJAK

Udara masih dingin saat Bapak Jaka memulai pekerjaannya. Gelap melingkupi pantai. Ia hanya ditemani desiran ombak dan sesekali, lampu perahu nelayan di kejauhan. Tangannya cekatan mengayunkan sapu lidi, mengumpulkan sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan pengunjung: botol plastik, kertas makanan, kadang juga sandal yang kehilangan pasangannya. Baginya, pantai yang masih sunyi adalah bagian paling indah dari hari. Tanpa jejak kaki, pasir tampak suci, memantulkan sinar purnama yang perlahan memudar. Ia selalu berpikir, bagaimana mungkin keindahan ini sering diabaikan? Namun setiap pagi, bukan hanya tugas yang menyambutnya. Di antara gelap, ada misteri kecil: seorang gadis muda yang selalu duduk di batu karang sembari menggenggam buku catatan. Bapak Jaka penasaran. Mengapa gadis itu selalu ada sepagi itu di sana? Pada suatu hari, keberaniannya mengalahkan rasa segan. "Nak, apa yang kamu tulis di sana?" tanyanya, menyeka keringat di dahinya. Gadis itu tersenyum kecil, lalu menjawa...

TERBANG

Butiran embun pagi masih menempel di tubuh kecilku. Aku tergeletak di bawah, sayapku terluka setelah gagal mencoba terbang. Rasa sakit membuatku ingin menyerah. “Ciu, kamu di mana?” Suara itu lembut, penuh kekhawatiran. Aku ingin menjawab, tapi hanya bisa berkicau lirih. Tiba-tiba, bayangan besar menghampiriku. “Astaga, Ciu! Kenapa sayapmu begini?” Tangan hangat meraihku perlahan, menyelimutiku dengan kain lembut. Itu Rani, gadis yang selalu mengisi hariku dengan keceriaan. Rani membawaku ke rumah. Ia membersihkan sayapku yang kotor, mengoleskan sesuatu yang hangat dan menyembuhkan. “Kamu pasti bisa terbang lagi, Ciu. Tapi, kamu harus sabar, ya...” katanya sambil tersenyum. Hari demi hari, Rani melatihku perlahan. “Ayo, Ciu. Coba bentangkan sayapmu.” Suaranya penuh harapan. Aku takut jatuh lagi, tapi tatapan Rani memotivasiku. “Aku percaya padamu.” Dengan gemetar, aku mencoba mengepakkan sayap. Awalnya sakit, tapi kemudian terasa lebih ringan. “Kamu bisa, Ciu!” serunya penuh semangat. ...

PASAR

Setahun tinggal di Bondowoso, akhirnya pagi ini aku melangkah masuk ke Pasar Induk—tempat yang selama ini hanya kulihat dari kejauhan. Udara dipenuhi aroma rempah bercampur tanah basah, sementara suara tawar-menawar dan gelak tawa menghidupkan suasana. Ada sensasi yang sulit dijelaskan: aku takjub, kagum, sekaligus sedikit terkejut. Pasar ini seperti cermin yang memantulkan kenangan masa lalu. Saat Bondowoso hanyalah nama tanpa arti, pikiranku selalu penuh dengan rencana untuk pergi. Tapi kini, entah kenapa, aku memilih untuk menetap di sini. Seorang nenek terlihat sibuk merapikan dagangan di lapaknya, sesekali tersenyum pada pembeli yang datang. Aku terdiam, mengamati detail yang sebelumnya luput dari pandangan. Ada kesederhanaan dalam tiap gerak, semangat dalam setiap percakapan. Tempat ini menawarkan kenyamanan yang berbeda, seperti pelukan halus dari masa kecil yang nyaris terlupakan. Di depan penjual kain, aku berhenti. Sebuah baju batik kecil menarik perhatian, sederhana namun pe...

WHISPERS OF THE PAST

In the heart of a small, quiet town, Where the streets are worn and the sun beats down, I walk again, through roads I knew, Where my childhood dreams once grew. The trees still hum their gentle song, Their shadows tall, their arms so strong. The river flows as it did before, But its voice seems softer, its secrets more. Each corner speaks of days long gone, Of laughter, tears, and a youthful dawn. Here’s the park where I used to play, Where joy and sorrow chose to stay. I see the house with the faded door, Its creaking hinges, its scuffed-up floor. Inside, the echoes of love and pain, A family’s story in sunshine and rain. The faces I knew, they’re shadows now, Their whispers brush my furrowed brow. The past is here, it’s woven tight, In every corner, in every light. But standing here, I feel the glow, Of what I lost and what I know. This town, this place, it holds my heart, A piece of me, a sacred part. Though memories sting, I smile still, For this small town shapes my will. It taugh...

كن نفسك

في أحد الأيام، حلّق غراب في سماءٍ واسعة. كان الغراب يحب الطيران بعيدًا، لكنه كان يشعر بالحزن لاعتقاده بأن صوته ليس جميلاً كصوت باقي الطيور.   وفي يومٍ ما، سمع الغراب صوت بلبلٍ جميلٍ يُغني على أغصان شجرةٍ وارفة.  فكر الغراب: "يا ليتني أستطيع الغناء كهذا البلبل! صوتُهُ رائعٌ جدًا."   اقترب الغراب من البلبل وقال: "أيها البلبل، أنا معجبٌ بصوتكِ كثيرًا. هل يمكنكِ تعليمي الغناء مثلكِ؟"   ابتسم البلبل وقال: "لا أستطيعُ تعليمكِ، لكن إنْ أردتَ، يمكنني مساعدتك في إيجاد صوتك الخاص."   سأل الغراب بدهشة: "كيف أجد صوتي الخاص؟"   أجاب البلبل: "لكل طائر صوتٌ خاصٌ به. عليك أن تفخر بما لديك. لا تحاول تقليد الآخرين، بل كن نفسك."   تأمل الغراب في كلام البلبل. ثم بدأ يغني بصوته الخاص، وكان صوته جميلاً بطريقةٍ مختلفة. اكتشف الغراب أنه لا يحتاج لأن يكون مثل الآخرين ليكون مميزًا.   منذ ذلك اليوم، أصبح الغراب سعيدًا بصوته الخاص، وبدأ يغني بصوتٍ عالٍ، بينما كان البلبل يستمع مبتسمًا.

SURABAYA

Icha berdiri di sudut terminal Surabaya, memandangi keramaian yang seolah tak pernah berhenti. Ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Setahun lalu, dia datang ke kota ini dengan rasa takut yang luar biasa, penuh kecemasan tentang kemampuannya bertahan sendiri. Saat itu, dunia terasa begitu besar, dan dia merasa terlalu kecil untuk menghadapinya. Namun, saat ini, semuanya berbeda.   Surabaya kini tidak lagi sekadar kota besar yang menakutkan. Icha sudah banyak berubah—tak lagi membiarkan ketakutannya menuntun langkah. Setiap sudut kota ini membawa kenangan tentang betapa jauh dirinya sudah berubah. Ketika pertama kali tiba, dia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah lautan lepas. Sekarang, meski masih ada rasa asing yang menempel, Icha merasa lebih kuat. Kakinya melangkah dengan mantap, meski tak bisa dipungkiri, ada sedikit kegamangan di hatinya.   Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari rumah. "Icha, kami butuh kamu. Semua tidak sama tanpa kamu di...

SEPEDA

Dari kecil, aku suka sepeda, Teman setia ke mana saja. Tak perlu bensin, tak perlu biaya, Hanya aku dan jalan yang terbuka. Sayang, waktu beranjak dewasa, Sepeda pun tinggal cerita. Di kota baru, langkah menggantinya, Berjalan kaki jadi biasa. Liburan tiba, aku kembali, Menyusuri kota yang damai sekali. Udara segar, polusi tak berarti, Ah, kapan lagi bisa begini? Sepeda impian selalu kunanti, Tapi entah kenapa tak kunjung terbeli. Padahal menabung sedikit demi sedikit tiap hari, Entah kapan kupunya, nanti. Namun aku sadar satu perkara, Sepeda kini bukan untuk semua. Orang bertanya-tanya, “Kenapa?” “Naik sepeda? Apa tak punya kendaraan lainnya?” Mereka lupa, sepeda tak cuma roda, Ia adalah jalan ke dunia yang lebih lega. Lebih sehat, lebih sederhana, Dan semua pun berterima kasih padanya. Bayangkan bila banyak yang sadar, Mengayuh sepeda di jalanan besar. Tanpa asap, tanpa bising yang gentar, Lingkungan tersenyum, udara pun segar. Tapi, aku tahu, ini tak mudah, Dunia seringkali terjebak...

PERMATA (2 - TAMAT)

Malam itu, setelah makan malam, Rio bersandar di sofa, memandangi Icha yang sibuk memindahkan pot tanaman kecil dari sudut ruang tamu ke sudut lainnya. Kebiasaan lamanya. Ia tersenyum tipis. Betapa Icha selalu mencari "sudut sempurna," meski Rio tahu esok pagi tanaman itu akan digeser lagi. "Sayang..." panggil Rio lembut, suaranya nyaris tak kedengaran. "Hmm?" Icha menoleh. "Mas mau tanya..." Rio berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat. "Kamu bahagia, tidak?" Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang. Membuat riak di hati Icha. Ia terdiam, menatap hampa, seperti mencari jawab di sela jari-jarinya. "Kenapa nanya begitu, Mas? Kita kan baik-baik saja," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang ia paksakan. Rio tersenyum samar, tapi matanya tajam menembus dinding perasaan yang coba Icha sembunyikan. "Kadang Mas merasa... kamu masih menyimpan banyak hal yang membuat...

DISKUSI

Diskusi Ruang Aman Milik Bersama Edisi 16 HAKTP - Kulon Project Bondowoso Toko Kopi Sinisuka, Kota Kulon  7 Desember 2024 Dalam rangka mendukung Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), diskusi ini membicarakan bagaimana menciptakan ruang aman, terutama di ruang publik. Berikut adalah poin-poin utama yang dibahas: 1. Kenali Ancaman di Sekitar Pelecehan verbal seperti cat calling sering dianggap hal biasa, padahal itu adalah ancaman nyata yang sering diabaikan. Penting untuk tahu potensi risiko di ruang publik dan memetakan ancaman ini untuk melindungi diri. 2. Hadapi Pelaku dengan Tegas Kalau memungkinkan, tegur pelaku secara langsung. Tapi kalau situasinya tidak aman, lebih baik segera tinggalkan lokasi. Untuk orang sekitar, jangan diam. Tegur atau ingatkan pelaku secara proaktif, karena ini bisa menghentikan perilaku buruk itu. 3. Jauhi Lingkungan Tidak Sehat Saat pelaku atau lingkungan tidak berubah, jauhi dan hindari tempat tersebut. Dalam hubungan pribadi yang toxic , p...

RENTA

Bis itu menderu sangat kencang. Dengan nekat, ia menyalip ke kanan dan ke kiri kendaraan di depannya. Asap rokok membumbung. Diiringi deritan engsel-engsel dalam bis yang sudah renta, para penumpang yang bermacam-macam silih berganti naik dan turun. Bis itu menghela napas panjang.  Baru saja sesosok kakek menumpanginya, membawa aneka benda yang tampak seperti oleh-oleh bagi keluarga di desa. Ia duduk di samping seorang wanita, yang memakai hijab hitam dan termenung menatap jalan di depannya. Sesekali ia menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Bis itu pengap, panas. Bercampur dengan polusi yang dikeluarkannya, panas mentari di atasnya, dan aroma berbagai benda di dalamnya.  Pendingin udara? Apa itu? Bis yang entah diproduksi tahun berapa itu harus merasa cukup hanya dengan kemampuannya berjalan tanpa mogok di tengah jalan. Kenyamanan bukanlah prioritas, satu-satunya hal yang penting adalah kecepatan sampai di tujuan. Lagi-lagi, bis itu terbatuk-batuk. Memuntahkan asap hitam k...