Postingan

BAHAGIA

Kutemukan bahagia setelah sekian lama Ternyata perjuangan ke sini dan ke sana Aku tak tercipta untuk diam seperti ratu saja  Meski punya raja yang memberikan segalanya  Dari kecil, aku mendengar panggilan hati Ubahlah, majukan, dan lindungi dunia ini Itu sebabnya aku takjub pada Pak Habibie Sayang tak bisa bertemu sebelum beliau pergi Apakah salah untuk marah? Apa harus tertawa untuk menunjukkan bahagia? Semua orang harus sama?  Sedih, kecewa, kagum, marah, kesal, dan bahagia, itu semua diri kita Aku bahagia, tapi bisa jadi aku diam saja Aku sedih, tapi mampu tetap tertawa Semua terserah aku yang punya jiwa  Karena manusia bukan boneka 

GADIS

Kaki berdarah Luka merekah Langkah terpatah Yang mereka bilang, pasrah Tangan menggenggam  Duri yang tajam Tak satupun bilang lepaskan Semua memintanya untuk bertahan Gadis itu berdiri Mau mati dan pergi Tapi tangan kakinya terkunci Oleh gembok yang abadi Selembar kertas terbang melayang Ke pelukan gadis yang bimbang Haruskah dia menulis dan terbang Atau seperti biasa, kembali ke tempat ia terbuang

SEROJA

Sungguh nama yang indah. Merupakan nama lain dari bunga teratai yang berarti kesucian, keindahan, dan kelahiran kembali. Wah, pas sekali, sekeluarnya aku setelah 24 jam berada di sana, dunia seketika berubah di mataku. Aku jadi punya tujuan hidup, yaitu mengubah banyak hal di dunia, terutama untuk anak-anak dan orang-orang dengan gangguan jiwa. Sudah bertahun-tahun tak berhasil merubah diriku, orang tuaku, mertuaku, suamiku, aku baru sadar bahwa manusia mustahil berubah kecuali ada usaha keras dan tekad kuat dari dalam dirinya. Akhirnya aku memutuskan melakukan apa yang aku bisa dengan kondisi fisik yang tidak prima, yaitu menulis. Akan kutulis semua kenangan, kejadian, pengetahuan, atau apapun yang terlintas di kepala, dan mengunggahnya ke dunia maya, agar tersimpan selamanya. Kalaupun aku tak hidup cukup lama untuk melihat semuanya, semoga suatu saat, tulisanku akan berguna. Pertama, akan kuceritakan momen traumatis yang kualami selama di Seroja. Lalu kedua, akan kulanjutkan deng...

SAMPAH

“Buanglah sampah pada tempatnya.” Ungkapan itu nyaris seperti mantra. Dari kecil hingga dewasa, selalu kudengar dan kubaca di mana-mana. Namun, di balik ungkapan itu, aku kerap melihat realitas yang berbeda. Sampah yang berserakan, orang-orang yang dengan mudahnya membuang bungkus makanan ke jalan, bahkan di depan tempat sampah itu sendiri berada. Lambat laun, aku merasa pesan itu kehilangan maknanya. Seperti ucapan kosong yang berlalu begitu saja tanpa bekas. Aku tak ingin anak-anak di sekitarku tumbuh dalam paradoks semacam itu. Bagaimana mereka bisa menghargai lingkungan kalau tak ada sosok yang benar-benar menunjukkan nilainya?  Maka, aku memutuskan untuk memulai perubahan kecil. Bukan lewat perintah, bukan lewat larangan, tapi lewat teladan. Aku berusaha merapikan barang-barangku sendiri, membuang sampah sesuai kategorinya, dan dengan kesungguhan memungut kotoran yang berserakan di sekitar. Tidak selalu mudah, tentu saja. Ada rasa malas, ada keinginan untuk berpikir, “Ah, nant...

RA

“Ra... Panggil saja aku Ra..” Aku mengulurkan tangan. Dia melirikku sekilas. Lalu menangkupkan kedua telapaknya ke dada. “Saya Fe, lengkapnya Feri.” Hatiku tersentil. Segitu tidak maunya kah dia bersentuhan denganku? Memangnya aku manusia kotor dan menjijikkan? Namun kupasang wajah tanpa ekspresi. “Ini berkasnya, tolong serahkan kembali besok pagi ya,” langsung kubalikkan badan dan melenggang pergi.   ***   “Jadi, maksud kedatangan saya kesini adalah untuk melamar putri Bapak, Zahra..” Jantungku seolah berhenti berdetak. Dari balik tirai yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga, aku gemetar. Benarkah ini orang yang sama dengan lelaki yang setiap hari menundukkan pandangannya di depanku? Yang menolak semua interaksi kecuali berhubungan dengan pekerjaan kami di kantor? Memangnya sejak kapan dia menaruh minat terhadapku? Aku mencubit lengan, sakit. Ini bukan mimpi, kan?   ***   “Saya terima nikahnya...” sayup-sayup kudengar akad nikah bergem...

GUGUR

Tanganku gemetar. Darah masih merembes di sela-sela kaki. Tak kuasa aku memanggil suamiku yang berada di ruangan sebelah. Sebentar kemudian, aku terduduk, lemas. Pandanganku mengabur, gelap. “Sayang..” sayup-sayup kudengar suara yang begitu akrab di telingaku. Kucoba membuka mata yang berat. Kepalaku pusing. “Ini di mana?” samar-samar kulihat ruangan dominan putih di sekitar. Aku tak mengenalinya. “Rumah sakit, Sayang..” Kutatap suamiku dengan suaranya yang bergetar. “Kenapa..?” Air mata menetes di pipinya. “Tidak apa-apa.. Kamu baik-baik saja..” Spontan kupegang perutku yang terasa nyeri. “Anak kita?” Suamiku menggeleng. “Maaf...” *** Kukira aku akan terus menangis. Atau memaki. Bahkan berteriak. Namun yang ada hanya kesunyian. Secercah kesedihan pun tak kurasakan. Hampa. Suamiku yang mencoba menghiburku pun tak kuhiraukan. Aku layaknya hidup dalam kepompong. Dunia di sekitarku bagai film bisu. Bisa dilihat, namun tak bernada. “Sayang..” Tepukan halus di kepala men...

LENYAP

 Aku banyak menulis, sejak dulu. Tapi entah kenapa, lenyap selalu. Buku tulis diambil orang, laptop hilang, barang ketinggalan saat pindahan, begitu banyak cobaan. Sekarang, ada satu lagi kesempatan tiba. Untuk menunjukkan tekad dan usaha. Bismillah, semoga bisa.